Kamis, 04 Oktober 2012

FanFiction "Time Machine"




Title :           Time Machine
Author :        Yuki Akanishi
Type :           OneShot
Rating :         G
Genre:           Romance, Agnst, Fantasy, Family 
 Cast:             Shida Mirai as Shida Mirai
                      Yamada Ryosuke as Yamada Ryosuke & Yamada Ryouta 
 Theme Song: SNSD – Time Machine
Disclamer : all cast milik agency nya masing2. Cerita ini punya saya (sedikit ngambil pengalaman pribadi  TAT). Gak pure sih, penah liat film tapi lupa judulnya apa. Pokoknya hampir sejenis dengan cerita ini. #terinspirasilah XD. Maaf bila ada salah dan kekurangan. Don’t bashing me. Peace.
Note : ini ff sebenernya repost. Tapi gak tau kenapa aku suka aja sama ff ini (ya iyalah, pengalaman pribadi XD). Makanya aku benerin lagi. Kalo masih ada yang salah, maafkan kekurangan saya ini >,
Minna please enjoy~
POV:            Shida Mirai


.
.
16.mei.2012    

 (13.30)

                Terik matahari siang ini cukup menyayat-nyayat dikulit. Sejenak aku mengangkat tangan kiri, melirik arlojiku. Mataku sedikit terkatup karna sinar matahari yang memantul pada kaca jam tangan membias ke kacamata yang ku kanakan ini. Aku berjalan perlahan menuju rumah. Dengan wajah yang terus menunduk kearah aspal yang seolah sedang terbakar cahaya matahari.
“panas…” gumanku berbisik. Aku seakan tak tahan menginjak bumi—namun aku tak sedikitpun mempercepat langkah kakiku.
                Sejurus memandang, mataku melihat seorang anak SD terengah-engah berjalan. Dengan tas selempang berwarna hitam—yang terlihat cukup berat. Ia terlihat menekuk wajahnya. Mungkin ia merasakan apa yang kurasakan; terik panas matahari yang luar biasa di siang ini. Aku mempercepat langkahku menghampirinya.
                “ konnichiwa(selamat siang), Ryouta-kun!”Sapaku terhadapnya. Ia sedikit menyunggingkan senyum saat melihatku.
“konnichiwa” jawabnya dengan wajah yang kembali datar. Hanya itu kata yag terlontar dari bibirku. Entah apa yang ingin ku lontarkan lagi pada anak yang sangat akrab kulihat ini. Walau ku tau ia tak mengenalku, namun wajahku mungkin tidak asing lagi baginya.
                “nēchan(kak),  baru pulang?” tanyanya yang terasa mengejutkanku.
“un.” aku mengangguk, dan langsung terlintas pertanyaan lain untuknya.
“kamu gak les?” tanyaku, ia menggeleng. Aku tak ingin bertanya apa alasannya. Aku takut menyinggung kesedihanya yang sudah berlalu sepekan ini. Ia pun tampak menekuk wajah chubby-nya yang malah terkesan imut.
Kebisuan kembali menerpa kami. Aku tak mengerti mengapa jantungku seolah tak beraturan berdetak, setiap kali aku membuka mulut pada anak yang sekarang duduk di bangku 4 SD ini. Apa karena garis wajahnya yang begitu mirip—jelas, mereka masih sedarah—sehingga aku terlalu gugup didekatnya.
“nēchan aku duluan ya…” ujarnya, seraya masuk kepintu gerbang rumahnya—tanpa menggariskan senyum sedikitpun. Aku hanpir tak sadar akan hal itu. Aku hanya terenyum dan sedikit mengangguk kearahnya. Aku terus memandanginya masuk kerumah bertingkat dengan cat tembok yang berwarna putih, yang terpakir dua motor dan mobil di halamannya—salah satu motor milik anak sulung keluarga itu, yang kini sudah tiada; Yamada ryosuke.
                Aku kembali melanjutkan langkahku menuju rumah. Hatiku linu mengingat kejadian seminggu yang lalu. Dan hal yang membuat penyesalan terbodoh dalam benakku.

 
(13.40)

                Aku terus melangkahkan kakiku masuk kerumah. Aku sendiri jadi linglung mendapati tubuhku yang sudah berada dikamar.  Kulempar tubuhku ketempat tidur seraya melepas kacamataku yang melekat sejak tadi—hampir tak sadar aku mengenakannya. Kubentangkan pandanganku  menatap penuh pada  langit-langit dikamar.
Entah ilusinasi atau alam bawah sadarku yang benar-benar merindukan dia. Aku seperti melihat sosoknya yang ikut tersenyum memandagiku—tergambar diatap kamarku. Senyumannya yang selalu membuat aku jatuh cinta.
Bodoh. 
                Hanya kata itu yang terbesit saat seseorang merasa dirinya menyesal.  Aku belum sempat megutarakanya. Mengapa ia harus pergi. Bahkan dihadapanku langsung tanpa bisa ku berbuat apa-apa. Tubuhku terasa membeku terbawa perasaanku. Walau awalnya  aku hanya mengabaikan perasaan ini. Namun sekarang seperti panah yang kembali menusuk kedadaku.
Buliran airmata menglir membasahi pipi. Aku membuka mulutku yang terasa sesak bernafas. Andai aku bisa memutar waktu! Tuhan, Ijinkan aku—untuk sekedar mengutarakan isi hatiku.
                “Mirai…makan dulu” suara itu terdengar mendengung ditelingaku. Aku tahu jelas siapa pemilik suara itu.
                “hai, Kāchan!” jawabku, yang terdengar begitu serak—aku bisa merasakan sakitnya tenggorakanku.
Mataku yang basah masih memandang kelangit-langit. Sosoknya, senyumnya, sudah hilang. Aku angkat tangan kiriku sampai kedepan wajah.
                Jarum jam di arlojiku menunjukan pukul 13.45,  hari ini—hari yang sama—diwaktu ini aku sedang memandangnya yang asyik bermain game online di warnet. Dengan canda tawanya yang begitu ceria, begitu jelas terdengar di gendang telingaku. Aku mencoba memejamkan mata meraba ingatanku akan dirinya. Disaat pertamakali aku melihatnya. Yang selalu duduk dibangku PC bernomer 13, tepatnya disebelahku—PC nomer 12.
                Ia cukup pintar bergaul—dibandingkan diriku. Hampir seluruh orang yang ada disana kenal akrab denganya. Bisa dibilang dia penggila game yang tiap harinya lebih banyak menghabiskan waktu kewarnet. Dilihat dari segi manapun wajahnya sangat menarik. Senyumnya yang ramah dan begitu ceria membuat orang tak enggan berteman dengannya.
                Aku tersenyum, saat mengenangnya. Entah sejak kapan tepatnya aku mulai meyukai sosok si ceria itu. Aku pun jadi cukup sering pergi ke warnet tanpa tujuan—hanya sekedar melihat dia—walau hanya beberapa menit. Lagi pula jaraknya tak begitu jauh dari rumahku. Yang jelas ia selalu ada. Dan hal lain yang membuatku cukup terkejut. Ia tinggal searah dengan rumahku. Aku pernah berpapasan saat ia membonceng adiknya pulang—dengan motor.
Ia selalu mengatar jemput adik laki-lakinya yang paling ia sayang. Tak perduli sepanas apa. Seseru apa ia sedang bermain. Bila sudah jam adiknya pulang, seperti alarm diotaknya berdering. Dan ia pun bergegas menjemput adiknya agar tak kepanasan dijalan.   

 (14.00)

                 Aku menghela nafas mencoba melepas semua kenangan yang kembali membanjiri air mataku. Aku membuka mata dan memakai kembali kaca mataku . Ku lirik kembali arloji ku. “14.00” jantungku berdecak terpacu dengan begitu cepat. Aku duduk dipinggir tempat tidurku. Mataku memandang lurus namun entah berada dimana pikiranku melayang. Tepat di jam ini, kecelakaan yang menimpanya kembali tergambar di mataku.
 .

 . .

 . . . 
“sorry helm kamu ketinggalan” ujuarku yang berlari kecil memhampirinya.
“are(eh),aa arigatou(terima kasih)!  lupa buru-buru, takut adikku nunggu kelamaan…” jelasnya. Seraya mengeluarkan motor dari sela-sela motor lain yang terpakir rapih.
“duluan ya, ja!” ujarnya kembali, dengan senyum. Ia langsung mengenakan helm.
“hai, hati-hati ya!” belum kering rasanya bibir ini berucap. Dan entah dari mana asal motor—dengan kecepatan tinggi melaju—itu berasal, menabrak ia yang baru menyalakan mesin motonya.
Tubuhnya terpental cukup jauh. Darah segarpun sekejap mewarnai aspal. Ia terkapar tak sadarkan diri. Entah mimpi buruk apa yang ia terima. Dan kecelakaan itu seketika merenggut nyawanya.
Tubuhku gemetar, rasa mual mengulung-gulung diperutku. Ingin teriak namun tak sedikitpun suara keluar dari mulutku. Semua orang mengerumuni dan memindahkan jasadnya. Tersangka yang menabrak kabur— ia juga sempat terjatuh . Aku tersungkur, ku kira aku pingsan. Namun nyatanya aku hanya hilang kesadaran pada otakku.
Entah siapa yang membawaku sampai kerumah—aku sama sekali tak sadar. Mereka menduga aku hanya shock melihat kecelakan yang berlangsung didepan mataku itu. Tapi sesungguhnya hatiku remuk dan melebur bersama jiwaku.
 . . .
 . .
 .
Aku menggelengkan kepala melapas bayanganku. Entah atas dasar apa, aku memutar jarum jam arlojiku pada lima belas menit sebelumnya. Ku pejamkan mata dan menarik nafas panjang mencoba menormalkan perasaanku. Aku tak ingin kejadian itu terjadi.  


9.mei.2012

(13.45)

“awas itu musuhnya…!!”
suara itu? mengapa? mengapa malah terdengar jelas suaranya ditelingku?
“yahh… ngapain dateng kesitu?  Hahaha, matikan semua!!”
Iya(tidak)… cukup mirai… cukup… ini sudah berlebihah…  Berhenti memikirkan dia !!

Kubuka perlahan kelopak mataku. Terlihat jelas layar computer dihadapanku. Aku melepas kacamata dan mengusap-usap mata dengan punggung tanganku. Aku dimana?
“yah, dibom lagi!! Hahaha, payah nih!!” tubuhku sedikit melonjak dan menoleh kesebelah kananku. Arienai (mustahil)!!
Kupakai kembali kacamataku. Terlihat video yang berputar pada layar computer dihadapanku. Aku mendelik heran—mungkin wajahku tampak seperti orang bodoh bila aku berkaca. Aku menampar pipiku mengembalikan kesadaranku. “itai(sakit)!” ini bukan mimpi??
“ daijoubu (kamu baik-baik saja)?” tanyanya—Sepertinya suaraku cukup keras tadi.
“ ahh.. aa hai ( ahh aaa iya)!!” aku terbata menjawabnya. Aku memandang wajahnya yang tampak nyata dihadapanku. Aku terus memandanginya.
“doushitte (ada apa)?” ujarnya yang tak lepas dengan senyum ramahnya.
“iie..(tidak) nandemo nai (tidak apa-apa)!”  ia kembali focus bermain. Mataku berputar kesegala arah memastikan apakah ini benar-benar nyata.
“minna… duluan ya… mau jemput adik dulu!”
ini seperti dejavu… kenapa bisa? Aku masih bertanya-tanya akan keberadaan ku. Namun sekejap pandanganku beralih padanya yang bersiap-siap meninggalkan tempat ini—sama persis seperti waktu itu.
“jaa!” ia melambai pada semua orang diruangan itu—matanya juga melihat kearahku.
                “ hai Ryo, hati-hati!” sahut mereka. Ia pun melesat cepat keluar dari ruangan. Helm!? Aku meraih helm yang tergeletak di meja PCnya. Aku mempercepat langkah menyusulnya.
“sorry, helm kamu ketinggalan!” kata-kata yang sepertinya pernah kuucapkan, kembali terlontar begitu saja.
“are, aa arigatou! lupa buru-buru, takut adikku nunggu kelamaan…” kata-kata yang samapun terlontar dari mulutnya. Ia mengeluarkan motornya, namun tanganku dengan cepat menjulur dan menariknya.
“ eh nande (eh kenapa)??” dia sedikit terkejut dengan aksiku—yang masih menggenggam tangannya. Tubuhnya sedikit melonjak mendengar suara motor yang dikendarai begitu cepat.
Save? Apakah ini sudah aman? Nafas ku terengah. Aku merasa sekujur tubuhku yang gemetar, dan peluhku terasa mengalir dari keningku seraya dengan detak jantung yang tak beraturan.
“daijoubu desu ka? (apa kamu baik baik saja?)” tanyanya. Aku segera melepaskan genggamku, wajahku terlihat pucat dan gugup—sepertinya.
                “hai, daijoubu…( iya aku baik baik saja) aku cuma sedikit pusing.” ujarku—jelas berbohong.
“mau aku antar??”
“oh gak apa apa kok, gak usah. Kamu mau jemput adik kamu, kan?”
“majisuka (are you sure)?” tanyanya. Dengan wajah yang sesungguhnya tak ingin ku tolak.
                “un, hontou! Daijoubu(iya,bener!  aku gak apa apa).”
“oh, ya udah. aku duluan ya!” Aku mengangguk. Wajahnya masih tak lepas melihatku—dengan tatapan khawatir—saat menyalahkan mesin motornya.
“sekali lagi terimakasih ya, hontou ni arigatou!” ia tersenyum. Dan lepas berlalu dari pandangan mataku. Aku menarik nafas lega, apa aku sudah menyelamatkannya?? Namun apa ini?? Mengapa terjadi hal seperti ini?? Pikiranku terus berkelut. Aku berjalan kaki menuju rumah. Seperti tak terasa akan ada hari ini. Aku memperhatikan baik setiap ke adaan di hadapanku. Semua nampak tak berbeda—walau sesungguhnya sedikit berbeda dengan kejadian yang terjadi seminggu yang lalu.
Aku masih berjalan penuh dengan kewaspadaan. Bola mataku terus sibuk bergelincir kesana kemari. Hatiku masih bergeming antara rasa percaya dan tidak. Tepat pukul 14.25 aku sampai dirumah. Kututup rapat pintu rumahku.  Tak ada seorangpun, mamah mungkin pergi berbelanja—aku melihat beberapa belanjaan dimeja minggu lalu.
Aku membuka pintu kulkas untuk melihat apa isi yang menarik didalamnya. Namun pilihanku hanya tertuju pada botol air yang berkeringat. Tanpa memakai gelas lagi aku langsung menenggaknya. Dahagaku seketika hilang.
“ mirai, kamu sudah pulang??” suara mamah mengejutkanku, yang hampir menyeburkan kembali air itu—mamah tak suka melihatku minum tanpa gelas. Aku buru-buru meyimpan kembali botol berisi air kedalam kulkas.
“hai, kāchan!” Jawabku berlari kecil menghampiri mamah di ruangtamu. Ia membawa beberapa kantong belanjaan— yang tampak sama—dan ditaruhnya diatas meja.
“mi, tadi mamah liat kecelakaan deket perapatan jalan kearah rumah kita !” cerita mamah dengan wajah yang cukup serius.
“hontou? Kecelakaan apa?” tanyaku menanggapi 
“motor!” 
“motor?”
“iya, skuter matic warna merah , kayanya mamah sering liat mukanya. Ada dua orang, yang satu masih remaja, seumuran mungkin sama kamu, kayaknya! terus yang satu lagi masih SD. kasihan deh mamah ngeliatnya. Pas banget didepan mamah! Mereka langsung meninggal !”
Aku menggidik mendengar cerita mamah, dileherku terasa ada batu menganjal yang menghambat pernapasanku. Aku sergap menoleh saat mendengar suara ambulan yang melintas didepan ruamahku.
                “ itu dia ambulannya !” ujar mamah menujuk kearah jendela. Aku melonjak keluar membuka pintu. Dengan berlari kecil, tanpa alaskaki, mengerjar perginya ambulan itu. Dan ternyata tepat berhenti dirumah keluarga yamada.
Pikiranku kembali kalut. Kudekati perlahan rumah yang kini sedang berkabung. Aku hanya berani berdiri sampai depan pintu gerbang rumah itu. Terlihat tubuh yang terbujur kaku bersimbah darah keluar dari mobil ambulan. Seketika kejadian menyeramkan itu kembali mewarnai mataku.
Mamah segera datang menjemput. Membawakan alaskaki untukku. Iapun menuntunku kerumah, dengan keadaan pikiranku yang kacau. Aku dudukkan disofa. Sepertinya de javu itu kembali. Jarum jam dinding menunjukan pukul 15.05, dan disaat itu pula aku berlari menuju kamarku—mungkin mamah sedikit heran memandangku.
Ku ambil arloji yang membawaku pada semua ini. Aku memutarnya kembali kebeberapa jam sebelumnya. Mataku terpejam sambil terus mengingat apa penyebab kecelakaan itu. Dan…

Aku kembali pada kejadian awal kisah ini.
Aku terus mengikuti alur yang sudah kuhapal ini. Aku memberikan helm itu dan menarik tangannya. Motor dengan kecepatan itu melintas, dan kecelakan pertama terselamatkan. Ia menatapku heran saat aku mengitari motornya.
Aku menemukan paku yang hampir mengenai ban motornya—bila ia menguluarkan motornya mungkin akan seketika menusuk.
“ ahhh arigatou… aku memang harus waspada” ujarnya kembali.
Aku tersenyum lega, ia pun segera mengas motor menjemput adiknya. Otakku masih bertanya-tanya. Apakah yang kulakukan itu benar??
Aku memperlambat langkahku menuju rumah. Memastikan ia benar-benar pulang dengan selamat. Motor matic itupun melintas menyerukan klaksonnya kepadaku. Aku tersenyum lebar kearahnya. Ia terus melajukan motornya hingga kerumah. Tenang rasa hati kini.
                Aku melihat kantung belanjaan itu sudah bertengger diatas meja.
“kāchan!” seruku memanggil. Namun tak ada sahutan sedikitpun. Kemana mamah? Aku mengambil air dari dalam kulkas—kini aku menggunakan gelas karna takut mamah tiba-tiba muncul.
Suara kerumunan tiba-tiba terdengar melintas didepan rumahku. Dan tak lama mamah pun kembali.
                “mirai, ada kebakaran!!”  ujarnya meledak-ledak.
                “kebakaran?dimana mah?”
                “mamah gak tau, tadi mamah liat orang-orang lagi berbondong-bondong.”
Kalap, akupun melonjak keluar rumah. Mamah mengekor dari belakang. Aku menelusuri letak keramaian itu. Sampai akhirnya tertuju pada rumah bertingakat 2, berwarna putih yang kini hangus tebakar. Tak ada yang terselamatkan seorangpun dari rumah itu.
“ Ryosuke…” bisikku lirih
  Kenapa jadi seperti ini? Apa arti semua ini? Apa tuhan sengaja terus menunjukkan kematiannya didepanku? Lantas mengapa kau ambil semua hingga tak tersisa sedikitpun?
Pikiran picikku terus terpaut dalam bayangan. Aku memutar dalam-dalam sisi ingantanku, mencoba memaknai arti dari semua ini. Tesentak ingat, akupun kembali kekamar. Memutar jarum pada arloji yang sekarang menujukkan pukul 14.35—kejadian yang merenggut nyawanya tak pernah terjadi dengan waktu yang sama. Namun selalu pasti hal itu terjadi.
  

  (14.05)

“ ini helmnya ketinggalan…!”
“are, aa arigatou! lupa buru-buru, takut adikku nunggu kelamaan…duluannya…”
“ ryosuke… “
“ hai, nande(iya, kenapa)?”
“sukidayo, hontou ni daisukidayo!!( aku suka kamu, aku bener-bener suka sama kamu!!)”
“hai, arigatou mirai-chan!(iya terimakasih mirai) ja matta(sampai jumpa)!”
Aku hampir tak percaya saat ia memanggil namaku—ia mengenaliku. Aku memejamkan mata yang seolah tak ingin melihat kejadian setelah ini. Hanya terdengar suara benturan keras dari mesin yang terus mendenging ditelingaku, dengan air mata yang mengalir dipipi.

 ja matta (sampai jumpa) ryosuke,  sayonara …

   16.mei.2012

14.20

“konnichiwa, nēchan!”
                Suara melingking itu nyeta menyapa ditelingaku. Aku menoleh kesosok anak yang berlari kecil menhampiriku—dengan wajah yang begitu cerah.
“konnichiwa, Ryouta-kun!” jawabku yang sedikit merasa aneh dengan senyum cerianya.
                “nēchan baru pulang?”
                “un!”
                “dari warnet ya?
                “ gak, dari rumah temen.”
                “oh,kirain! berarti aku salah dong hehe…” ia tertawa kecil.
                Aku benar-benar melihat perubahan besar pada dirinya. Ia sangat berbeda, sampai aku hampir tak bisa bilang bahwa itu Ryouta; adik Ryosuke
“nēchan mungkin orang gak akan percaya sama cerita aku… aku juga hampir gak percaya sama hal yang aku alami akhir-akhir ini.”
Aku mendekatkan telingaku saat ia mulai pembicaraan yang membuat aku bertanya-tanya.
“ kejadian apa? Kedengarannya menarik?”
“ tapi nēchan janji jangan anggap cerita aku ini bohong!”
“iya, trust me J” aku membangkitkan kepercayaandirinya untuk bercerita. Iapun kembali bererita
“aku ketemu sama nīchan”
                “ ehh, hontou(sungguh)?” bulu kudukku meremang saat mendengar ucapannya.
“ iya, walau aku gak bisa untuk bikin dia tetep sama aku, tapi aku gak nyesel lagi!” ia sedikit menjeda ucapannya, tangan kanannya terlihat meremas erat arloji yang ia kenan di tangan kirinya.
“ karna aku sempat bilang kalau aku sanyang banget sama nīchan, sebelum nīchan pergi…”
                “…”

END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar