Sabtu, 30 Agustus 2014

[Festival Fanfiction] "The Game of Airlings" by Anandika




Title: The Game of Airlings1
Genre: mystery, horror, supranatural, friendship

Cast: Hey!Say!JUMP dan Johnny Kitagawa
Disclaimer: Hey!Say!JUMP dan Johnny Kitagawa bukan milik saya
Author: Anandika D. P.
Umur: 17 tahun
Alamat: Jl. Dipayudha No. 17 Desa Bobotsari RT 02 RW 01 Kec. Bobotsari, Kab. Purbalingga, Jateng 53353
No. HP: 089688483143
Alasan ingin mengikuti lomba: Ingin mendedikasikan sesuatu untuk Hey!Say!JUMP, sekaligus mengembalikan produktivitas dalam menulis.
NB: Di bawah ada glosarium untuk kata-kata yang asing.
Warning: a little bit violence alias kekerasan (adik-adik di rumah jangan tiru ya! ^^)
.
.
.
[INOO KEI’S POV]
Tokyo, Juli 2010
Jadi, kalian sanggup…?”
Sebuah pertanyaan-retoris aneh dilemparkan dalam keheningan di ruangan bernuansa gelap ini.
Ah, tidak terlalu gelap juga. Karena cahaya kecil dari lentera di meja kakek tua itu masih memungkinkanku untuk mengamati buku-buku tebal dan benda-benda antik yang tertata rapi. Dan walaupun diletakkan di ruangan sempit dan kuno ini, benda-benda itu tampaknya rutin dibersihkan hingga tak menyisakan debu sedikit pun. Terbukti dengan tidak adanya satu pun di antara kami yang bersin.
Tidak hanya itu. Berkat pendar cahaya, aku bisa melihat dengan jelas raut heran yang menghiasi wajah kesembilan pemuda ini. Sembilan pemuda yang tidak kukenal dan aku yakin, mereka juga tidak mengenalku.
Tapi kurasa tidak hanya aku. Sepertinya, kakek tua yang congkak ini juga sama sekali belum pernah terlintas dalam memori mereka. Karenanya, aku tidak heran melihat mereka menampilkan ekspresi geram saat dengan sewenang-wenang, kakek bernama Johnny Kitagawa ini meminta kesanggupan kami untuk melakukan kompetisi yang bahkan belum kami ketahui. Sungguh aneh.
Seandainya aku bisa mendengar jeritan hati mereka, aku yakin, yang akan memantul-mantul di gendang telingaku adalah kata-kata semacam, “Dasar Kakek tidak tahu diri! Kau pikir kau siapa, hah!? Kakek kami saja tidak pernah menyuruh kami dengan wajah culas seperti itu!”
Begitulah.
Ah, tapi...
Bagaimana pun dia itu orang tua, Kei. Kau harus menghormatinya.
Hening menghinggapi udara hingga kini. Di antara kami tidak ada yang menjawab. Entah karena takut, atau karena saking malasnya seperti yang terjadi padaku. Hey, seperti yang kubilang, itu tadi pertanyaan retoris, tak perlu dijawab. Tipikal penjebak. Tampaknya peringai kakek ini licik. Sebaiknya aku waspada.
Lalu, tanpa menunggu tanggapan, dia kembali berujar, Tentunya, jika kalian tak sanggup, kalian boleh pulang. Tapi jangan harap, kalian pulang dengan utuh…”
Sial.
Aku tarik kata-kataku tadi tentang orang tua, penghormatan, dan embel-embelnya. Terlepas dari segala rasa hormatku pada orang tua, orang yang satu ini sama sekali tak pantas menerimanya.
Bagaimana mungkin dia memperlakukan tamu seperti ini.
Ya, kami ini tamu. Tempo hari, kami menerima e-mail yang meminta kami mendatangi suatu alamat. Kami diundang untuk sesuatu yang tertulis sebagai Pelatihan Pembuatan Maquette2 Arsitektur dan Urban Planning. Tentunya kegiatan ini sangat bermanfaat untuk mahasiswa jurusan arsitektur sepertiku. Tapi, begitu tiba di sini, aku curiga pelatihan yang diadakan akan sedikit berbeda dengan yang biasa kuhadiri.
Apa maksudmu, Kitagawa-san? Lamunanku buyar. Seorang pemuda—ah, tidak. Kurasa dia masih bocah. Wajahnya imut. Tubuhnya pendek. Giginya kelinci. Dia meminta penjelasan dengan wajah polos. Di sisi lain otakku, aku tak habis pikir bagaimana bisa anak sekecil ini tertarik pada arsitektur. Dia telah memikirkan masa depannya dengan matang, eh?
Ini adalah suatu persaingan yang sangat diidam-idamkan orang banyak. Tentunya sudah ukan rahasia umum untuk mereka. Jika mereka terpilih untuk berdiri di sini, mereka akan mendapatkan konsekuensi yang berlimpah, baik harta, uang, atau apapun yang kalian inginkan...”
Lagi-lagi penjelasan yang aneh. Dia tidak menspesifikkan “orang banyak” sebagai “arsitek”. Sebenarnya, apa yang sedang terjadi di sini?
Aku memalingkan wajahku memandang sembilan pemuda ini satu per satu. Mereka semua terlihat curiga sekaligus mencurigakan. Penampilan mereka berantakan, rambut mereka ada yang dicat, dan terkesan mengikuti tren fashion. Sama sekali tak mencerminkan mahasiswa Jepang. Ataukah aku yang terlalu nerd?
Kini aku melirikkan mata pada kakek itu. Dia tengah menyamankan dirinya di bangku dan memperhatikan kami dengan senyum sinis.
Lalu apa maksudmu dengan tidak akan utuh tadi?” Salah satu pemuda mulai ikut bersuara. Intonasinya datar. Dia sama sekali tak terlihat gugup. Kalau diibaratkan atlet bela diri, dia kini sedang memasang kuda-kuda. Waspada sekaligus percaya diri. Aku melihat pada sosoknya. Di bajunya terjahit benang yang membentuk karakter kanji .
‘Shan’?
Ah, bukan. Itu untuk pinyin3.
Untuk Jepang, itu ‘Yama’.
Nama pasaran.
Pasti kalian tahu apa maksudku…” Jawaban singkat dari kakek itu memotong khayalanku.
Ya, benar. Walaupun implisit, semua orang tahu apa yang dimaksud dengan “tidak utuh”. Aku makin merasa salah tempat.
Aku makin yakin. Bahwa ini bukan pelatihan mahasiswa arsitektur.
Ini... penculikan.
Sudah tidak ada lagi kesempatan untuk pulang.
Tapi sepertinya aku harus bersabar dan mengikuti alur permainan kakek ini.
Hanya itu? Baiklah kalau begitu…”
Sepertinya ada yang berakhir dengan keputusan yang sama sepertiku.
Lalu, apa yang harus kami lakukan, Johnny-sama?”
Dia yang berpostur tubuh tinggi dan seksi bahkan mendekat ke depan. Ngomong-ngomong, aku bukan gay, tapi dari sudut pandang objektif dia memang seksi.
Kali ini kakek itu berdiri, lalu berjalan perlahan mengelilingi kami yang mulai beraura tegang. Memulai kembali sikapnya yang menyebalkan.
Tapi…”
Tapi…?”
Ada dua peraturan di sini…”
Apa itu?”
Aku memasang telingaku baik-baik.
Pertama, kalian akan tinggal di sebuah asrama di tengah gunung milikku selama seminggu. Kalian tak boleh membawa alat komunikasi apapun kecuali yang aku sediakan. Di sana aku akan memberi beberapa petunjuk untuk kalian menemukan suatu hadiah dari kompetisi ini. Yang berhasil menemukannya pertama, dialah pemiliknya. Kedua, tidak ada aturan. Kalian boleh saling menghalangi, menyikut, dan aku tidak ingin menghalangi kalian apabila kalian ingin saling membunuh….”
Membunuh?
Sedikit mengerikan, tapi.... Baiklah, aku mulai antusias. Ini mirip film “Hunger Games” yang terkenal itu. Apa hadiah itu, Kitagawa-san?” Pertama kalinya aku menyuarakan isi hatiku. Dan, ya, Kitagawa-san. Dia belum pantas menyandang ‘gelar’ –sama dariku. Problem?
Dia diam sebentar sebelum akhirnya menjawab, Itu… rahasia. Lakukan saja yang terbaik, dan kalian akan selamat dari permainan ini. Jika beruntung kalian akan menang.
Cih. Sampai kapan dia akan memberikan jawaban abu-abu seperti itu? Membuatku semakin curiga.
Aku masih sekolah. Bagaimana jika orang tuaku mencariku? Seminggu itu bukan waktu yang sebentar.
Aku menoleh, lalu mendapati pemuda yang berdiri paling pinggir. Ternyata dia masih sekolah. Tingginya yang abnormal berhasil mengelabuiku dan berpikir bahwa dia seorang mahasiswa.
Tenang saja, Morimoto-san. Aku dan orang-orangku sudah menyiapkan semuanya. Kami telah mengirimkan pemberitahuan untuk keluargamu bahwa kau mengikuti summer camp. Tidak perlu khawatir. Begitu juga dengan yang lain. Aku sudah menyiapkan skenario hingga tidak ada satupun yang tahu kalau kalian pernah mengikuti kompetisi ini.”
Sebelum aku sempat menganalisa jawaban itu lebih jauh, seseorang menyela.
Apa tujuanmu?”
Tujuan? Aku tak punya tujuan. Bukankah kalian sendiri yang mendaftarkan diri kalian di sini?”
Bohong!!!”
Satu kata berintonasi tinggi yang berhasil memperkeruh suasana. Kali ini bersumber dari another cutie midget. Dia membawa tas hijau yang tertera inisial AD. Dan dia terlihat sangat-takut-sekali.
Aku tak pernah mendaftarkan diri untuk mempertaruhkan nyawaku, ucapnya, sedikit bergetar saking takutnya.
Kakek itu tidak langsung menjawab. Dia—dengan gestur malas—meraih laptopnya, lalu mengutak-atik benda elektronik itu untuk beberapa lama. Kami menunggu dengan gelisah, sebelum akhirnya dia membalikkan layar laptop itu agar menghadap kami. Layar yang menampilan situs web yang kurasa tidak begitu asing.
Lihat, 26 Januari kau mendaftarkan dirimu di situs ‘Wujudkan Mimpiku’. Di sana aku meminta kalian membuat surat apa yang sangat ingin kalian lakukan dan alasan kalian untuk mewujudkan mimpi itu.
Situs itu...
Souka!
Kali ini aku menyadari betapa bodohnya aku sebenarnya.
Bagaimana bisa aku tidak menyadari ini sejak awal?
Kei, kau benar-benar bodoh!
Mendadak berbagai potongan memori terhubungkan layaknya puzzle yang telah sempurna. Hal-hal yang sebelumnya kurasa samar dan tak terdefinisikan kini menjelma terang. Jelas.
Ini semua bermula dari meledaknya tren sebuah situs web beberapa bulan lalu. Rasanya, topik tentangnya selalu mendapat porsi di setiap obrolan di banyak sekolah. Entah di kantin, di perjalanan pulang, atau bahkan saat pelajaran berlangsung.
Beralamat di we-make-it-true .co.jp, situs web itu menyediakan kolom untuk mengisi mimpi-mimpi pengunjung situs. Tapi tentu situs itu takkan menjadi tren secara mendadak. Jadi, apa yang mendongkrak kepopuleran situs itu?
Ada bagian yang berisi testimoni orang-orang yang telah mencobanya dan berhasil mewujudkan mimpi-mimpi mereka. Cukup meyakinkan. Setidaknya bagiku. Salah satu top testimoni yang masih kuingat...
Username knifeknight
E-mail 05093ount***@docomo.ne.jp
“Sekitar bulan November lalu aku menulis mimpiku di situs ini. Tapi aku hanya iseng. Maklumlah, aku hanya remaja biasa yang menyukai tantangan. Aku membiarkan hari-hariku berjalan seperti biasa sampai akhirnya pada bulan Maret aku mendapat e-mail yang memberitahuku kalau aku mendapat hadiah. Di situ juga terdapat sebuah alamat tempat pengambilan hadiah.
“Saat itu aku tak menyadari bahwa hadiah itu ada kaitannya dengan situs ini. Aku hanya berpikir aku mendapat hadiah, dan itu berarti aku beruntung! Tanpa pikir panjang, aku pergi ke alamat itu. Di sana, aku baru mengerti. Ternyata mereka memilih beberapa di antara kami yang menulis di situs itu untuk menjalani lomba. Siapa pun yang menang, bisa membawa “mimpi” yang diinginkannya. Dan kau tahu, lomba itu sangat mudah bagiku! Tapi aku tidak bisa mengatakannya di sini karena mereka bilang itu adalah rahasia bagi publik. Tapi, percayalah, kau hanya perlu mempersiapkan tenaga dan keberanianmu! Dan tak lupa, tekad yang sangat-sangat-sangat kuat dan jiwa bersaing hingga titik penghabisan! Setelah itu, aku jamin kau akan menang!
“Selamat berjuang!”
Motifku sama dengan pengirim testimoni itu. Aku iseng dan penasaran. Aku hanya menulis alamat e-mail dan mimpiku di sana, menitipkan harapanku pada situs yang tak jelas asal-usulnya hingga akhirnya berujung di sini.
Dan sepertinya kakek itu mengirimkan e-mail undangan kepada kami sesuai mimpi kami. Misalnya aku, yang memimpikan mesin pencetak 3D untuk maquette, diundang ke “acara seminar arsitektur”. 
Tapi tetap saja, seharusnya aku menyadari betapa testimoni itu tak bisa dipercaya!
Alasan pertama, knifeknight itu sudah jelas ceroboh. Hanya karena diiming-imingi hadiah, dia pergi ke sebuah alamat yang tak dia kenal. Itu cukup mencerminkan betapa tidak waspadanya dia. Tipikal remaja labil.
Kedua, dia mengatakan, hal yang diperlukan untuk menghadapi lomba adalah: tenaga, keberanian, tekad yang sangat-sangat-sangat kuat, dan jiwa bersaing hingga titik penghabisan.
Kata-kata kunci untuk sebuah peperangan dan pembunuhan, deshou?
Ini sejalan dengan ucapan kakek tadi bahwa kita diizinkan saling membunuh.
Kesimpulannya: anak pengirim testimoni tadi kemungkinan besar adalah seorang berandalan.
Tapi aku sama sekali tak ingin mempertaruhkan nyawa…”
Perkataan another cutie midget—AD—memecahkan lamunanku.
Benar. Saking bodohnya, kami bersepuluh tidak sadar kalau: selain mengirim surat berisi impian, kami juga mengirim surat undangan untuk malaikat maut.
“Arioka-san. Aku tak pernah meminta kalian semua mempertaruhkan nyawa. Alur cerita dan akhirnya adalah pilihan kalian semua. Saling membunuh, saling bersahabat, maupun saling membenci. Di sini, kalian semualah yang menentukan, dan kalian semua yang akan mengatur jalan ceritanya. Aku hanya menyediakan hadiah dan pemenangnya akan mendapatkan itu semua…”
Kami semua tidak menanggapi.
Yang jelas, apa yang sudah kalian tulis di situs itu, tentang mimpi kalian... aku sudah menyiapkan semuanya. Jadi lakukan saja yang terbaik.
Souka? Jadi, dia mempersiapkan semua hadiahnya. Berarti dia juga mempersiapkan mesin pencetak 3D karena itulah yang aku inginkan. Tunggu, tapi aku juga menginginkan hal yang lainnya. Hanya saja, itu bukan benda konkret. Bagaimana dia bisa mempersiapkannya?
Sial, kakek ini benar-benar licik.
.
.
.
Sore harinya, kami langsung dibawa ke asrama yang disebut-sebut si Kakek. Sebenarnya ini villa, tapi karena kami tinggal tidak untuk berlibur, jadi sebut sajalah asrama.
Perlahan aku turun dari mobil. Di depanku berdiri bangunan megah bergaya art deco yang tinggi menjulang. Di dalam dunia seni, sesuai namanya, gaya ini bersifat sebatas dekoratif. Artinya, tidak ada filsafat yang terkandung di dalamnya. Tapi sejarah menyebutkan bahwa gaya arsitektur ini berasal dari makam Mesir kuno.
Di sana-sini tampak cat mengelupas. Di lantai dedaunan berserakan. Padahal jarak pohon terdekat adalah sepuluh meter. Terbayang seberapa besar angin yang berhembus.
“Tugas kalian saat ini hanyalah tinggal di sini dengan normal. Persediaan bahan makanan dan baju, semuanya lengkap. Di waktu yang tepat, kalian akan tahu apa yang harus kalian lakukan. Lalu... apapun yang terjadi, rumah ini adalah milik kalian bersepuluh. Tidak boleh ada yang masuk ataupun keluar.” Masih di dalam mobil di jok sebelah kemudi, kakek tua itu mengingatkan kami. “Dan tenang saja,” dia menoleh pada seseorang di sebelahku, “di sini tidak ada kucing, kok... Hikaru-kun.”
Si pemuda gingsul bermarga Yaotome terbelalak. Dia tampak ingin protes, tapi sayang, Lamborghini yang ditumpangi si Kakek sudah mulai melesat. Mengecil dalam pandangan.
“Jadi, kau takut kucing?” sebuah pertanyaan retoris terlontar dari pemuda yang berotot kekar. Okamoto Keito.
Urusai!”
Dan mereka pun perang lidah.
Kami tidak menggubrisnya. Takaki Yuya—si seksi itu—asyik memandangi pepohonan, diikuti Nakajima Yuto yang bereksperimen dengan DSLR-nya, mengabadikan pemandangan gunung indah yang terhampar di sejauh ruang pandang. Yabu Kota berjalan-jalan dan mengamati bunga-bunga. Morimoto Ryutaro—anak sekolah itu—masih saja mengeluh karena ponsel dan PSP-nya disita. Yamada Ryosuke langsung memasuki rumah dengan santai seperti rumah sendiri, serta si polos Chinen Yuri dan Arioka Daiki yang mengikutinya.
Di perjalanan tadi, kami memang sudah saling berkenalan. Mereka tipe yang akan tersenyum saat kau bercerita tentang kebanggaanmu, yang akan tertawa mendengar pengalaman lucumu, dan yang akan prihatin terhadap nasib malangmu. Kurasa.
Yah, tentu saja aku hanya berpikir positif. Obrolan kami di mobil tadi hanya sebatas namaku-blablabla-siapa-namamu-salam-kenal. Selain itu, satu hal lain yang kutanyakan hanyalah: dengan undangan apa mereka datang ke alamat kakek itu. Semuanya membuatku geli.
Yabu Kota diundang dalam “pelatihan sepakbola bersama mantan pelatih timnas Jepang”.
Takaki Yuya diundang dalam “pengambilan tiket ke Hawaii gratis”.
Okamoto Keito diundang untuk “tampil dalam pertunjukan gitar solo”.
Chinen Yuri diundang dalam “pelatihan akrobat”.
Nakajima Yuto diundang untuk “memamerkan hasil fotografinya”
Morimoto Ryutaro diundang dalam “bursa kerja paruh waktu untuk game-tester”.
Arioka Daiki diundang untuk “casting film”
Yaotome Hikaru diundang—mirip Keito—untuk ”tampil dalam pertunjukkan bass solo”.
Sementara Yamada terlalu enggan—kalau tidak bisa disebut malu—mengatakan undangannya.
Membuatku waspada.
Kurasa aku tak boleh meremehkan bocah ini. Dia cerdas. Aku yakin dia menyadari bahwa undangan itu berkaitan dengan mimpinya dan dia tak mau orang lain tahu mimpinya itu apa.
Aku pun mengingat situs web sederhana itu. Kita hanya perlu mengisi alamat e-mail, lalu menulis mimpi kami....
—Tunggu. Bukankah mimpi Hikaru adalah bisa tampil dalam pertunjukkan bass solo? Tidak ada keinginan untuk melenyapkan kucing di dunia ini. Jadi, dari mana Kitagawa itu tahu bahwa Hikaru takut kucing? Ataukah keinginannya lebih dari satu sepertiku?
“Hikaru-kun,” aku menoleh ke arah Hikaru, “ada berapa mimpi yang kautulis di situs itu?” aku mencoba bertanya sedatar mungkin.
Pemuda berambut cokelat itu langsung menjawab, “Kurasa hanya ada satu.”
“Kau yakin?”
“Tentu saja.”
“Yakin seyakin-yakinnya?”
“Aku bilang ‘tentu saja’!” Dia tampak mulai hilang kesabaran.
“Tidak ada keinginan yang berkaitan dengan menghilangkan seluruh kucing yang ada di dunia ini?”
“APA? Kau sibuk bertanya padaku demi mengejekku seperti bocah Okamoto itu?!”
Dasar bodoh.
Aku facepalmed. “Tidak, Hikaru-kun.”
“Dengar! Walaupun aku benci kucing, itu bukan berarti aku phobia! Aku tidak sesinting itu sampai mengharapkan spesies Felis silvestris itu punah dari muka bumi!” Dan dia berdecih.
Oh yeah. Seorang anti-kucing hapal nama latin hewan itu.
“Lalu kira-kira dari mana Kitagawa-san tahu kau benci kucing?” aku menahan kesabaran.
Hikaru mengalihkan pandangan padaku. “Aku juga masih mempertanyakan itu.”
“Tidak hanya itu. Tadi di kantornya, Johnny-sama juga berkata bahwa dia mengirimkan surat pemberitahuan ke keluarga kita.” Seseorang andil bicara. Ternyata itu Takaki.
Exactly,” aku mengabaikan wajah mereka yang tampak konyol mendengar pronunciation-ku, “itu maksudku.”
Mereka menatapku seksama.
Aku pun mulai membeberkan segala kebingunganku, berharap bisa berbagi dengan mereka. “Di situs itu, kita hanya mencantumkan alamat e-mail dan surat berisi mimpi kita. Sama sekali tak ada biodata ataupun profil. Jadi, bagaimana dia bisa tahu alamat keluarga kita, apalagi sampai mengetahui trivia pribadi seperti benci kucing?”
IP address4.”
Sebuah suara menimpali. Aku menoleh. Di depanku berdiri Morimoto Ryutaro.
“Situs itu hanya tersedia versi desktop alias tidak ada versi mobile, agar dia bisa melacak IP address dan mengetahui dengan mudah di mana kita tinggal,” jelasnya dengan tenang.
Senyum pun terkembang di bibirku, “Souka. Lewat IP address, kita bisa tahu lokasi komputer. Tapi, bagaimana dengan informasi-informasi pribadi? Apa dia juga meretas e-mail kita?”
“Bisa jadi. Yang jelas, Johnny pasti mengerahkan usaha yang besar agar kita bisa turut serta dalam kompetisi ini.”
Wow, aku kagum dengan bocah ini. Bukan bocah biasa. Calon yang tepat sebagai partner-in-crime.
“Tapi, untuk apa, Ryu?” tanya Takaki.
“Itu—”
“Nah, kenapa kita harus berpikir sejauh itu?” potong Keito. Dia tampak apatis. “Bukankah dia bilang dia tak punya tujuan? Dia hanya menyediakan hadiah yang kita inginkan. Apa yang salah dari itu? Kalian terlalu banyak membaca Sherlock Holmes.”
Kami semua terdiam. Tapi, dalam diam kami, aku yakin Ryutaro tidak menyetujuinya.
“Tapi, Keito, dia mengatakan bahwa kita boleh saling membunuh. Apa kau tidak berpikir kalau dia memang menginginkan kematian beberapa di antara kita?” kali ini Hikaru yang bicara.
Benar juga. Bagaimana kalau dugaan Hikaru benar? Tapi memangnya seberapa bahaya kami? Aku tidak berpikir aku orang yang berbahaya. Aku tidak merasa memegang rahasia besar apa pun.
“Lalu kau mau apa? Kabur? Dia juga bilang bahwa jika kita pergi, kita tidak akan bisa selamat,” jawab Keito. Dia menghela napas. “Asal kita bisa menahan diri, aku yakin kita bisa selamat sampai di akhir permainan nanti.”
.
.
.
Memilih menghentikan pembicaraan yang rasanya semakin suram, kami masuk ke dalam villa. Tidak seperti bagian luarnya yang menyedihkan, dekorasi ruangan di dalamnya cukup menarik. Terlepas dari pengapnya udara karena banyak debu, tentu saja. Tapi, pengap ini sedikit berbeda. Ada juga hawa dingin. Bukan, bukan dingin gunung yang biasa. Aku tentu tak asing lagi dengan itu karena aku sering mendaki bersama teman kampus. Hawa dingin yang ini seperti sapuan lembut dari tangan yang sangat halus.
Aku berhenti saat melihat Yuto keheranan di depan pintu salah satu kamar. Seperti mencari sesuatu.
“Oy, Yuto. Kau sedang apa?”
“Aa, Inoo-kun. Kau lihat ini, setiap kamar dihuni dua orang. Aku belum menemukan kamarku.” Dia menunjuk papan yang tergantung di pintu.
Souka,” aku melihat nama di pintu itu, “ah, ngomong-ngomong, ini kamarku.”
“Ah, maaf. Aku tidak terlalu hapal kanji kecuali namaku sendiri, hehe. Baiklah, aku akan mencari ke sana.”
Aku mengangguk maklum. Dia memang lama tinggal di Amerika. “Silakan.”
Aku langsung membuka kenop pintu.
Tidak terkunci.
Begitu masuk, ternyata sudah ada satu orang di dalam.
“Chinen?”
Dia mengangkat wajahnya dari buku yang dibacanya, tersenyum padaku. Aku balas tersenyum, lalu berubah canggung saat menemukan sebuah boneka di sebelahnya. Bukan sembarang boneka. Itu... boneka berbentuk anak perempuan.
Oh Tuhan, kenapa begitu banyak orang aneh yang kutemui hari ini.
.
.
.
Matahari tergelincir begitu cepat. Semua orang sudah menemukan pasangan kamarnya masing-masing. Keito bersama Yamada, Daiki bersama Hikaru, Yabu bersama Yuto, dan Takaki bersama Ryutaro. Di waktu makan malam, Yamada dan Yabu menawarkan diri untuk memasak. Sebenarnya tidak menawarkan diri. Hal ini berawal dari gumaman, “Andai ada yang bisa memasak~” lalu mengakulah mereka berdua.
Selepas makan malam, beberapa orang kembali ke kamar masing-masing. Ada juga yang menonton televisi. Tapi... urgh, itu dorama picisan. Aku tidak tahu apakah tidak ada channel keren yang disediakan Kitagawa, atau memang itu selera mereka. Yang jelas aku takkan bertahan lebih lama lagi. Aku memutuskan untuk berkeliling asrama ini.
Asrama ini terdiri dari dua lantai. Kamar HikaruDaiki, YabuYuto, dan TakakiRyutaro ada di atas. Sementara sisanya di bawah. Secara umum seperti villa biasa. Tapi, ada yang menarik perhatianku. Sebuah perpustakaan di lantai pertama. Aku bersyukur masih ada tempat menyenangkan di sini.
Aku mengamati jejeran buku-buku itu. Sangat variatif. Ada majalah kuno, novel, buku sejarah, filsafat, dan bahkan... oh, arsitektur dan urban planning. Dua di antara beberapa minatku. Aku yakin mataku berbinar-binar sekarang.
Beberapa detik menimbang, pandanganku terpaut pada salah satu buku berjudul “Cities of Tomorrow: An Intellectual History of Urban Planning and Design in Twentieth Century” torehan pena Peter Geoffrey Hail. Kalau boleh jujur, aku lebih tertarik pada urban planning ketimbang arsitektur. Aku tidak hanya tertarik pada bangunan; aku juga tertarik pada pembangunan kota. Tapi adikku memaksaku masuk ke arsitektur. Dan tanpa tahu kenapa, aku pun setuju....
Ah, sudahlah. Toh mereka masih berkaitan ini.
Tanpa ragu, aku meraih buku yang konon menjadi salah satu buku urban planning terbaik. Namun, begitu menarik buku itu dari raknya, aku merasakan lantai di bawahku tertarik gravitasi secara tiba-tiba.
Dan saat aku mengatakan “lantai di bawahku”, itu berarti, tubuhku juga terhempas!
BRUK!
Rasanya seperti kakimu ditarik oleh sesuatu.
Ini... sungguh sakit. Aku mendarat di lantai yang sangat keras.
Aku mendongak. Di depanku ada tangga lipat yang perlahan kembali menutupi lubang di atasku.
Jadi ada dua kekecewaan yang kudapat kali ini. Kesempatan yang hilang untuk membaca buku impianku yang ternyata hanya tombol menuju ruang bawah tanah, dan terjebaknya aku di ruang bawah tanah itu.
Namun, mataku berkedut saat merasakan ada cahaya lain yang masih tersisa. Kepalaku beputar, dan berubah tercengang saat kudapati jejeran layar monitor menampilkan keadaan bagian asrama ini.
Aku bisa melihat keadaan dapur, koridor, ruang televisi, perpustakaan, ruang tamu, gudang, balkon, halaman depan, dan bahkan seluruh kamar. Ya, seluruh! Lima kamar itu bisa kupantau dari sini.
Kitagawa pasti menghubungkan rekaman ini ke kantornya.
Dasar mental penguntit.
CCTV tampaknya diletakkan di tempat yang tersembunyi hingga kami tak pernah melihatnya.
Tapi, di antara monitor-monitor itu ada satu monitor yang menampilkan display yang berbeda. Aku mendekat, mencoba mengutak-atik. Tertarik pada folder “PROFILE”, aku mengekliknya. Namun, sebuah kotak dialog muncul, menanyakan password. Anehnya, di sebelah kolom password itu ada karakter kanji .
Souka. Jadi ini hanya tes membaca kanji.
Kalau tidak salah, kanji itu dibaca... kai.
Aku pun mengetiknya.
KAI_
Enter.
TRY AGAIN
Eh?! Nande?!!
Jelas-jelas itu kai. Semua mahasiswa Jepang pasti tahu. Kecuali kalau pinyin, baru dibaca kuai.
Wait, jangan-jangan memang diminta pinyin?
Tanpa ragu, aku mengetik kembali.
KUAI_
...?
PASSWORD ACCEPTED
YOSHA!!! Akhirnya ada hari di mana bahasa Mandarin berguna di hidupku.
Folder terbuka. Baru beberapa saat, mataku melotot melihat data-data berisi profil beberapa orang. Dan bukan sembarang orang, tapi ada kami! Tampilan pertama adalah foto kami, dan kalau diklik, baru tampak profil lengkapnya. Tapi yang membuatku tertegun adalah: foto-foto itu seperti hasil jepretan paparazzi. Aku merinding membayangkan betapa hidup kami selama ini telah dimata-matai.
Iseng, aku membuka folder Yamada Ryosuke. Tentu dia yang paling merebut perhatianku. Pemuda tenang yang misterius.
Klik.
[涼介PROFILE]
Name: Yamada Ryosuke
Nickname: Yamachan, Yamada, Ryo-chan
Birthdate: May 9th, 1993
Birthplace: Tokyo, Japan
Lives: Kanagawa, Japan
Blood Type: B
Height: 165 cm
Weight: 53 kg
Status: Currently member
Special skill: able to use knife properly
Fav. Food: Strawberry, Eggplant, Meat
Least Fav. Food: Tomato, Fermented Soybean
Hobbies: Cooking, Fishing
School: Horikoshi
Fav. Subject: Social Studies
Fav. No.: 4
Fav. Color: White, Orange
Fav. Sport: Soccer
Masih muda. Kelahiran 9 Mei 1993. Dan ternyata dia seorang siswa Horikoshi. Orang tuanya pasti kaya, bisa menyekolahkannya di tempat prestisius begitu. Tapi, yang membuatku sedikit lebih tertarik adalah pada bagian:
Status: Currently member
Tidak tertulis jelas anggota apa, tapi ini sedikit mencurigakan.
Dan tidak hanya itu.
Special skill: Able to use knife properly
Bisa menggunakan pisau dengan baik.
Aku tahu dia pandai memasak. Tapi bukankah lebih baik ditulis “able to cook”? Aneh. Tapi tunggu—ada sedikit sesuatu yang mengangguku berkaitan dengan ini. Knife, knife... Ada sesuatu yang seharusnya kusadari, tapi aku tidak ingat apa itu. Knife, knife...
AHA!
Knifeknight!
Seseorang yang mengirim e-mail itu!
Jangan-jangan...
—Tidak. Ini bukan lagi suatu keraguan.
Knifeknight itu... pasti Yamada.
Aku tidak hanya mempertimbangkannya dari hal tentang pisau itu. Tentu saja ada yang lain.
E-mail akun knifeknight adalah 05093ount***@docomo.ne.jp. Aku masih ingat betul.
0509 itu kemungkinan besar merujuk pada tanggal lahirnya. Bulan kelima, Mei. Tanggal sembilan. Hari lahir Yamada.
Lalu, 3ount. Angka 3 jika digeser 90° ke bawah akan membentuk huruf M, sehingga itu akan menjadikannya “mount”. Dari kata “mountain”. Gunung.
Karakter kanji di dalam namanya berarti gunung.
Mencoba meyakinkan diri, aku menekan tombol back. Kemudian, aku melihat profilku, profil Chinen, Hikaru,dan Daiki yang ternyata tertulis:
Status: None
Jadi, tidak salah lagi. Dia berbeda dengan kami.
Yamada pasti bersekongkol dengan Kitagawa untuk menjebak kami bersembilan. Status member yang dimaksud pasti “anggota tim yang dibentuk Kitagawa”. Itu sebabnya dia tidak mau mengatakan apa mimpinya, karena memang dia tidak mengirim surat seperti kami. Sebaliknya, dia “orang dalam” yang menipu dengan menulis testimoni sebagai alat perayu.
Dan mengingat kemampuan spesialnya menggunakan pisau, aku mulai meyakini perkataan Hikaru. Kitagawa memang menginginkan kematian kami. Dan caranya adalah lewat Yamada. Si ahli pisau.
Aku menoleh pada layar monitor yang menampilkan keadaan ruang televisi. Tampak semua orang mulai berkumpul. Seperti akan membicarakan sesuatu.
Jika aku tidak hadir, pasti aku akan dicurigai.
Aku pun bergegas naik lewat tangga lipat. Dalam hati bertekad membongkar rahasia Yamada di depan yang lainnya.
.
.
.
Tiba di ruang televisi, tatapan mereka tampak seperti orang yang lega selepas menunggu sekian lama. Aku mendudukkan pantatku di sofa, di sebelah Hikaru, melipat kedua tangan.
Di depan kami, Yabu Kota berdiri membelakangi televisi yang menampilkan layar hitam, mati. Tampaknya peran ketua telah diambil olehnya. Hmm, tak apa. Memang dia yang kelihatan paling dewasa di antara kami. Tapi kuharap tak sekadar “kelihatan”.
“Aku ingin kalian tak memandangku sebagai pengatur yang sok atau semacamnya. Aku hanya ingin memastikan kita menjalankan kompetisi ini dengan baik,” dia membuka pembicaraan.
Sembari mendengarkan, aku menyapu pandangan ke semua orang, sebelum akhirnya jatuh fokus pada Yamada. Dia kelihatan memperhatikan dengan fokus dan serius.
Cih, aktor.
“Walaupun Johnny-sama membolehkan kita untuk saling membunuh, aku meminta kita untuk menahan diri,” Yabu melanjutkan.
Hmmm, persis seperti kata-kata Keito tadi sore.
“Aku serius!!” Yabu sedikit menaikkan intonasi. “Walaupun kita ibarat di jalan menuju surga, kuharap kalian tak berorientasi pada hadiah itu. Aku ingin memastikan kalian memikirkan nyawa orang lain juga. Aku yakin kita semua orang baik. Tidak ada yang bodoh sampai berubah ambius demi hadiah itu. Bagaimana?”
Gumaman “hai~” terdengar.
“Selain itu, aku juga ingin kita mengadakan perjanjian: kita akan merelakan siapa pun mendapat hadiah itu.”
“Ide bagus.”
“Lagipula, aku tak terlalu peduli dengan hadiahku.”
“Iya, waktu itu hanya iseng.”
“Aku menerimanya.”
Yabu terlihat lega. “Bagus. Ada yang ingin menambahkan?”
“Tunggu!”
Tentu saja aku yang bersuara.
Aku berdiri. “Bukannya aku bermaksud membuat keruh suasana, aku hanya ingin menyampaikan... sebaiknya kalian waspada.”
Semua orang menatapku bingung.
“Pesan Yabu memang baik, tapi itu hanya akan ditaati oleh yang benar-benar tergabung dalam kelompok kita.”
Hening, sebelum akhirnya Yuto menyambung, “Maksudmu... ada di antara kita yang...?”
“Siapa tahu?” aku mengembalikan pertanyaan. “Sejak awal Kitagawa-san mengumpulkan kita dengan cara aneh. Kita tidak kenal satu sama lain. Bisa jadi... dia memasukkan penyusup yang mencoba menghancurkan kita,” ucapku. Tatapanku menajam, mengarah ke Yamada Ryosuke.
Dan tatapannya padaku pun tak kalah tajam.
“Inoo-kun,” Keito terkekeh, menginterupsi, “kita sudah membicarakan ini tadi.”
“Aku tahu, tapi...”
“Inoo Kei,” kali ini sang leader. Nada bicaranya yang tegas memaksaku menghadap kembali padanya. “Kau bilang tidak bermaksud memperkeruh suasana. Tapi ini jelas memperburuk hubungan di antara kita semua. Aku harap kau berhenti bicara omong kosong seperti itu. Sebuah peluru hanya bisa menembus satu kepala, tapi perkataan provokator sepertimu bisa menembus ribuan kepala.”
“Aku bukan provokator!”
Aku sungguh tidak percaya Yabu mengambil kesimpulan seceroboh itu. Apa dia tidak berpikir?!
“Kalau perlu, aku bisa tunjukkan—!”
“Tidak peduli ada penyusup atau tidak,” memotong perkataanku, Keito kembali berkata, “kalau kita memperlakukan semua orang dengan adil dan tidak saling curiga, semuanya akan baik-baik saja.”
Kudengar orang-orang yang sejak tadi membisu kini mulai berbisik-bisik, mengiyakan perkataan Keito.
Aku pun teringat seseorang.
”Ryutaro, bagaimana denganmu?”
Ryutaro masih duduk dengan tenang. Tatapannya masih teduh. Dia kemudian mendongak, “...Kurasa Keito-kun benar.”
Kalimat itu begitu menohokku. Kakiku serasa melemas.
Tidak ada yang percaya padaku.
Satu pun.
“Yabu,” seseorang bersuara. Hikaru. Dia turut berdiri. “Aku mendukung sikap kepemimpinanmu. Aku juga berpendapat bahwa perkataan Inoo meruntuhkan prinsip yang tadi kautanam kepada kami semua. Tapi, kurasa kurang bijak kalau kau langsung mencap Inoo provokator. Mari kita dengarkan alasannya.” Dia menoleh padaku. Sosoknya yang tadi sore terlihat goofy, temperamental, dan labil; berubah drastis. Aku bisa merasakan jiwa kepemimpinan seperti Yabu yang ada di dalam dirinya.
“Baiklah,” aku menghela napas. “Tapi sebelumnya, aku ingin tiap orang di antara kita menjawab beberapa pertanyaan dariku. Dengan jujur.”
Dalam hati aku tersenyum sinis pada Yamada. Dia terlihat membelalakkan mata.
“Dimulai dari... kau,” aku mengatakan itu pada Yamada. “Nama lengkap?”
Beberapa saat, dia masih terlihat diam. Menatap kosong ke depan. Lalu, dia mengangkat wajahnya, memandangku.
“Seperti Yabu-kun... sejujurnya aku juga memandangmu sebagai provokator. Dan provokator selalu muncul dari pihak yang sebenarnya salah,” ucapnya tenang. Tapi terdengar sangat sinis di telingaku.
“Kenapa? Kau takut identitasmu terungkap?” Aku mengejeknya.
“Apa alasan yang membuatku takut? Lagipula, aku sudah mengatakan semua tentang diriku pada teman sekamarku.”
Aku menoleh pada Keito. Kulihat dia berkata, “Dia mengatakan semua tentang dirinya. Dan kurasa dia bukan penyusup seperti yang kaubilang. Lagipula, kalau memang benar dia penyusup dan berniat membunuh kita, sekarang pasti kita semua sudah mati karena memakan masakannya yang beracun.”
Sial. Keito benar. Kalau dia berniat membunuh kita, dia bisa saja memasukkan racun ke dalam masakan karena dia yang membuatnya. Tapi...
“Dia takkan berani. Yabu bersamanya,” elakku.
“Sejujurnya ada banyak waktu di mana aku tak begitu memperhatikannya,” Yabu berujar lagi.
Aku pun semakin terpojok. Sial. Sial. Apa lagi yang harus kukatakan untuk meyakinkan mereka?
“Sudahlah, Inoo-kun. Nyatanya, kau menuduhku penyusup dengan sangat tidak berdasar,” Yamada kembali bersuara.
Membuatku geram. “Aku tidak—”
“Hilangkan prasangka buruk dari pikiranmu itu. Aku siap menjadi jaminan akan jati diri Yamada yang sebenarnya,” lagi-lagi Keito memotongku, “Dia orang baik.”
Aku menatap tidak percaya pada Keito. Dalam hati bertanya-tanya, brainwash macam apa yang dilakukan Yamada sampai Keito begitu membelanya?
“Baiklah,” Yabu berucap, “kurasa ini selesai. Waktunya istirahat.”
“Tapi, Yabu—”
“Cukup, Inoo,” dia menatapku penuh kesal, “Jangan lagi membicarakan hal itu,” lalu mengikuti yang lainnya, kembali ke kamar.
Setelahnya, pandanganku menubruk Hikaru. Dia terlihat... kecewa. Dan dia pun pergi.
Aku berdecih dalam kesendiriaan. Setidaknya itulah yang kupikirkan.
“Inoo-kun?”
Ternyata Chinen masih di sini.
Kudengar dia berkata, “Sebaiknya kau tidur sekarang. Atau kukunci kamar dan kubiarkan kau tidur di luar.”
“Berisik,” aku berkata kesal,“Aku tidak peduli. Tidur saja sana bersama bonekamu itu.”
“Boneka? Boneka apa?”
Arrrgh. Anak ini makin membuatku naik pitam!
“Aku bilang, aku tidak pe—”
“Penjelasanmu itu... seakurat apapun, selalu ada yang berusaha sekeras mungkin agar tak ada yang percaya.”
Aku menoleh. “Apa maksudmu?”
“Kau tahu maksudku. Karena kita berpikiran sama,” dia tersenyum, lalu membalikkan badan, bersiap pergi.
“Tunggu, Chinen!” teriakanku menghentikannya. “Kalau begitu, siapa yang menghalangiku? Penyusup itu... hanya ada satu, kan?”
Masih membelakangiku, dia berkata, “Antara dua orang itu. Aku sendiri tidak tahu.” Selepasnya, dia pun berjalan pergi.
Dua orang itu, ya.
Yabu Kota dan Okamoto Keito.
Memang mereka yang paling membela Yamada.
Siapa tahu Yabu hanya berlindung di bawah statusnya sebagai pemimpin. Menggunakannya sebagai modus.
Lalu Keito... dia sekamar dengan Yamada. Bisa saja itu taktik agar lebih mudah menyusun rencana.
Aku harus ke perpustakaan dan memeriksa status mereka.
Ah, tapi, selain itu... kenapa Chinen bisa tahu? Bukannya dia cuma... anak kecil.
Ini begitu mengherankan.
Menyerah, aku memutuskan untuk beranjak menyusul Chinen. Mungkin aku bisa membujuknya untuk bekerja sama denganku.
Namun, baru dua langkah aku berjalan...
Pandangan mataku menghitam. Ruangan berubah gelap.
Listrik... mati.
Bagus sekali.
Di saat aku tidak membawa senter maupun jam tanganku yang bercahaya.
Aku mencoba meraba-raba sekelilingku, berjalan terseok-seok. Namun, aku merasa membeku saat mendengar suara vas jatuh yang tanpa sengaja aku tabrak.
PRAAANG!
Dan aku tak bisa menahan diri untuk berjongkok saat kurasakan pecahan itu juga mengenai kakiku. Perih menjalar, hingga aku bisa merasakan setiap sel tubuhku seperti terbakar. Dan aku yakin, darahku kini menetes mengotori lantai.
Sial. Sial. Sial.
Perlahan, aku mencabut pecahan yang bersarang di ibu jari. Malangnya, ia juga melukai kuku.
Aku tak yakin aku akan kuat berjalan. Belum lagi mengingat banyaknya pecahan yang tersebar.
Di antara rintihan sakit, sesuatu yang buram tampak muncul di penglihatanku.Aku berkali-kali mengucek mata.
Memastikan benda itu tidak bergerak mendekat kemari.
Tapi tampaknya aku salah.
Seberapa rusak pun penglihatan manusia (kecuali buta), ia akan menyadari bahwa sesuatu itu telah berada tepat di depan hidungnya.
Dan yang membuatku menahan napas adalah karena sesuatu itu adalah sebuah boneka. Boneka anak perempuan.
Milik Chinen...
...yang mulai kuragukan kebenarannya karena tadi dia juga bertanya-tanya, “Boneka? Boneka apa?”
Aku benar-benar ingin mengalihkan pandanganku dari boneka ini. Rambutnya tergerai berantakan. Matanya besar, sangat besar. Pipinya merah. Dan senyumnya... Senyumnya membunuh.
Tapi entah kenapa aku tak bisa. Fokus mataku terpaku di sana.
Membuat jantungku makin berdetak kencang dan keringat dingin menuruni dahi.
“I... noo.”
“HUWAAAAA!!!”
Jangan bilang... jangan bilang padaku BONEKA ITU BISA BICARA!!!
Aku tak bisa menahan diri untuk memejamkan mata dan mundur ke belakang, tidak peduli telapak tanganku yang mulai berdarah karena tersayat-sayat pecahan vas.
“Inoo-kun yang ahli analisa... ternyata bisa ketakutan begitu.”
Suara itu...
Yamada?
Aku membuka mata, sedikit terhenyak melihat Yamada mengarahkan senter ke wajahnya. Namun, aku yakin dia masih tampak mengerikan sekalipun dia tak melakukan taktik horor klise seperti itu. Karena dia kini sedang tersenyum jahat.
Ya, jahat dan sinis. Aku bersumpah aku tidak pernah melihat wajah sejahat itu sebelum ini.
“Apa yang kautakutkan, hmmm..., Inoo-kun?”
“Kau... sudah kuduga! Kau adalah—”
“Itu benar,” senyumnya makin licik, “Aku knifeknight. Dan tampaknya kau sudah tahu terlalu banyak tentangku. Kecuali satu hal...”
Mataku menyipit melihat pantulan cahaya yang menyilaukan. Kulihat dia memainkan sebuah sesuatu.... Pisau. Benda tajam itu diputar-putarnya dengan lihai, seakan dibuatnya terbang tanpa perlu menyentuhnya.
Dan senyum itu berubah menjadi seringai.
“KAU BELUM TAHU SEBERAPA BESAR KEMAMPUANKU!!”
Detik itu aku bisa merasakan saraf-sarafku tidak berfungsi. Jari-jariku kaku. Lidahku kelu. Semua yang kupikirkan hanyalah... Dewa Kematian ternyata telah menghampiriku.
Terutama...
Saat pisau itu mengarah tepat ke mata.
“AAAAAAAAAHHHH!!!”
.
.
.
Aku mengerahkan seluruh tenagaku demi sebuah teriakan. Sirine yang timbul dari perihnya rasa sakit yang amat sangat.
Butuh beberapa menit untuk aku tenggelam dalam delusi kesakitan yang luar biasa sampai akhirnya aku menyadari...
Tidak ada luka apa pun di mataku.
Tapi, ada cairan.
Aku membuka mata. Perlahan... perlahan sekali. Di depanku hanya ada lapisan buram seperti yang kaualami selepas menangis.
Menangis.
Air mata?
Aku menyentuh mataku. Ternyata Yamada tidak mengarahkan mata pisau itu ke penglihatanku. Tampaknya dia hanya menyemprotkan cairan cabai sampai membuat mataku perih dan mengeluarkan air mata.
Menyadari itu, aku mencari-cari Yamada. Dalam gelap, aku bisa mengatakan kalau ada sesosok jasad tersungkur di depanku.
“Yamada?” aku memanggil-manggil tanpa menyentuhnya. “Yamada, kau dengar aku?” Keadaan masih hening.
Aku mengernyit heran.
Sejurus kemudian, lampu menyala.
Dan aku tercengang begitu mendapati ternyata tubuh Yamada kini bersimbah darah. Seakan memuncrat tepat dari dadanya. Matanya terpejam. Bibirnya memucat.
Apa... yang terjadi?
“YAMA-CHAN!”
Aku mendongak, melihat Yuto menampakkan ekspresi terkejut. Di belakangnya ada Yabu dan Keito. Seiring mereka mendekat kepadaku dan Yamada, yang lainnya juga mulai berdatangan.
“Apa yang terjadi?” tanya Yabu sembari melipat kakinya.
“A-aku...”
Sial. Aku gemetaran.
“Aku juga tidak tahu.”
Kulihat dia memeriksa Yamada dengan teliti. Aku merasa tanganku mendingin, terutama saat Yabu mengambil kesimpulan.
“Dia mati.”
Jantungku serasa berhenti. Aku yakin, begitu juga yang lainnya. Mereka semua tampak terguncang.
“Kau... bercanda, kan?” Daiki terlihat menuntut untuk jawaban yang lain.
“Aku mahasiswa anatomi, kalau kau tidak tahu,” Yabu menjawab dengan sedikit kesal.
“Kurasa tidak butuh seorang mahasiswa anatomi untuk mengetahuinya,” Takaki juga, meraba nadi Yamada, “semua orang tahu dia sudah tidak bernyawa.”
Yabu menghela napas. “Keito, bantu aku membawa Yamada ke kamarmu.”
“Baik.”
Aku melihat mereka pergi, dan begitu aku mengalihkan pandangan, orang-orang di depanku menatap tajam padaku.
“Apa?” aku bergumam. “Kalian tidak berpikir bahwa aku yang membunuhnya kan?”
“Tentu saja,” Hikaru berjongkok, mensejajarkan pandangannya denganku, “hanya kau yang bersamanya. Kami juga mendengar dia berteriak.”
Sontak aku berdiri, “Aku. Tidak. Membunuh. Yamada!” tegasku. “Dan akulah yang berteriak! Dia menyemprotkan cairan cabai ke mataku!”
“Kalau begitu jelas dia melawanmu.” Hikaru turut berdiri. “Kau yang sejak awal mencurigai Yamada. Tadinya aku sempat berpikir kau mempertimbangkan apa pun secara matang, tapi...,” Dia menarik tanganku yang bersimbah darah, mengangkatnya, sambil tetap menatap tajam padaku, “kau tidak ada bedanya dengan monster.” Dan kemudian menghempaskannya.
Semuanya diam mendengarkan Hikaru. Begitu pun aku, perasaanku begitu terluka hingga melupakan rasa sakit di tanganku.
“Hentikan itu, Hikaru-kun.” Chinen muncul di antara kami. “Kalau kau menganggap Inoo-kun membunuh Yamada hanya karena dia tidak punya alibi dan tangannya penuh darah... itu terlalu ceroboh.”
Dia pun berjongkok, mengambil satu pecahan vas. Tanpa disangka, di depan kami semua, dia menarik tangan kanan Hikaru dan menyayatkannya di telapak tangan pemuda Yaotome itu.
“Chinen, kau...!” Hikaru terbelalak pada bocah itu sambil memegangi tangannya.
“Kita semua tahu tadi listrik mati. Inoo-kun menabrak vas hingga pecah dan mengenai kakinya, lalu dia terjatuh dan membuat tangannya juga terkena pecahan itu hingga berdarah. Lagipula, kau lihat mata Inoo-kun yang penuh darah itu? Itu tanda dia menyentuh matanya yang perih saat terkena cairan cabai. Dan Hikaru-kun, kau tak bisa langsung menyimpulkan kalau Inoo-kun membunuh Yamada. Apa aku benar?” Chinen menatapku.
“Maksudmu, Yamada bunuh diri?” Ryutaro akhirnya bersuara.
“Sebenarnya tidak sesederhana itu,” aku tidak tahu bagaimana harus memulainya. “Tadi sebelum Yamada datang, ada sebuah boneka berbentuk anak perempuan. Dan aku bersumpah dia mendekat padaku dengan sendirinya.”
“Dan sekarang kau berkata bahwa pembunuh Yamada adalah sebuah boneka?” Hikaru bertanya dengan nada tidak percaya.
“Boneka?” gumam Chinen.
“Ya, boneka itu. Boneka yang kukira adalah milikmu karena dia bersanding tepat di sampingmu ketika kau membaca buku!”
“Tidak ada boneka di sampingku ketika aku membaca buku. Sama sekali,” Chinen memberikan jawaban dengan yakin.
Aku merasa dadaku sesak.
Dan sekarang aku bisa melihat sesuatu yang tak bisa dilihat orang lain?
Minna... coba lihat kemari.” Kulihat semua orang mengalihkan pandangan mereka pada Yuto yang berdiri di pintu perbatasan ruang televisi dan ruang tamu. Kami mendekat, makin jelas terlihat bahwa dia memegang kertas dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya memegang amplop.
“Aku menemukannya di bawah pintu yang... Aku tahu kalian takkan percaya, tapi di sana ada ukiran kanji yang berarti kematian.” Yuto berkata, menunjukkan kami ukiran berbentuk karakter kanji di permukaan pintu ruang tamu.
Kanji shi yangberarti kematian.
“Dan surat ini... berisi perintah untuk kita.” Dia menatap kami satu per satu, seakan mengajak kami agar duduk melingkar mencari tahu isi surat itu.

INI ADALAH PERMAINAN YANG SESUNGGUHNYA
KOMPETISI DI MANA HANYA ADA SATU DI ANTARA KALIAN YANG AKAN MENANG
APAPUN YANG TERJADI, KALIAN HANYA AKAN MELAKUKANNYA DI VILLA.
JANGAN KELUAR SATU LANGKAH PUN DARI PINTU!
DAN JANGAN BIARKAN ORANG LAIN MASUK!
KARENA SAAT PERMAINAN INI TERJADI, ADA MAKHLUK LAIN YANG “TERTARIK”
PASTIKAN VILLA TERKUNCI! JENDELA, PINTU, SEMUANYA!
VILLA INI ADALAH MILIK KALIAN BERSEPULUH! INGAT ITU!
#1 Pertama yang harus kalian lakukan adalah: temukan sebuah boneka yang terdapat di villa. Temukan sebelum pukul 9.30 pm, atau boneka itu yang akan “menemukan” kalian!

“Itu... pasti boneka itu,” aku mengatakannya dengan suara bergetar.
“Sssst...” Yabu memaksaku bungkam. Ternyata dia sudah di sini, bersama Keito.

#2 Kedua, sayat perut boneka itu secara vertikal. Keluarkan isinya, lalu ganti dengan beras. Tapi, harus ada sepuluh butir beras yang dipolesi darah dari masing-masing kalian.
#3 Ketiga, jahit kembali boneka itu dengan benang berwarna merah. Dan jangan memotong benang itu walaupun masih tersisa! Lilitkan sisanya pada leher boneka itu.
#4 Keempat, taruh boneka itu di dalam bak mandi saat pukul 10 pm. DI DALAM BAK MANDI.
#5 Kelima, kalian bersembunyi dengan aturan:
Yabu: di kamar Yaotome dan Arioka
Takaki: di kamar Inoo dan Chinen
Inoo: di kamar Yabu dan Nakajima
Yaotome: di kamar Takaki dan Morimoto
Arioka: di kamar Yamada dan Okamoto
Okamoto: di perpustakaan
Yamada: di ruang televisi
Nakajima: di ruang tamu
Chinen: di dapur
Morimoto:di gudang
Masing-masing harus membawa sebuah pisau. Ambil dari dapur. Tapi satu di antara kalian membawa pisau yang tadi digunakan untuk merobek perut boneka. Terserah kalian siapa yang membawanya.
#6 Keenam, semua orang mematikan lampu ruangan tempat dia bersembunyi. Setelah itu, lima belas menit kemudian, orang yang membawa “pisau boneka” pergi ke kamar mandi dan menusuk boneka itu tepat di dada kirinya.
#7 Ketujuh, masukkan boneka kembali ke bak mandi, dan kembalilah ke tempat persembunyian sambil mematikan lampu seluruh ruangan yang dilewatinya. SELURUH LAMPU DAN ALAT ELETRONIK HARUS MATI. Khusus untuk Yamada, hidupkan televisi dengan volume maksimal. Pindahkan channel ke saluran statis tanpa siaran5. Lalu lempar remote jauh darimu.
#8 Kedelapan,diam di tempat persembunyian. SAMPAI KALIAN MENDENGAR TELEVISI TELAH BERGANTI CHANNEL, keluar dari persembunyian.
#9 Kesembilan, cari boneka itu sampai ketemu! Begitu kau melihatnya, tusuk boneka itu hingga benang yang melilit lehernya putus. SIAPA PUN YANG BISA MELAKUKAN ITU AKAN MENDAPAT HADIAH. Dan deminya, KALIAN BOLEH MEMBUNUH ORANG LAIN UNTUK MENGURANGI SAINGAN.
#10 Permainan selesai.
Semoga kalian beruntung!

Selesai membaca, kami bersembilan semuanya terdiam. Tidak tahu bagaimana harus menanggapi, hingga akhirnya...
“Ini... sedikit gila,” Hikaru berkomentar.
“Aku tidak tahu apa maksudnya. Membunuh sebuah boneka?” Chinen menimpali.
“Dan aku harus bersembunyi di gudang,” Ryutaro bergumam ngeri, terlihat pucat.
“Kalian tidak berpikir kita harus melakukannya, kan?” aku berbisik pada mereka. “Tidak ada konsekuensi yang kita hadapi walaupun kita tak mematuhi ini.”
“Boneka itu akan mendatangi kita, kalau kau ingat peraturan pertama,” aku berdecak mendengar perkataan Yabu.
“Tapi walau bagaimanapun, aku tahu persis permainan ini. Temanku pernah memainkannya.”
Kami semua menatap Takaki dengan penasaran.
Hitori Kakurenbou. Sesuai namanya, ini berarti kita melakukan petak umpet sendirian. Sendirian maksudnya... lawan kita bukanlah manusia, melainkan boneka.” Takaki mulai menjelaskan. “Tapi ada sedikit perbedaan di sini.”
“Apa?” tanya Daiki.
“Pertama, permainan ini seharusnya dilakukan jam tiga pagi. Kedua, ketika boneka itu diletakkan di kamar mandi, kau juga harus meninggalkan pisau bersamanya.”
“Lalu?” Entah kenapa aku merasa Daiki sangat tertarik.
“Ketika kau telah menemukan bonekanya, kau harus menyiramnya dengan larutan garam. Bukan menusuknya lagi.”
Well, well. Still it doesn’t make any sense. The point is, why must kill a doll?
“Dia mempertanyakan kenapa kita harus membunuh sebuah boneka,” Keito menjelaskan kepada kami ketika kami heran mendengarkan celotehan Yuto.
Takaki menjawab, “Kau tahu kenapa kita mengganti isi boneka dengan beras? Agar ada roh yang memasukinya.”
“Lalu, kenapa itu membutuhkan darah kita?”rupanya Chinen juga penasaran.
“Itu simbol ikatan, bahwa kita adalah lawannya. Kitalah yang harus ‘dia’ cari,” Takaki menatap kami. “Tenang saja, darah yang dibutuhkan tidak banyak. Kalian hanya perlu menusuk jari kalian dengan jarum, lalu mengoleskan darah kalian pada sebutir beras.”
“Jadi, Kitagawa membuat kita berhadapan dengan hantu?” Yuto mengambil kesimpulan.
“Ya. Dan karena hantu itu merasuki sebuah boneka, berhadapan dengannya tak semudah yang terdengar. Roh itu mengendalikan boneka hingga bisa bertingkah selayaknya manusia. Itulah kenapa Johnny-sama menyuruh kita menyalakan televisi di saluran statis. Agar kita menyadari bahwa saat saluran televisi berganti, itu adalah ulah si boneka.Dan asal kau tahu, ketika temanku memainkannya, boneka itu menusuk matanya dengan pisau.”
Kalau begitu tidak ada bedanya denganku. Hampir.
Aku yakin semua orang di sini merinding mendengarnya.
Begitu Takaki memungkaskan penjelasannya, aku baru menyadari bahwa sejak tadi aku menahan napas.
“Kalian menunggu boneka itu datang?” Yabu berdiri, memecahkan hawa suram di sekeliling kami. “Daiki, kau pastikan semua pintu dan jendela di lantai satu terkunci. Keito, kau pastikan di lantai dua. Chinen, cari benang merah dan jarum. Yuto dan Ryutaro, ambil sepuluh pisau. Aku akan mengambil beras. Lalu Inoo, kau cari boneka itu.”
“Aku? Maksudmu... AKU?”
“Kau yang tahu bagaimana rupanya.”
“Dan begitu aku menemukannya, aku akan melemparkannya ke wajahmu,” aku menggerutu pelan.
Funny.
Aku menoleh, demi melihat... Hikaru yang tertawa sinis. Aku tidak menghiraukannya.
“Hikaru, kau bersama Inoo.”
WHAT?
Nah, sekarang aku tak bisa menahan diri untuk tertawa. Take that, Hikaru.
“Bagaimana denganku?” Takaki bertanya.
Yabu menghadap Takaki, menatapnya kalem, “Karena kau tahu detail permainan ini.... Kau akan jadi pembawa pisau boneka saat bermain nanti.”
NANIII???
Well, setidaknya tugasku tidak lebih menyeramkan daripada Takaki.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, satu persatu dari kami meninggalkan ruang televisi, melaksanakan tugas masing-masing. Bersiap terlibat dalam permainan ini. Tanpa Yamada, tentu saja. Hanya kami bersembilan.
Dan membuat merinding Daiki, karena itu artinya dia akan sekamar dengan mayat malam ini.
.
.
.
“Sebenarnya aku masih ragu dengan permainan ini.”
“Sebaliknya aku sangat yakin hingga membuatku takut setengah mati untuk melakukannya,” aku menanggapi Hikaru dengan jujur. Kami ada di ruang tamu. Hikaru mencari di dekat pintu masuk rumah, sementara aku mencari di sisi yang lainnya. “Seperti yang kukatakan tadi, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana boneka itu mendekat,” ujarku sambil menggeser lemari. “Maksudku, aku juga tidak yakin boneka itu bisa membunuh Yamada, tapi... aku yakin boneka itu semenakutkan Annabelle sampai-sampai dijadikan lawan dalam permainan ini.”
“Hmmm, aku kira Takaki tadi bilang bahwa kita memanggil roh dengan memasukkan beras ke dalamnya. Artinya, dalam permainan itu, kita bisa menggunakan boneka biasa, bukan boneka yang sudah didiami roh dari sananya,” aku mendengar Hikaru menimpaliku.
“Itu yang kutakutkan, Hikaru,” aku berbalik menghadapnya, “karena kita menggunakan boneka yang aslinya angker, permainan ini akan menjadi jauh lebih angker. Kau tidak mengerti juga?”
Aku mengernyit heran saat Hikaru menatap terpaku alih-alih menjawab. Mengikuti arah pandangnya, aku pun ikut berbalik dan berubah kaget setengah mati saat melihat boneka itu bertengger di atas lemari di belakangku. Berusaha sekuat tenaga mengusir rasa takut, akhirnya aku bisa meraihnya.
“Kurasa aku mengerti sekarang, Inoo,” gumam pemuda Yaotome itu, tatapannya kosong, “karena aku bersumpah tadi aku tak melihat boneka itu di sana.”
.
.
.
Setelah melaksanakan peraturan permainan itu sampai langkah ke-4, kami pun mulai pergi ke tempat persembunyian masing-masing. Begitu aku menutup pintu dan mematikan lampu, semua yang kurasakan adalah keheningan.
Aku memeriksa jam tanganku yang—syukurlah—bisa bersinar dalam kegelapan. Aku baru mengambilnya tadi.
Seandainya jam ini selalu kupakai, vas bunga itu pasti takkan pecah dan kasus meninggalnya Yamada takkan serumit tadi.
Mengabaikan itu, aku melihat waktu.
Pukul 10.01.
Empat belas menit lagi. Aku bisa membayangkan Takaki sedang gemetaran sekarang di ruangannya.
Pasti itu pekerjaan yang berat, kan.
Mencoba menghilangkan rasa takut, aku mengelilingi kamar ini dengan berbekal cahaya dari jam tanganku. Ini adalah kamar Yabu (bersama Yuto), jadi aku berharap bisa menemukan sedikit petunjuk tentangnya.
Tidak banyak benda yang bisa kulihat. Selain karena gelap, aku juga yakin Yabu adalah orang yang simple. Dia terlihat tak membutuhkan banyak barang. Dan sekalipun membawa, dia adalah tipe yang akan melupakan barangnya.
Tapi, ada satu benda yang bisa kupahami bentuknya hingga aku bisa memberitahu apa itu. Sepertinya milik Yuto, karena itu adalah sebuah kamera DSLR.
Pemuda itu tampak sangat menyukai fotografi. Tadi sore dia sibuk memotret pemandangan. Dan bukan cuma itu. Mimpi yang dia tulis juga masih berhubungan dengan fotografi.
Penasaran, aku pun membuka kumpulan potret karyanya. Kebanyakan adalah foto pemandangan yang dia ambil tadi sore, lalu kadang diselingi foto villa.
Harus kuakui hasilnya bagus.
Aku pun menyelami semakin banyak fotonya, sampai akhirnya aku menemukan sesuatu yang sedikit berbeda...
Foto yang menampilkan dua pemuda sedang berangkulan. Salah satunya Yuto. Dia terlihat lebih kecil dari sekarang. Rambutnya pirang. Lama tinggal di Amerika... memang mengubah stye seseorang. Tapi yang paling mengherankan, pemuda di sampingnya tak bukan dan tak lain adalah... Yamada.
Aku tidak menyangka mereka telah mengenal satu sama lain. Pantas tadi Yuto memanggil Yamada dengan sebutan “Yama-chan”.
Lalu... apakah Yuto juga salah satu member Kitagawa?
Aku menggulirkan tombol, dan semakin tercengang saat kudapati foto yang sama persis dengan foto yang kudapati di ruang bawah tanah.
Fotoku. Fotoku yang kukira diambil diam-diam oleh paparazzi.
Bukan hanya fotoku. Ada pula foto Daiki, Takaki, Hikaru, Chinen....
Jadi, Yuto yang selama ini menguntit kami?!
Untuk beberapa detik, aku serasa membeku. Mencoba mengingat-ingat kembali tingkah Yuto selama ini, sampai akhirnya aku menyadari suatu hal.
“Ah, maaf. Aku tidak terlalu hapal kanji.”
“Aku tahu kalian takkan percaya, tapi di sana ada ukiran kanji yang berarti kematian.”
Terdapat kontradiksi dengan perkataannya. Yang pertama dia bilang tidak hapal kanji, tapi yang kedua dia bisa memberitahu kami bahwa kanji di pintu itu berarti kematian.
Untuk kasus pertama, kupikir itu terjadi secara natural. Dia terlihat bingung mencari kamarnya. Jadi, aku yakin dia berkata jujur bahwa dia tidak hapal kanji.
Sementara yang kedua.... Dia seperti “sangat yakin” bahwa kanji itu berarti kematian. Lagipula, dia yang “mengaku” menemukan surat itu.
Jadi, bisa disimpulkan kalau Yuto memang “diatur” untuk menjalankan skenario demikian.
Pendek kata, tanpa campur tangan Yuto, kami takkan menyadari ada surat berisi tantangan itu di bawah pintu.
Sama seperti Yamada, Yuto adalah orang dalam.
Mengejutkan.
Ternyata dugaanku dan Chinen salah. Orang dalam itu bukanlah Yabu ataupun Keito.
Tapi, sesuatu yang masih membuatku heran adalah... Yuto terlihat tak begitu sedih saat menghadapi kematian Yamada. Maksudku... dia memang yang pertama berteriak saat mendapati keadaan Yamada. Tapi menurutku hanya sebatas itu. Setelahnya, normal. Dia tampak seperti mendapati kematian orang asing. Padahal, kalau dilihat dari fotonya tadi bersama Yamada, mereka terlihat akrab.
Jangan-jangan...
SRRRKKK. SRRRKKK.
Aku mengernyit mendengar suara aneh itu. Meletakkan kamera DSLR, aku mendekat ke pintu, menempelkan daun telingaku di sana.
SRRRKKK. SRRRKKK.
Itu...
Suara televisi?
Kontan aku melihat jam tanganku.
10.10 pm.
Masih lima menit lagi sebelum Takaki keluar. Aku yakin itu, karena Takaki juga mengenakan jam tangan sepertiku. Dia pasti tepat waktu. Di ruang televisi seharusnya tidak ada siapa-siapa karena Yamada sudah menjadi mayat.
Lalu... siapa yang menyalakan televisi...?
Mengabaikan aturan permainan dan rasa takut, aku membuka pintu, pelan, hingga aku yakin tak ada yang mendengar. Kemudian bergegas menuruni tangga. Sedikit gemetaran, aku mempersiapkan pisau di belakang punggungku, sembari menggunakan jam tangan yang cahayanya tak seberapa sebagai petunjuk jalan.
Begitu sampai di ruang televisi...
Benar saja, tak ada siapa pun.
Mataku langsung tertuju pada pintu akses ke ruang tamu yang terbuka. Dan ketika aku memeriksa ke sana, Yuto yang seharusnya ada di sana... lenyap.
Dia... di mana?                       
Bagaimana kalau...
Souka!
Untuk menggantikan tugas Yamada, tim Kitagawa pasti menjalankan rencana B yang dilaksanakan oleh Yuto. Dia mencoba menjebak kami ke dalam permainan ini dan membuat kami terpencar. Dengan begitu, itu akan mempermudah Yuto untuk membunuh kami.
Dan ketika ada yang terbunuh, pasti Yuto menggiring opini kami bahwa boneka itulah yang membunuhnya!
Tapi... Takaki-lah yang menerangkan kepada kami tentang permainan ini.
Apa Takaki juga terlibat?
Ini semakin membingungkan.
Menyerah berpikir sendirian, aku melarikan kedua kakiku ke dapur, mencari Chinen. Sampai di sana, aku heran melihat kenop tampak bergerak.
Membungkuk, aku mencoba mengintip. Menempatkan mataku di depan lubang pintu.
BRAAAK!
Jantungku hampir copot saat sebilah pisau tiba-tiba keluar dari lubang itu, dan ujungnya hanya berjarak satu centimeter saja dari mataku. Sekali lagi, SATU CENTIMETER!
Lemas, aku terjatuh ke belakang.
Hari ini, sudah dua kali bola mataku hampir pecah.
“CHINEN!” aku berteriak marah dengan posisi masih terduduk di lantai.
“Inoo-kun?” akhirnya terdengar suara Chinen.
“Ya, dan mungkin ‘bukan’ saat kau berhasil menusuk mataku dengan pisau,” jawabku di antara napas yang memburu.
“Sepertinya semua ruangan di lantai satu sudah terkunci. Yuto mengurung kita semua. Kau paham kan?” Chinen baik bertanya, mengabaikan kekesalanku.
“Ya, aku juga berpikir seperti itu,” aku berdiri.
“Kalau begitu pergilah!”
“Apa? Justru aku menunggumu!”
“Itu akan lama. Kau harus ambil kunci cadangan di perpustakaan.”
“Ada?”
“Ya, di tumpukan novel detektif.”
“Baiklah.” Tanpa babibu, aku pun melesat ke perpustakaan.
.
.
.
Sesampainya aku di sana, jam tanganku sama sekali tak bisa membantu mencari di mana tumpukan novel detektif. Saat aku ke sini, aku juga tidak sempat menemukannya.
Aa—tunggu. Bukankah di sini tempat persembunyian Keito? Kenapa tidak ada tanda-tanda keberadaannya?
Seakan mendapat jawaban dari alam, penglihatanku langsung jatuh pada lubang di lantai yang menuju ruang bawah tanah. Tampaknya Keito ke sana. Baguslah kalau begitu. Dia akan tahu bahwa Yamada bukanlah orang baik seperti yang dia kira.
Mencoba memastikannya, aku pun turut menuruni tangga lipat, dan akhirnya sampai di ruang bawah tanah.
Hal yang pertama kulihat adalah sosok Keito yang berdiri membelakangiku.
“Keito, kau sudah tahu tentang—”
CRAAASH!
Aku tertegun saat tiba-tiba badanku terhempas hingga punggungku berbenturan dengan tembok. Ketika aku berniat maju, saat itulah aku menyadari ada sesuatu yang menahanku. Sebuah pisau, menusuk bajuku dan tertancap pada tembok, mencegahku pergi.
Aku menoleh geram pada Keito.
“APA YANG KAULAKUKAN?!”
Alih-alih menjawab, Keito malah tertawa. “Ternyata benar kata Yamada, aku tak boleh meremehkanmu.”
“Apa maksudmu?”
Dia mendekat, menarik kerah bajuku. “Inoo Kei, kau benar-benar sangat merepotkan. Kau mengacaukan rencana kami. Kurasa kau harus mendapat hukuman.” Dan dia pun merobek sebuah lakban.
“T-tunggu—hmmmph!!”
Terlambat. Dia sudah membungkam mulutku dengan lakban itu. Di detik selanjutnya, dia mengikat kedua tanganku di belakang, lalu mencabut pisau di bajuku dan mendudukkanku di sebuah kursi.
Selagi dia mengikat kakiku di kaki kursi, dia berujar, “Now, please enjoy... the best show of all time. Presented by Yamada Ryosuke, Nakajima Yuto, and me, Okamoto Keito.
Dan dia pun menarik tubuhnya yang sedari tadi menutupi layar monitor.
Jangan bilang...
Aku dipaksa untuk melihat pembantaian teman-temanku.
Chinen, Ryutaro, Takaki, Daiki, Yabu, Hikaru....
Tanpa sadar telapak tanganku telah tergenggam erat. Emosiku begitu memuncak hingga aku bisa merasakan darah dari luka terkena vas tadi, mengalir kembali.
Tapi apa yang bisa kulakukan sekarang?
Tidak ada.
Dalam diam aku memaki diriku sendiri... yang tak sanggup melakukan apa pun. Yang dengan mudahnya terjebak dalam perangkap tiga pemuda itu.
Sial. Sial. Sial.
“Tidak ada yang menyuruhmu menunduk, Kei.”
Tiba-tiba aku merasakan tangan Keito menjambak rambutku hingga aku mendongak. Kini aku pun kembali menghadap pada monitor-monitor itu. CCTV pasti menggunakan inframerah karena masih bisa merekam dalam gelap.
Bisa kulihat, di kamar Hikaru dan Daiki, Yabu tampak kebingungan, berusaha mendobrak pintu. Tapi tentu saja dengan tubuh kurus seperti itu, pintu takkan bisa terdobrak.
Begitu juga Hikaru. Dia terlihat berusaha keluar dengan memasukkan sebuah benda ke lubang kunci. Mungkin peniti atau kawat.
Lalu kulihat Daiki. Aku bisa sedikit memahami rasa takutnya yang berlipat ganda karena ada mayat Yamada di kamarnya. Dia tampak berusaha keluar lewat jendela. Tapi kurasa itu mustahil karena jendela terpasang begitu tinggi.
Dan itu membuatku heran. Bagaimana nanti Yuto masuk ke kamar? Sedangkan seluruh akses terkunci.
Mataku beralih ke Takaki.
Astaga. Dia bahkan hanya meringkuk ketakutan.
Kenapa tidak ada yang sepintar Chinen; membuka kunci dengan pisau yang mereka pegang?
Mereka yang kurasa lebih tua tapi malah kalah dari yang lebih muda.
Ngomong-ngomong soal Chinen....
Ternyata Chinen masih berkutat dengan pisaunya. Dia belum juga berhasil membuka pintu. Dia pasti masih berharap aku datang membawa kunci. Sayang sekali, Chinen, aku tertahan di sini.
Yang belum kuketahui tinggal Ryutaro di gudang. Mataku pun beralih ke sana, tapi... kosong. Aku tak melihatnya. Di mana Ryutaro? Dia juga tidak terlihat di monitor mana pun.
Sama seperti Yuto.
Sebelum aku sempat bertanya lebih jauh, Keito telah bergegas naik lewat tangga. Dia pasti akan mencari bocah Morimoto itu.
Morimoto Ryutaro, ganbatte!!
Memanfaatkan kepergian Keito, aku berusaha meraih pisau yang dibekalkan kepada kami semua. Aku menyimpannya di balik bajuku. Sambil berusaha meraih pisau itu, aku tetap memantau monitor.
Gerakanku sedikit tertunda saat kulihat seseorang keluar dari arah perpustakaan dan berlari ke koridor menuju kamar Yamada dan Keito. Dia terlihat sibuk membuka kunci, sampai akhirnya pintu itu terbuka.
Saat itu aku langsung mengalihkan pandanganku pada monitor yang menampilkan kamar Yamada, dan akhirnya mengetahui kalau orang itu Ryutaro!
Kulihat Daiki segera menghambur ke depan. Dia menerima sesuatu dari Ryutaro. Sepertinya kunci. Lalu Daiki pun pergi keluar, bersiap membuka kamar yang lainnya.
Bagus, Ryutaro! Dia memang sangat bisa diandalkan.
Sementara itu, Ryutaro berjalan mendekat ke arah mayat Yamada. Tak kuduga, dia membuka kain putih yang menutupi tubuh kaku itu, lalu tampak memeriksa dadanya. Dadanya yang beberapa jam lalu tampak mengeluarkan darah akibat luka tusukan.
Ryutaro terlihat mengamatinya dengan teliti, sampai kulihat dia mengeluarkan secarik kertas dan menuliskan sesuatu di atasnya. Dan aku pun sedikit terkejut saat dia mengalihkan wajahnya pada CCTV, karena aku bisa melihat dengan jelas matanya yang menatap tepat ke mataku. Sejurus kemudian, dia pun menunjukkan kertas itu.
“INOO-CHAN, AKU TAHU KAU ADA DI SANA.”
Dan dengan bodohnya aku mengangguk, saking canggungnya. Ini seperti bicara lewat Skype, tapi Ryutaro tidak melihat wajahku. Dan dia terlihat sangat yakin.
Sebelum aku sempat berpikir lebih lanjut, Ryutaro menunjukkan kertas yang lain.
“TIDAK ADA LUKA TUSUK DI DADA RYOSUKE.”
Aku mengerjap untuk beberapa saat, memastikan tulisan itu memang terbaca demikian.
Lalu bagaimana dia mati?
“KAU BERTANYA BAGAIMANA DIA MATI?”
Ryutaro menunjukkan kertas yang lain seakan dia membaca pikiranku.
“DIA TIDAK MATI, IDIOT.”
Tapi tidak dengan mengataiku “Idiot”, Idiot!
“CIRI-CIRI ORANG MATI TIDAK HANYA BERLAKU BAGI ORANG MATI.”
Itu adalah kertas terakhir yang sempat dia tunjukkan.
Karena kertas selanjutnya telah terbang terbawa sebuah pisau. Ya, benar. Aku juga yakin itu ulah Keito. Dia membuatku tidak bisa membaca kertas itu! Padahal aku yakin kertas itu berisi jawaban tentang apa yang terjadi pada Yamada.
Kulihat kertas itu tertancap di tembok di samping Ryutaro.
Ryutaro pun menoleh ke arah si pelempar pisau.
Sebelum aku sempat melihat apa yang akan Ryutaro lakukan terhadap Keito, sebuah pisau terlanjur meluncur dan menusuk CCTV. Kontan membuat monitor yang kutonton berubah ke layar semut.
Sial.
Akhirnya aku pun melihat ke arah monitor yang lain, sambil kembali mengerahkan tenaga untuk memotong tali yang mengikat tanganku. Ini... sangat susah. Pisau itu berkali-kali malah menyayat jariku.
Di monitor yang lain, tampak Yabu, Takaki, Hikaru, dan Chinen tengah berkumpul di ruang televisi. Mereka seperti sedang berdiskusi. Ketika kualihkan mataku pada monitor dapur, aku pun terheran-heran. Kulihat Daiki sedang membuat... minuman?
Ck! Daiki, kau benar-benar.... Membuat minuman di saat seperti ini? APA KAU GILA?
Aku benar-benar tidak mengerti. Ini teramat sangat lucu hingga aku tak sanggup tertawa.
Kemudian, aku kembali mengamati monitor tempat empat orang yang lainnya berkumpul. Mereka tampak heran dengan televisi. Kemudian, televisi itu berganti channel dengan sendirinya, tepat saat kudengar suara...
AKU
AKAN
MENEMUKAN
KALIAN
Aku yakin suara itu terdengar dari televisi yang disetel dengan volume maksimal. Tapi, bukan hanya dari satu channel. Kalimat itu tersusun dari saluran televisi yang berbeda-beda.
Tak lama kemudian, layar televisi berganti lagi.
DI MANA
KALIAN
Aku merasakan keringat dingin menetesi dahiku. Sampai akhirnya aku mendengar kata-kata yang paling menakutkan.
AKU
MENEMUKAN
KALIAN
Yabu, Takaki, Hikaru, dan Chinen terlihat memandang ke satu arah dengan ekspresi terkejut. Ketika kuikuti arah pandang mereka, ternyata ada boneka itu!
Akumelihat boneka itu berjalan. Tepat seperti saat mati lampu tadi. Boneka itu berjalan semakin mendekat... mendekat....
Ketika kusadari Yabu dan lainnya menemui jalan buntu di belakang mereka. Mereka tampak gemetaran mengeluarkan pisau masing-masing, lalu melemparkannya ke arah boneka itu.
Namun sayangnya tak ada yang tepat sasaran.
Saat itu, aku menyadari empat pisau itu bergerak dengan sendirinya, lalu...
Aku tahu takkan ada yang percaya ini, tapi...
Pisau-pisau itu melayang di udara.
Bagiannya yang tajam mengarah tepat ke empat temanku.
Tak lama kemudian, pisau-pisau itu pun meluncur.
Tuhan, aku tak mau melihat kematian teman-temanku. Tapi entah kenapa sarafku seakan membeku. Mata ini masih menatap monitor itu.
Aku mendengar teman-temanku berteriak dari atas sana.
Teriakan yang memekakkan telinga, sekaligus menyayat hati.
Tanganku tergenggam lebih erat, sepenuh tenaga. Ketika aku menyadari mataku telah terpejam, terdengar denting pisau yang jatuh ke lantai.
Perlahan sekali aku mulai membuka kelopak mataku.
Keempat temanku...
Mereka...
Ingin rasanya aku menggosok mataku, agar semakin yakin bahwa yang kulihat kini adalah... keadaan mereka baik-baik saja.
Beberapa detik kami lalui dalam hening.
Pisau-pisau itu jatuh tepat di depan mereka yang tampak mengatur napas.
Kami heran, sekaligus lega.
Mendapati nyawa mereka masih ada di raga. Menyadari bola mata mereka masih baik-baik saja. Dan menyadari boneka itu ternyata sudah tidak ada di sana.
Apa... yang terjadi?
Mataku memindai seluruh sudut ruangan, sampai akhirnya menemukan sosok Daiki yang memegang sebuah wadah minuman yang terbuka. Dia tampak baru saja menumpahkan isinya. Dan ketika kulihat lantai, benar saja. Tampak genangan air di sana.
Jangan-jangan itu...
Larutan garam.
Ternyata tadi Daiki bukan membuat minuman, melainkan membuat larutan garam.
Takaki bilang, untuk mengakhiri permainan yang sebenarnya, kita harus menyiram boneka itu dengan larutan garam, bukan menusuknya. Justru kita menusuknya di awal permainan, sebagai tanda boneka itu sudah boleh “bermain”.
Kitagawa pasti membuat peraturan yang berbeda untuk menjebak kita. Agar kita menusuknya lagi dan lagi, dan membiarkan permainan tetap berlangsung. Membiarkan boneka itu tetap mengejar kita.
Souka. Aku baru menyadarinya, sementara Daiki sudah menyadarinya terlebih dahulu.
Daiki sugoi!
Aku bisa bernapas lega sekarang. Setidaknya, mereka sudah tahu kunci menghentikan permainan.
Yang harus kuselesaikan adalah... di mana Ryutaro dan Keito? Juga Yuto. Dan Yamada. Ryutaro bilang dia belum mati. Bisa saja Yamada tiba-tiba bangun dan mencelakakan kami semua.
Aku pun mencoba memutuskan tali yang mengikat tanganku, dan... berhasil. Selesai mencopot lakban dan melepas tali yang mengikat kakiku, aku bergegas menaiki tangga.
.
.
.
Ruangan pertama yang kumasuki adalah kamar Yamada.
Sama seperti yang lain, ruangan ini juga gelap gulita. Yamada masih di tempat tidur, terbaring lemah. Dalam pendar cahaya temaram yang berasal dari jam tangan, aku bisa mengatakan kalau kulitnya pucat. Bibirnya juga. Ketika kusentuh lengannya, aku hampir terjingkat saking dinginnya. Dan saat kutekan nadinya, aku tidak merasakan sedikit pun denyut di sana. Sungguh ciri-ciri orang mati.
Tapi ketika aku memeriksa dadanya, memang benar tak ada bekas luka apa pun.
Aneh. Kenapa ini tak disadari Yabu yang seorang mahasiswa anatomi? Padahal dia jugalah yang membawa mayat Yamada kemari.
Jangan-jangan dia berbohong soal statusnya sebagai mahasiswa.
Mengabaikan itu, aku mengalihkan pandangan pada kertas Ryutaro yang bersarang bersama sebuah pisau di dinding kamar. Mecabut pisau, kertas itu langsung kusinari, dan jelas tertulis di sana...
“AKU PIKIR DIA MENGALAMI ASTRAL PROJECTION.”
Aku mengernyit.
Astral projection?
Sepertinya aku pernah mendengar istilah itu.
Astral, astral...
Ah! Dalton... Dalton di film “Insidious”. Bukankah dia juga mengalami astral projection? Pengalaman roh berada di luar jasad, dan melanglang buana tak jelas ke mana.
Tapi ada perbedaan besar di sini. Dalton tampak tidur biasa tapi tidak kunjung bangun, sementara Yamada mencirikan orang mati.
Aku mengacak-acak rambutku. Teka-teki makin banyak, makin rumit, dan makin membuatku muak.
KRIEEET.
Mendadak aku menoleh ke arah pintu. Pintu yang sebelumnya kututup dan kukunci dari dalam, aku yakin itu. Penasaran, aku pun mengarahkan cahaya ke sana, tapi... tak ada siapa pun, atau apa pun.
BANG!
Tiba-tiba pintu itu tertutup dengan sendirinya, dan aku yakin aku mendengar suara klik yang menandakan pintu itu kini telah kembali terkunci.
Dalam kebingunan itulah, aku merasakan sesuatu melompat, lalu mendarat di wajahku.
Kontan aku jatuh terjengkang, sambil meraba sesuatu itu, melemparkannya ke depan.
Boneka itu!
Aku buru-buru mundur teratur ke belakang, sampai akhirnya aku merasakan punggungku terantuk tembok.
Sial, tidak ada jalan keluar dan tidak ada sedikit pun larutan garam di sini.
Mataku terpaku melihat boneka itu, dan aku bersumpah aku melihat bibirnya membentuk seringai. Ternyata dia telah memegang pisau itu! Pisau milik Keito yang tak sengaja tadi kujatuhkan karena kaget.
Sebelum aku sempat menghindar, boneka itu telah melemparkan pisau itu ke atasku, ke arah jendela kaca.
Refleks aku melindungi kepalaku dengan tangan begitu jendela itu mulai pecah dan kacanya berjatuhan.
Setelah itu, untuk kedua kalinya, aku melihat secara langsung bagaimana boneka itu berjalan mendekat kepadaku.
Tak punya pilihan lain, akhirnya aku berdiri. Menghadap ke jendela yang pecah, aku bersiap keluar lewat sana.
Dan seakan keberuntungan tidak berpihak padaku, aku merasakan boneka itu menarik kakiku. Aku pun membalikkan badan, berusaha meraih boneka sialan itu dan melemparkannya. Tapi malang, boneka itu kini meloncat ke perutku.
Seakan menertawai orang di depannya, boneka itu mengangkat kedua lengannya, menyentuh bingkai jendela.
Aku langsung terbelalak.
Di atas perutku, kaca jendela yang tak lagi sempurna itu ujungnya membentuk sudut lancip. Tentu saat bingkainya ditarik, benda tajam itu langsung menusuk perutku.
Aku mengutuk boneka itu dalam hati.
Sial. Sial. Sial. Boneka sialan!!!
Pusing menyerang kepalaku, membuatku lemas dan berkunang-kunang. Aku pun bisa merasakan ujung-ujung jariku mendingin, keringat membasahi baju dan rambut.
Kali ini aku sudah sangat menyerah. Pasrah.
Mataku perlahan terpejam. Di benak, sudah terbayang bagaimana perutku akan terkoyak, ususku akan terburai, dan darahku akan membanjiri lantai.
Telingaku mendengar bingkai jendela berderik.
Jadi begini akhir hidupku.
Dan jendela itu berderik lagi.
.
.
.
“MATI KAU!”
Tiba-tiba aku merasakan guyuran air membasahiku. Aku membuka mata, melihat boneka itu melepaskan bingkai jendela, lalu terjatuh pelan. Tepat saat itu aku mendengar derap langkah mendekatiku, dan mendapati Hikaru, Yabu, Takaki, dan Chinen menahan bingkai jendela itu hingga tak terhempas ke perutku.
Beberapa saat, aku hanya bisa membisu. Pandanganku ke awang-awang. Sampai akhirnya aku mendengar suara bentakan.
“Cepat keluar!” suara Hikaru memukul-mukul gendang telingaku.
“CEPAT KELUAR, BAKA!” dia mengulanginya.
Gemetaran, aku mengeluarkan tubuhku dari jendela. Namun, sebelum aku membiarkan pantatku menyentuh lantai, aku sudah terlanjur merasakan lengan mereka melingkari leherku, memelukku erat.
Aku tak percaya ini, tapi aku juga merasakan aliran air mata di pipiku.
Sial. Ini memalukan sekali.
Aku pun memaksakan diri tertawa, hingga akhirnya saat Daiki melemparkan wadah minumannya dan ikut serta memelukku, aku bisa merasakan tawaku lepas ke udara.
Yucks, drama queen yang menjijikan. Yamete yo.
Kulihat Ryutaro memasuki kamar sambil menyeret Keito yang terbekap mulutnya dan terikat tangannya.
Ryutaro tersenyum ceria. Senyuman ceria pertama yang dia perlihatkan kepada kami.
“Maafkan aku, Inoo-kun. Sebenarnya sejak awal aku mempercayaimu. Aku hanya berpura-pura tidak percaya agar bisa menyelidiki mereka dengan laluasa,” Ryutaro berujar, membuat ku tertegun. “Ngomong-ngomong, harus kita apakan tangkapanku ini?” dia mendorong Keito ke depan.
“Bagaimana kalau kita jadikan Keito panggang? Ah, tidak. Keito cincang lebih baik,” Takaki memutar bola matanya. Dia bercanda, tentu saja.
Kulihat Chinen berdiri, mendekat ke arah Keito. Tanpa basa-basi, dia melepas lakban yang membekap mulut Keito, hingga pemuda itu meringis kesakitan.
“Huaah! T-tunggu, aku bisa jelaskan ini,” Keito berkata dengan napas terengah-engah. Membuatku heran karena dia hampir selalu kelihatan  percaya diri sebelum ini.
“Aku katakan dengan jujur, tapi kalian belum bisa bernapas lega sekarang,” dia mulai menenangkan dirinya, “Yamada....” Dia melihat ke arah sosok yang dia sebut namanya.
Sontak kami bertujuh pun mengikuti tindakannya.
Jasad itu masih diam saat kami menatapnya di lima detik pertama, tapi tiba-tiba saja jari-jemarinya bergerak.
Kami semua menahan napas, dan saat kedua mata itu terbuka secara mendadak...
“AAAAHHH!!!”
Kami semua berteriak, tak terkecuali aku dan Ryutaro. Momen terbukanya mata Yamada itu... seakan-akan sebuah bom yang meledak tepat di genggamanmu.
“AAAAHHH!!!”
“AHAHAHAHA!!!”
Aku mengernyit. Perasaanku saja, atau memang aku merasa teriakan kami berubah menjadi tawa.
“Ahahahaha, usaha yang bagus, boys!”
Ternyata di depan kami ada dua orang lain yang datang. Mereka tertawa begitu keras sambil berangkulan, sebelum akhirnya mendekati Keito dan Yamada, dan kemudian menarik mereka ikut dalam rangkulan dan tertawa bersama.
Kami bertujuh hanya bisa melongo heran.
Ketika itu, tiba-tiba lampu menyala, dan kami bisa melihat ternyata dua sosok yang tadi datang dan tertawa seperti orang kurang waras adalah... Nakajima Yuto dan Kitagawa Johnny.
What the hell??!!
Menghentikan tawanya, kakek itu tersenyum hangat kepada kami. “Selamat, kalian telah melewati kompetisi ini dengan sempurna.”
Tidak ada yang menanggapi.
Well, well. Bagaimana aku harus memulai?” dia menaruh tangannya di dagu. “Jadi aku punya tiga anak buah yang sangat berguna di sini, dan menggunakan bantuan mereka untuk menguji kalian.” Dia menatap kami. Dan ketika kami masih saja menampakkan ekspresi bingung, dia pun melanjutkan penjelasannya.
“Begini. Aku adalah Johnny Kitagawa, kau tahu kan? Dan aku adalah... pemilik agensi bakat terbesar di Jepang, Johnny’s Entertainment. Aku memproduksi grup, solo, aktor.... Ikuta Toma? KAT-TUN? Arashi? Tokio? Kanjani8? SMAP? V6? Kalian tak mengenalnya?”
Kami berusaha mengingat itu, dan tiba-tiba saja seseorang berseru.
“Arashi!! Aku tahu, aku tahu!! Ohno Satoshi-kun!!” Kami semua menoleh ke arah Chinen, sedikit terkejut melihat matanya yang tiba-tiba berubah bentuk menjadi hati. Okay, tidak secara harfiah tentu saja.
That’s it!” kakek itu menjentikkan jarinya. “Dan kalian tahu, kesepuluh dari kalian menulis mimpi yang sama!” Dia mengatakannya dengan penuh semangat.
“T-tunggu, sepuluh? Bukannya hanya ada tujuh dari kami yang...”
No no no no,” kakek itu memotong perkataan Takaki.
“Mereka bertiga juga pernah menulis mimpi, tapi sebelum kalian. Mereka juga pernah melalui tes semacam ini. Katakanlah, mereka lebih senior,” Kitagawa melirik Yamada, Keito, dan Yuto yang meringis gembira.
“Nah, Yamada, katakan mimpimu.”
Sontak ekspresi gembira Yamada berubah menjadi kaget. “M-mimpiku?”
“Ya, semua mimpi yang kautulis.”
“I-itu...” entah mataku yang bermasalah, atau Yamada memang sedang blushing? “Mimpiku adalah... pertama, menjadi penari yang terlatih, yang diakui dan dikagumi banyak orang. Kedua, menjadi penyanyi yang bisa menjadi lullaby di saat orang-orang kesulitan tidur. Dan yang ketiga... badanku menjadi lebih tinggi.”
Exactly,” Kitagawa mengangguk-angguk, mengabaikan beberapa di antara kami yang terkikik geli.
“Errr, Kitagawa-san, tapi kurasa tinggiku sudah...” Yabu meletakkan tangannya di ujung kepala, mengukurnya.
“Bukan itu, baka!” Yamada tampak tersinggung. “Yang dimaksud adalah mimpi pertama dan kedua!”
“Oooh...” Kami semua mengangguk-angguk.
Ingatanku melayang pada surat di website. Di sana, kutulis...
“Sebagai manusia biasa yang hidup di Bumi, tentu aku punya banyak permohonan. Tapi Bumi bukanlah Surga, di mana kau hidup dalam mimpi yang kaurangkai sendiri. Di Bumi, sebagian besar dari keinginanmu hanya mendekam di dalam daftar tanpa sempat terwujud dalam realita. Sebatas itu.
Jadi—jika mimpiku ibarat bintang—ketika ada kesempatan yang ditawarkan kepadaku untuk mewujudkan mimpi itu, aku bagaikan mendadak terlempar oleh trampolin, meluncur melintasi langit.
Aku berpikir, mimpiku sudah dekat.
Dan kautahu, itulah yang kurasakan sekarang. Ya, sekarang. Saat aku menemukan situs ini.
Tapi tunggu. Aku bukan anak kecil yang sebegitu polosnya menerima permen yang diberikan oleh orang asing. Aku tentu tahu bahwa menulis mimpi dalam situs ini, bukan berarti itu akan terwujud. Aku hanya berpikir bahwa ini salah satu dari banyak kesempatan. Siapa tahu mimpiku bisa terwujud. Benar, aku hanya iseng. Kalaupun nantinya mimpiku tidak terwujud, aku takkan kecewa kok.
Terlebih, orang-orang berkata bahwa mimpimu takkan menjadi kenyataan kalau kau tak berani menyuarakannya. Jadi, apa salahnya?
Baiklah, kurasa aku terlalu banyak basa-basi. Mimpiku ada 2; singkatkan saja menjadi 3D printer dan bintang.
Selama ini aku diberatkan oleh tugas membuat maquette. Semua orang tahu betapa tugas itu sangat merepotkan dan membuat jari-jarimu terluka. Jadi, aku benar-benar memimpikan mesin pencetak 3D. Terdengar mustahil? Yah, sedikit. Tapi permohonanku mengalahkan logikaku yang beranggapan bahwa mesin itu hanya ada dalam mimpi.
Kedua, bintang. Kau tahu kan, bintang. Sesuatu yang memancarkan cahaya dan menjadi pelita dalam gelap malam. Sebuah inspirasi bagi orang lain. Dan selama ini, kebanyakan penginspirasi adalah... artis. Hey, aku tidak munafik. Memang begitu, kan? Menurut mayoritas remaja (para pencari jati diri) mereka banyak dipengaruhi oleh artis.
Lalu apa berarti aku ingin menjadi artis?
Maybe yes, maybe no.
Kalau dipikir-pikir lagi, pantaskah aku menjadi artis? Terdengar aneh. Aku tidak bisa menyanyi. Akting-ku jelek. Apalagi menari.... Tubuhku mungkin terlalu lemah untuk itu. Kemampuan seniku hanya bermain piano. Tapi para pianist kurang dikenal. Bagaimana aku bisa memberikan inspirasi dan semangat bila tidak ada orang yang mengenalku?
Ah, sudahlah. Yang jelas, itu tadi mimpiku. Huft.
Jadi, maksudnya... mimpi yang sama adalah... kami semua sama-sama ingin menjadi bintang.
“Dari surat kalian, aku menemukan banyak potensi yang menakjubkan. Mulai dari Yabu Kota, yang pandai menulis lirik lagu. Takaki Yuya, yang bersuara merdu dan maskulin. Inoo Kei, yang lihai bermain piano. Yaotome Hikaru, yang ahli bass. Arioka Daiki, yang bisa menjadi DJ. Okamoto Keito, yang sangat menguasai gitar. Yamada Ryosuke, yang pintar berakting. Nakajima Yuto, yang maniak fotografi. Chinen Yuri, yang lincah berakrobat. Dan Morimoto Ryutaro, yang kreatif dan punya segudang ide berkat kegemarannya bermain game. Kalian akan menjadi sesuatu yang very very very awesome jika menjadi satu. Karena itu, aku memutuskan untuk menggabungkan kalian dalam satu idol group,” jelasnya panjang lebar.
“Lalu apa hubungannya menjadikan kami grup idola dengan mengetes kami di kompetisi ini?” tanya Yabu.
“Sederhana saja. Tujuan kompetisi ini adalah untuk melatih kerja sama kalian dan menjadikan lebih akrab, sehingga ke depannya kalian akan lebih mudah menjalani kehidupan kalian sebagai satu kesatuan. Sebernarnya kami sama sekali tak berniat membunuh kalian, kok. Kami hanya membuat skenario agar semuanya tampak horor. Kami menguji bagaimana kalian membuat keputusan yang tepat. Bagaimana kalian membagi tugas. Bagaimana kalian mengutamakan kebersamaan,” jelas Kitagawa panjang lebar.
“Skenario aslinya hanyalah: Yamada terbunuh, semua mencurigai satu orang, menjadikan orang itu umpan di Hitori Kakurenbou, menjalani permainan, dan selesai,” Keito menambahkan.
“T-tapi, ada beberapa hal yang janggal. Kau tahu; boneka bergerak sendiri, televisi berganti channel sendiri, sampai pisau pun melayang sendiri!” Hikaru berteriak kesal.
Kitagawa tertawa renyah. “Itu juga punya jawaban yang sederhana. Ketika permainan berlangsung, Yamada melakukan astral projection. Rohnya keluar dari tubuh, lalu memasuki boneka itu dan mengendalikannya. Dia hanya bisa tertarik kembali ke dalam tubuhnya kalau boneka itu tersiram air garam.”
Kami semua memandang takjub pada Yamada.
“Semua orang bisa melakukannya, kau tahu. Itu bukan hal yang aneh,” Yamada berkata tenang.
“Kukira tidak ada hal mistis seperti itu,” gumam Chinen.
“Bukan hanya itu, Kitagawa-san. Ada lagi yang aneh. Kenapa dia tampak seperti orang mati, sedangkan Dalton di film Insidious hanya tampak koma?”
Kitagawa menatapku. “Inoo Kei, itu film. Banyak kebohongan di sana. Di dalam realita, ketika kau melakukan astral projection, lalu ada orang lain yang menemukan jasadmu, mereka akan buru-buru memandikannya dan memendamnya dalam tanah. Sudah banyak kasus seperti itu.”
Sou... ka?
Chotto. Itu hanya menjelaskan kejadian astral projection. Bagaimana dengan poltergeist6?” Ryutaro melemparkan pertanyaannya.
“Itu... ada spesialisnya sendiri.” Kitgawa tersenyum, menoleh pada satu sosok.
Nakajima Yuto.
That’s right. Aku punya kemampuan telekinetik7. It was born itself. I don’t know,” jelasnya singkat.
Aku menyentuh keningku, sedikit pusing. “Lalu siapa Keito? Kenapa dia bisa meyakinkan Yabu yang seorang mahasiswa anatomi bahwa Yamada sudah mati? Padahal jelas tak ada luka tusuk di dadanya,” analisaku lagi.
Keito tersenyum miring padaku. “Aku tidak meyakinkan apa-apa padanya. Dia sendiri saja yang percaya padaku.”
Terlihat Yabu menghela napas. “Jujur saja, aku tidak memeriksa dadanya. Aku benar-benar didoktrin agar percaya sepenuhnya pada Keito dan menuruti keinginannya.”
Exactly. Tugasnya memang begitu. Dia adalah dalang yang mengendalikan Yabu sebagai boneka agar tak ada yang percaya analisamu, Inoo Kei. Agar rencana ini berjalan sukses,” Kitagawa berkata menyindir. “Dan ngomong-ngomong, kau cukup cerdas. Aku salut.”
Cih.
“Bagaimana dengan Takaki? Kau sangat mengerti tentang Hitori Kakurenbou,” Daiki bergumam.
“Kau menuduhku terlibat? Sama sekali tidak! Aku hanya kebetulan punya teman yang pernah memainkannya, makanya aku tahu,” Takaki membela diri.
Souka,” Daiki menghela napas lega.
Nah, kenapa kita tidak berhenti membicarakan ini. It’s like...,” dia melihat jam tangannya, “2 a.m,” dia melanjutkan. “Well, terakhir aku hanya ingin mengucapkan: selamat datang di Johnny’s Entertainment! It has been decided, your group name is HEY! SAY! JUMP guys!
“Heisei... JUMP?” aku memiringkan kepala.
Nice name, isn’t it? Now go back to your room. And sleep,” dia berkata sambil membalikkan badan dan bersiap pergi.
“Tunggu dulu...”
Kami semua memandang heran pada Yuto, sebelum akhirnya mengikuti arah pandang pemuda jangkung itu.
Kini, bertengger di jendela, tampak boneka itu bermandikan cahaya bulan. Rambutnya tergerai berantakan hingga menutupi wajahnya. Meski begitu, kami masih bisa melihat senyum licik yang terulas di sana. Dan yang tak kalah membuat jantung kami berpacu, adalah tangan sebelah kanannya yang menggenggam pisau.
Tapi jelas itu bukan Yamada, karena dia juga sedang tampak terkejut bersama kami.
.
.
.
Dan pemainan Hitori Kakurenbou yang sesungguhnya pun...
...dimulai.
.
.
.
THE END
.
.
.
Catatan:
1Pemuda yang ceria, santai, dan suka bersenang-senang
2Model kecil untuk bangunan atau patung
3Cara membaca huruf kanji/hanzi dalam bahasa Mandarin (on’yomi)
4Alamat identifikasi komputer yang berada dalam jaringan (internet)
5Saluran yang menampilkan titik-titik hitam-putih (layar semut)
6Fenomena benda yang bergerak sendiri, seperti televisi yang berpindah channel sendiri dan pisau yang melayang seperti yang ada di fic ini
7Kemampuan mengendalikan benda dalam jarak jauh tanpa menyentuhnya