Title: The Game of
Airlings1
Genre: mystery,
horror, supranatural, friendship
Cast: Hey!Say!JUMP
dan Johnny Kitagawa
Disclaimer:
Hey!Say!JUMP dan Johnny Kitagawa bukan milik saya
Author: Anandika D.
P.
Umur: 17 tahun
Alamat: Jl.
Dipayudha No. 17 Desa Bobotsari RT 02 RW 01 Kec. Bobotsari, Kab. Purbalingga,
Jateng 53353
No. HP:
089688483143
Alasan ingin mengikuti lomba: Ingin mendedikasikan sesuatu untuk Hey!Say!JUMP,
sekaligus mengembalikan produktivitas dalam menulis.
NB: Di bawah
ada glosarium untuk kata-kata yang asing.
Warning: a
little bit violence alias kekerasan (adik-adik di rumah jangan tiru ya! ^^)
.
.
.
[INOO KEI’S POV]
Tokyo, Juli 2010
“Jadi, kalian sanggup…?”
Sebuah
pertanyaan-retoris aneh dilemparkan dalam keheningan di ruangan bernuansa gelap
ini.
Ah, tidak
terlalu gelap juga. Karena cahaya kecil dari lentera di meja kakek tua itu
masih memungkinkanku untuk mengamati buku-buku tebal dan benda-benda antik yang
tertata rapi. Dan walaupun diletakkan di ruangan sempit dan kuno ini,
benda-benda itu tampaknya rutin dibersihkan hingga tak menyisakan debu sedikit
pun. Terbukti dengan tidak adanya satu pun di antara kami yang bersin.
Tidak hanya
itu. Berkat pendar cahaya, aku bisa melihat dengan jelas raut heran yang
menghiasi wajah kesembilan pemuda ini. Sembilan pemuda yang tidak kukenal dan
aku yakin, mereka juga tidak mengenalku.
Tapi kurasa
tidak hanya aku. Sepertinya, kakek tua yang congkak ini juga sama sekali belum
pernah terlintas dalam memori mereka. Karenanya, aku tidak heran melihat mereka
menampilkan ekspresi geram saat dengan sewenang-wenang, kakek bernama Johnny
Kitagawa ini meminta kesanggupan kami untuk melakukan kompetisi yang bahkan
belum kami ketahui. Sungguh aneh.
Seandainya
aku bisa mendengar jeritan hati mereka, aku yakin, yang akan memantul-mantul di
gendang telingaku adalah kata-kata semacam, “Dasar Kakek tidak tahu diri! Kau
pikir kau siapa, hah!? Kakek kami saja tidak pernah menyuruh kami dengan wajah
culas seperti itu!”
Begitulah.
Ah, tapi...
Bagaimana pun dia
itu orang tua, Kei. Kau harus menghormatinya.
Hening
menghinggapi udara hingga kini. Di antara kami tidak ada yang menjawab. Entah
karena takut, atau karena saking malasnya seperti yang terjadi padaku. Hey,
seperti yang kubilang, itu tadi pertanyaan retoris, tak perlu dijawab. Tipikal
penjebak. Tampaknya peringai kakek ini licik. Sebaiknya aku waspada.
Lalu, tanpa
menunggu tanggapan, dia kembali berujar, “Tentunya, jika kalian tak sanggup,
kalian boleh pulang. Tapi
jangan harap, kalian pulang dengan utuh…”
Sial.
Aku tarik
kata-kataku tadi tentang orang tua, penghormatan, dan embel-embelnya. Terlepas
dari segala rasa hormatku pada orang tua, orang yang satu ini sama sekali tak
pantas menerimanya.
Bagaimana
mungkin dia memperlakukan tamu seperti ini.
Ya, kami ini
tamu. Tempo hari, kami menerima e-mail yang meminta kami mendatangi suatu
alamat. Kami diundang untuk sesuatu yang tertulis sebagai Pelatihan Pembuatan
Maquette2 Arsitektur dan Urban Planning. Tentunya kegiatan ini
sangat bermanfaat untuk mahasiswa jurusan arsitektur sepertiku. Tapi, begitu
tiba di sini, aku curiga pelatihan yang diadakan akan sedikit berbeda dengan
yang biasa kuhadiri.
“Apa maksudmu, Kitagawa-san?” Lamunanku buyar. Seorang pemuda—ah, tidak. Kurasa dia
masih bocah. Wajahnya imut. Tubuhnya pendek. Giginya kelinci. Dia meminta
penjelasan dengan wajah polos. Di sisi lain otakku, aku tak habis pikir
bagaimana bisa anak sekecil ini tertarik pada arsitektur. Dia telah memikirkan masa
depannya dengan matang, eh?
“Ini adalah suatu persaingan yang
sangat diidam-idamkan orang banyak. Tentunya sudah ukan rahasia umum
untuk mereka. Jika
mereka terpilih untuk berdiri di sini, mereka akan mendapatkan konsekuensi yang
berlimpah, baik harta, uang, atau apapun yang kalian inginkan...”
Lagi-lagi
penjelasan yang aneh. Dia tidak menspesifikkan “orang banyak” sebagai
“arsitek”. Sebenarnya, apa yang sedang terjadi di sini?
Aku
memalingkan wajahku memandang sembilan pemuda ini satu per satu. Mereka semua
terlihat curiga sekaligus mencurigakan. Penampilan mereka berantakan, rambut
mereka ada yang dicat, dan terkesan mengikuti tren fashion. Sama sekali tak mencerminkan mahasiswa Jepang. Ataukah aku
yang terlalu nerd?
Kini aku
melirikkan mata pada kakek itu. Dia tengah menyamankan dirinya di bangku dan
memperhatikan kami dengan senyum sinis.
“Lalu apa maksudmu dengan tidak
akan utuh tadi?” Salah satu pemuda mulai ikut bersuara. Intonasinya
datar. Dia sama sekali tak terlihat gugup. Kalau diibaratkan atlet bela diri,
dia kini sedang memasang kuda-kuda. Waspada sekaligus percaya diri. Aku melihat
pada sosoknya. Di bajunya terjahit benang yang membentuk karakter kanji 山.
‘Shan’?
Ah, bukan.
Itu untuk pinyin3.
Untuk
Jepang, itu ‘Yama’.
Nama
pasaran.
“Pasti kalian tahu apa maksudku…” Jawaban singkat dari kakek itu memotong khayalanku.
Ya, benar.
Walaupun implisit, semua orang tahu apa yang dimaksud dengan “tidak utuh”. Aku
makin merasa salah tempat.
Aku makin
yakin. Bahwa ini bukan pelatihan mahasiswa arsitektur.
Ini...
penculikan.
Sudah tidak
ada lagi kesempatan untuk pulang.
Tapi
sepertinya aku harus bersabar dan mengikuti alur permainan kakek ini.
“Hanya itu? Baiklah kalau begitu…”
Sepertinya
ada yang berakhir dengan keputusan yang sama sepertiku.
“Lalu, apa yang harus kami lakukan,
Johnny-sama?”
Dia yang
berpostur tubuh tinggi dan seksi bahkan mendekat ke depan. Ngomong-ngomong, aku
bukan gay, tapi dari sudut pandang objektif dia memang seksi.
Kali ini
kakek itu berdiri, lalu berjalan perlahan mengelilingi kami yang mulai beraura
tegang. Memulai kembali sikapnya yang menyebalkan.
“Tapi…”
“Tapi…?”
“Ada dua peraturan di sini…”
“Apa itu?”
Aku memasang
telingaku baik-baik.
“Pertama, kalian akan tinggal di
sebuah asrama di tengah gunung milikku selama seminggu. Kalian tak boleh membawa alat
komunikasi apapun kecuali yang aku sediakan. Di sana aku akan memberi beberapa
petunjuk untuk kalian menemukan suatu hadiah dari kompetisi ini. Yang
berhasil menemukannya pertama, dialah pemiliknya. Kedua, tidak
ada aturan. Kalian
boleh saling menghalangi, menyikut, dan aku tidak ingin menghalangi kalian
apabila kalian ingin saling membunuh….”
Membunuh?
Sedikit
mengerikan, tapi.... Baiklah, aku mulai antusias. Ini mirip film “Hunger Games”
yang terkenal itu. “Apa hadiah
itu, Kitagawa-san?” Pertama kalinya aku menyuarakan isi
hatiku. Dan, ya, Kitagawa-san. Dia
belum pantas menyandang ‘gelar’ –sama
dariku. Problem?
Dia diam
sebentar sebelum akhirnya menjawab, “Itu… rahasia. Lakukan saja yang terbaik, dan
kalian akan selamat dari permainan ini. Jika beruntung kalian akan menang.”
Cih. Sampai
kapan dia akan memberikan jawaban abu-abu seperti itu? Membuatku semakin
curiga.
“Aku masih sekolah. Bagaimana
jika orang tuaku mencariku? Seminggu itu bukan waktu yang sebentar.”
Aku menoleh,
lalu mendapati pemuda yang berdiri paling pinggir. Ternyata dia masih sekolah.
Tingginya yang abnormal berhasil mengelabuiku dan berpikir bahwa dia seorang
mahasiswa.
“Tenang saja, Morimoto-san. Aku dan
orang-orangku sudah menyiapkan semuanya. Kami telah mengirimkan pemberitahuan
untuk keluargamu bahwa kau mengikuti summer camp. Tidak perlu khawatir. Begitu juga dengan yang lain.
Aku sudah menyiapkan skenario hingga tidak ada satupun yang tahu kalau
kalian pernah mengikuti kompetisi ini.”
Sebelum aku
sempat menganalisa jawaban itu lebih jauh, seseorang menyela.
“Apa tujuanmu?”
“Tujuan? Aku tak punya tujuan.
Bukankah kalian sendiri yang mendaftarkan diri kalian di sini?”
“Bohong!!!”
Satu kata
berintonasi tinggi yang berhasil memperkeruh suasana. Kali ini bersumber dari another cutie midget. Dia membawa tas
hijau yang tertera inisial AD. Dan dia terlihat sangat-takut-sekali.
“Aku tak pernah mendaftarkan diri
untuk mempertaruhkan nyawaku,” ucapnya,
sedikit bergetar saking takutnya.
Kakek itu
tidak langsung menjawab. Dia—dengan gestur malas—meraih laptopnya, lalu
mengutak-atik benda elektronik itu untuk beberapa lama. Kami menunggu dengan
gelisah, sebelum akhirnya dia membalikkan layar laptop itu agar menghadap kami.
Layar yang menampilan situs web yang kurasa tidak begitu asing.
“Lihat, 26 Januari kau mendaftarkan
dirimu di situs ‘Wujudkan Mimpiku’.
Di sana aku meminta kalian membuat surat apa yang sangat ingin kalian lakukan
dan alasan kalian untuk mewujudkan mimpi itu.”
Situs itu...
Souka!
Kali ini aku
menyadari betapa bodohnya aku sebenarnya.
Bagaimana bisa
aku tidak menyadari ini sejak awal?
Kei, kau
benar-benar bodoh!
Mendadak
berbagai potongan memori terhubungkan layaknya puzzle yang telah sempurna. Hal-hal yang sebelumnya kurasa samar
dan tak terdefinisikan kini menjelma terang. Jelas.
Ini semua
bermula dari meledaknya tren sebuah situs web beberapa bulan lalu. Rasanya,
topik tentangnya selalu mendapat porsi di setiap obrolan di banyak sekolah.
Entah di kantin, di perjalanan pulang, atau bahkan saat pelajaran berlangsung.
Beralamat di
we-make-it-true .co.jp, situs web itu menyediakan kolom untuk mengisi
mimpi-mimpi pengunjung situs. Tapi tentu situs itu takkan menjadi tren secara
mendadak. Jadi, apa yang mendongkrak kepopuleran situs itu?
Ada bagian
yang berisi testimoni orang-orang yang telah mencobanya dan berhasil mewujudkan
mimpi-mimpi mereka. Cukup meyakinkan. Setidaknya bagiku. Salah satu top testimoni yang masih kuingat...
Username knifeknight
E-mail 05093ount***@docomo.ne.jp
“Sekitar bulan
November lalu aku menulis mimpiku di situs ini. Tapi aku hanya iseng.
Maklumlah, aku hanya remaja biasa yang menyukai tantangan. Aku membiarkan
hari-hariku berjalan seperti biasa sampai akhirnya pada bulan Maret aku
mendapat e-mail yang memberitahuku kalau aku mendapat hadiah. Di situ juga
terdapat sebuah alamat tempat pengambilan hadiah.
“Saat itu aku tak
menyadari bahwa hadiah itu ada kaitannya dengan situs ini. Aku hanya berpikir
aku mendapat hadiah, dan itu berarti aku beruntung! Tanpa pikir panjang, aku
pergi ke alamat itu. Di sana, aku baru mengerti. Ternyata mereka memilih
beberapa di antara kami yang menulis di situs itu untuk menjalani lomba. Siapa
pun yang menang, bisa membawa “mimpi” yang diinginkannya. Dan kau tahu, lomba
itu sangat mudah bagiku! Tapi aku tidak bisa mengatakannya di sini karena
mereka bilang itu adalah rahasia bagi publik. Tapi, percayalah, kau hanya perlu
mempersiapkan tenaga dan keberanianmu! Dan tak lupa, tekad yang
sangat-sangat-sangat kuat dan jiwa bersaing hingga titik penghabisan! Setelah
itu, aku jamin kau akan menang!
“Selamat
berjuang!”
Motifku sama
dengan pengirim testimoni itu. Aku iseng dan penasaran. Aku hanya menulis
alamat e-mail dan mimpiku di sana, menitipkan harapanku pada situs yang tak
jelas asal-usulnya hingga akhirnya berujung di sini.
Dan sepertinya
kakek itu mengirimkan e-mail undangan kepada kami sesuai mimpi kami. Misalnya
aku, yang memimpikan mesin pencetak 3D untuk maquette, diundang ke “acara seminar arsitektur”.
Tapi tetap
saja, seharusnya aku menyadari betapa testimoni itu tak bisa dipercaya!
Alasan
pertama, knifeknight itu sudah jelas ceroboh. Hanya karena diiming-imingi
hadiah, dia pergi ke sebuah alamat yang tak dia kenal. Itu cukup mencerminkan
betapa tidak waspadanya dia. Tipikal remaja labil.
Kedua, dia
mengatakan, hal yang diperlukan untuk menghadapi lomba adalah: tenaga,
keberanian, tekad yang sangat-sangat-sangat kuat, dan jiwa bersaing hingga
titik penghabisan.
Kata-kata
kunci untuk sebuah peperangan dan pembunuhan, deshou?
Ini sejalan
dengan ucapan kakek tadi bahwa kita diizinkan saling membunuh.
Kesimpulannya:
anak pengirim testimoni tadi kemungkinan besar adalah seorang berandalan.
“Tapi aku sama sekali tak ingin
mempertaruhkan nyawa…”
Perkataan another cutie midget—AD—memecahkan
lamunanku.
Benar.
Saking bodohnya, kami bersepuluh tidak sadar kalau: selain mengirim surat
berisi impian, kami juga mengirim surat undangan untuk malaikat maut.
“Arioka-san. Aku tak pernah
meminta kalian semua mempertaruhkan nyawa. Alur cerita dan akhirnya adalah
pilihan kalian semua. Saling membunuh, saling bersahabat,
maupun saling membenci. Di sini, kalian semualah yang menentukan, dan kalian
semua yang akan mengatur jalan ceritanya. Aku hanya menyediakan hadiah dan
pemenangnya akan mendapatkan itu semua…”
Kami semua
tidak menanggapi.
“Yang jelas, apa yang sudah kalian
tulis di situs itu, tentang mimpi kalian... aku sudah menyiapkan semuanya.
Jadi lakukan saja yang terbaik.”
Souka? Jadi, dia mempersiapkan semua hadiahnya. Berarti dia juga
mempersiapkan mesin pencetak 3D karena itulah yang aku inginkan. Tunggu, tapi
aku juga menginginkan hal yang lainnya. Hanya saja, itu bukan benda konkret.
Bagaimana dia bisa mempersiapkannya?
Sial, kakek
ini benar-benar licik.
.
.
.
Sore
harinya, kami langsung dibawa ke asrama yang disebut-sebut si Kakek. Sebenarnya
ini villa, tapi karena kami tinggal tidak untuk berlibur, jadi sebut sajalah
asrama.
Perlahan aku
turun dari mobil. Di depanku berdiri bangunan megah bergaya art deco yang
tinggi menjulang. Di dalam dunia seni, sesuai namanya, gaya ini bersifat
sebatas dekoratif. Artinya, tidak ada filsafat yang terkandung di dalamnya.
Tapi sejarah menyebutkan bahwa gaya arsitektur ini berasal dari makam Mesir
kuno.
Di sana-sini
tampak cat mengelupas. Di lantai dedaunan berserakan. Padahal jarak pohon
terdekat adalah sepuluh meter. Terbayang seberapa besar angin yang berhembus.
“Tugas
kalian saat ini hanyalah tinggal di sini dengan normal. Persediaan bahan makanan
dan baju, semuanya lengkap. Di waktu yang tepat, kalian akan tahu apa yang
harus kalian lakukan. Lalu... apapun yang terjadi, rumah ini adalah milik
kalian bersepuluh. Tidak boleh ada yang masuk ataupun keluar.” Masih di dalam
mobil di jok sebelah kemudi, kakek tua itu mengingatkan kami. “Dan tenang
saja,” dia menoleh pada seseorang di sebelahku, “di sini tidak ada kucing,
kok... Hikaru-kun.”
Si pemuda
gingsul bermarga Yaotome terbelalak. Dia tampak ingin protes, tapi sayang, Lamborghini
yang ditumpangi si Kakek sudah mulai melesat. Mengecil dalam pandangan.
“Jadi, kau
takut kucing?” sebuah pertanyaan retoris terlontar dari pemuda yang berotot
kekar. Okamoto Keito.
“Urusai!”
Dan mereka
pun perang lidah.
Kami tidak
menggubrisnya. Takaki Yuya—si seksi itu—asyik memandangi pepohonan, diikuti
Nakajima Yuto yang bereksperimen dengan DSLR-nya, mengabadikan pemandangan
gunung indah yang terhampar di sejauh ruang pandang. Yabu Kota berjalan-jalan dan
mengamati bunga-bunga. Morimoto Ryutaro—anak sekolah itu—masih saja mengeluh
karena ponsel dan PSP-nya disita. Yamada Ryosuke langsung memasuki rumah dengan
santai seperti rumah sendiri, serta si polos Chinen Yuri dan Arioka Daiki yang
mengikutinya.
Di
perjalanan tadi, kami memang sudah saling berkenalan. Mereka tipe yang akan
tersenyum saat kau bercerita tentang kebanggaanmu, yang akan tertawa mendengar
pengalaman lucumu, dan yang akan prihatin terhadap nasib malangmu. Kurasa.
Yah, tentu
saja aku hanya berpikir positif. Obrolan kami di mobil tadi hanya sebatas
namaku-blablabla-siapa-namamu-salam-kenal. Selain itu, satu hal lain yang
kutanyakan hanyalah: dengan undangan apa mereka datang ke alamat kakek itu.
Semuanya membuatku geli.
Yabu Kota
diundang dalam “pelatihan sepakbola bersama mantan pelatih timnas Jepang”.
Takaki Yuya
diundang dalam “pengambilan tiket ke Hawaii gratis”.
Okamoto
Keito diundang untuk “tampil dalam pertunjukan gitar solo”.
Chinen Yuri
diundang dalam “pelatihan akrobat”.
Nakajima
Yuto diundang untuk “memamerkan hasil fotografinya”
Morimoto
Ryutaro diundang dalam “bursa kerja paruh waktu untuk game-tester”.
Arioka Daiki
diundang untuk “casting film”
Yaotome
Hikaru diundang—mirip Keito—untuk ”tampil dalam pertunjukkan bass solo”.
Sementara
Yamada terlalu enggan—kalau tidak bisa disebut malu—mengatakan undangannya.
Membuatku
waspada.
Kurasa aku
tak boleh meremehkan bocah ini. Dia cerdas. Aku yakin dia menyadari bahwa
undangan itu berkaitan dengan mimpinya dan dia tak mau orang lain tahu mimpinya
itu apa.
Aku pun
mengingat situs web sederhana itu. Kita hanya perlu mengisi alamat e-mail, lalu
menulis mimpi kami....
—Tunggu.
Bukankah mimpi Hikaru adalah bisa tampil dalam pertunjukkan bass solo? Tidak
ada keinginan untuk melenyapkan kucing di dunia ini. Jadi, dari mana Kitagawa
itu tahu bahwa Hikaru takut kucing? Ataukah keinginannya lebih dari satu
sepertiku?
“Hikaru-kun,”
aku menoleh ke arah Hikaru, “ada berapa mimpi yang kautulis di situs itu?” aku
mencoba bertanya sedatar mungkin.
Pemuda
berambut cokelat itu langsung menjawab, “Kurasa hanya ada satu.”
“Kau yakin?”
“Tentu
saja.”
“Yakin
seyakin-yakinnya?”
“Aku bilang
‘tentu saja’!” Dia tampak mulai hilang kesabaran.
“Tidak ada
keinginan yang berkaitan dengan menghilangkan seluruh kucing yang ada di dunia
ini?”
“APA? Kau
sibuk bertanya padaku demi mengejekku seperti bocah Okamoto itu?!”
Dasar bodoh.
Aku facepalmed. “Tidak, Hikaru-kun.”
“Dengar! Walaupun
aku benci kucing, itu bukan berarti aku phobia! Aku tidak sesinting itu sampai
mengharapkan spesies Felis silvestris itu punah dari muka bumi!” Dan dia
berdecih.
Oh yeah. Seorang anti-kucing
hapal nama latin hewan itu.
“Lalu
kira-kira dari mana Kitagawa-san tahu kau benci kucing?” aku menahan kesabaran.
Hikaru
mengalihkan pandangan padaku. “Aku juga masih mempertanyakan itu.”
“Tidak hanya
itu. Tadi di kantornya, Johnny-sama juga berkata bahwa dia mengirimkan surat
pemberitahuan ke keluarga kita.” Seseorang andil bicara. Ternyata itu Takaki.
“Exactly,” aku mengabaikan wajah mereka
yang tampak konyol mendengar pronunciation-ku,
“itu maksudku.”
Mereka
menatapku seksama.
Aku pun
mulai membeberkan segala kebingunganku, berharap bisa berbagi dengan mereka.
“Di situs itu, kita hanya mencantumkan alamat e-mail dan surat berisi mimpi
kita. Sama sekali tak ada biodata ataupun profil. Jadi, bagaimana dia bisa tahu
alamat keluarga kita, apalagi sampai mengetahui trivia pribadi seperti benci
kucing?”
“IP address4.”
Sebuah suara
menimpali. Aku menoleh. Di depanku berdiri Morimoto Ryutaro.
“Situs itu
hanya tersedia versi desktop alias tidak ada versi mobile, agar dia bisa
melacak IP address dan mengetahui
dengan mudah di mana kita tinggal,” jelasnya dengan tenang.
Senyum pun
terkembang di bibirku, “Souka. Lewat IP address, kita bisa tahu lokasi
komputer. Tapi, bagaimana dengan informasi-informasi pribadi? Apa dia juga
meretas e-mail kita?”
“Bisa jadi.
Yang jelas, Johnny pasti mengerahkan usaha yang besar agar kita bisa turut
serta dalam kompetisi ini.”
Wow, aku
kagum dengan bocah ini. Bukan bocah biasa. Calon yang tepat sebagai partner-in-crime.
“Tapi, untuk
apa, Ryu?” tanya Takaki.
“Itu—”
“Nah, kenapa
kita harus berpikir sejauh itu?” potong Keito. Dia tampak apatis. “Bukankah dia
bilang dia tak punya tujuan? Dia hanya menyediakan hadiah yang kita inginkan.
Apa yang salah dari itu? Kalian terlalu banyak membaca Sherlock Holmes.”
Kami semua
terdiam. Tapi, dalam diam kami, aku yakin Ryutaro tidak menyetujuinya.
“Tapi,
Keito, dia mengatakan bahwa kita boleh saling membunuh. Apa kau tidak berpikir
kalau dia memang menginginkan kematian beberapa di antara kita?” kali ini
Hikaru yang bicara.
Benar juga.
Bagaimana kalau dugaan Hikaru benar? Tapi memangnya seberapa bahaya kami? Aku
tidak berpikir aku orang yang berbahaya. Aku tidak merasa memegang rahasia
besar apa pun.
“Lalu kau
mau apa? Kabur? Dia juga bilang bahwa jika kita pergi, kita tidak akan bisa
selamat,” jawab Keito. Dia menghela napas. “Asal kita bisa menahan diri, aku
yakin kita bisa selamat sampai di akhir permainan nanti.”
.
.
.
Memilih
menghentikan pembicaraan yang rasanya semakin suram, kami masuk ke dalam villa.
Tidak seperti bagian luarnya yang menyedihkan, dekorasi ruangan di dalamnya
cukup menarik. Terlepas dari pengapnya udara karena banyak debu, tentu saja.
Tapi, pengap ini sedikit berbeda. Ada juga hawa dingin. Bukan, bukan dingin
gunung yang biasa. Aku tentu tak asing lagi dengan itu karena aku sering
mendaki bersama teman kampus. Hawa dingin yang ini seperti sapuan lembut dari
tangan yang sangat halus.
Aku berhenti
saat melihat Yuto keheranan di depan pintu salah satu kamar. Seperti mencari
sesuatu.
“Oy, Yuto.
Kau sedang apa?”
“Aa,
Inoo-kun. Kau lihat ini, setiap kamar dihuni dua orang. Aku belum menemukan
kamarku.” Dia menunjuk papan yang tergantung di pintu.
“Souka,” aku melihat nama di pintu itu,
“ah, ngomong-ngomong, ini kamarku.”
“Ah, maaf.
Aku tidak terlalu hapal kanji kecuali namaku sendiri, hehe. Baiklah, aku akan
mencari ke sana.”
Aku
mengangguk maklum. Dia memang lama tinggal di Amerika. “Silakan.”
Aku langsung
membuka kenop pintu.
Tidak
terkunci.
Begitu
masuk, ternyata sudah ada satu orang di dalam.
“Chinen?”
Dia
mengangkat wajahnya dari buku yang dibacanya, tersenyum padaku. Aku balas
tersenyum, lalu berubah canggung saat menemukan sebuah boneka di sebelahnya.
Bukan sembarang boneka. Itu... boneka berbentuk anak perempuan.
Oh Tuhan,
kenapa begitu banyak orang aneh yang kutemui hari ini.
.
.
.
Matahari
tergelincir begitu cepat. Semua orang sudah menemukan pasangan kamarnya
masing-masing. Keito bersama Yamada, Daiki bersama Hikaru, Yabu bersama Yuto,
dan Takaki bersama Ryutaro. Di waktu makan malam, Yamada dan Yabu menawarkan
diri untuk memasak. Sebenarnya tidak menawarkan diri. Hal ini berawal dari
gumaman, “Andai ada yang bisa memasak~” lalu mengakulah mereka berdua.
Selepas
makan malam, beberapa orang kembali ke kamar masing-masing. Ada juga yang
menonton televisi. Tapi... urgh, itu dorama picisan. Aku tidak tahu apakah
tidak ada channel keren yang
disediakan Kitagawa, atau memang itu selera mereka. Yang jelas aku takkan
bertahan lebih lama lagi. Aku memutuskan untuk berkeliling asrama ini.
Asrama ini
terdiri dari dua lantai. Kamar HikaruDaiki, YabuYuto, dan TakakiRyutaro ada di
atas. Sementara sisanya di bawah. Secara umum seperti villa biasa. Tapi, ada
yang menarik perhatianku. Sebuah perpustakaan di lantai pertama. Aku bersyukur
masih ada tempat menyenangkan di sini.
Aku
mengamati jejeran buku-buku itu. Sangat variatif. Ada majalah kuno, novel, buku
sejarah, filsafat, dan bahkan... oh, arsitektur dan urban planning. Dua di antara beberapa minatku. Aku yakin mataku
berbinar-binar sekarang.
Beberapa
detik menimbang, pandanganku terpaut pada salah satu buku berjudul “Cities of
Tomorrow: An Intellectual History of Urban Planning and Design in Twentieth
Century” torehan pena Peter Geoffrey Hail. Kalau boleh jujur, aku lebih
tertarik pada urban planning ketimbang
arsitektur. Aku tidak hanya tertarik pada bangunan; aku juga tertarik pada
pembangunan kota. Tapi adikku memaksaku masuk ke arsitektur. Dan tanpa tahu
kenapa, aku pun setuju....
Ah,
sudahlah. Toh mereka masih berkaitan ini.
Tanpa ragu,
aku meraih buku yang konon menjadi salah satu buku urban planning terbaik. Namun, begitu menarik buku itu dari raknya,
aku merasakan lantai di bawahku tertarik gravitasi secara tiba-tiba.
Dan saat aku
mengatakan “lantai di bawahku”, itu berarti, tubuhku juga terhempas!
BRUK!
Rasanya
seperti kakimu ditarik oleh sesuatu.
Ini...
sungguh sakit. Aku mendarat di lantai yang sangat keras.
Aku
mendongak. Di depanku ada tangga lipat yang perlahan kembali menutupi lubang di
atasku.
Jadi ada dua
kekecewaan yang kudapat kali ini. Kesempatan yang hilang untuk membaca buku
impianku yang ternyata hanya tombol menuju ruang bawah tanah, dan terjebaknya
aku di ruang bawah tanah itu.
Namun,
mataku berkedut saat merasakan ada cahaya lain yang masih tersisa. Kepalaku
beputar, dan berubah tercengang saat kudapati jejeran layar monitor menampilkan
keadaan bagian asrama ini.
Aku bisa
melihat keadaan dapur, koridor, ruang televisi, perpustakaan, ruang tamu,
gudang, balkon, halaman depan, dan bahkan seluruh kamar. Ya, seluruh! Lima
kamar itu bisa kupantau dari sini.
Kitagawa
pasti menghubungkan rekaman ini ke kantornya.
Dasar mental
penguntit.
CCTV
tampaknya diletakkan di tempat yang tersembunyi hingga kami tak pernah
melihatnya.
Tapi, di
antara monitor-monitor itu ada satu monitor yang menampilkan display yang berbeda. Aku mendekat,
mencoba mengutak-atik. Tertarik pada folder “PROFILE”, aku mengekliknya. Namun,
sebuah kotak dialog muncul, menanyakan password. Anehnya, di sebelah kolom
password itu ada karakter kanji 快.
Souka. Jadi ini hanya tes membaca kanji.
Kalau tidak
salah, kanji itu dibaca... kai.
Aku pun
mengetiknya.
KAI_
Enter.
“TRY AGAIN”
Eh?! Nande?!!
Jelas-jelas
itu kai. Semua mahasiswa Jepang pasti
tahu. Kecuali kalau pinyin, baru
dibaca kuai.
Wait, jangan-jangan memang diminta pinyin?
Tanpa ragu, aku
mengetik kembali.
KUAI_
...?
“PASSWORD
ACCEPTED”
YOSHA!!!
Akhirnya ada hari di mana bahasa Mandarin berguna di hidupku.
Folder
terbuka. Baru beberapa saat, mataku melotot melihat data-data berisi profil
beberapa orang. Dan bukan sembarang orang, tapi ada kami! Tampilan pertama
adalah foto kami, dan kalau diklik, baru tampak profil lengkapnya. Tapi yang
membuatku tertegun adalah: foto-foto itu seperti hasil jepretan paparazzi. Aku merinding membayangkan
betapa hidup kami selama ini telah dimata-matai.
Iseng, aku
membuka folder Yamada Ryosuke. Tentu dia yang paling merebut perhatianku. Pemuda
tenang yang misterius.
Klik.
[山田涼介PROFILE]
Name: Yamada Ryosuke
Nickname:
Yamachan, Yamada, Ryo-chan
Birthdate: May
9th, 1993
Birthplace:
Tokyo, Japan
Lives: Kanagawa,
Japan
Blood Type: B
Height: 165 cm
Weight: 53 kg
Status: Currently member
Special skill: able to use knife
properly
Fav. Food:
Strawberry, Eggplant, Meat
Least Fav. Food:
Tomato, Fermented Soybean
Hobbies:
Cooking, Fishing
School: Horikoshi
Fav. Subject:
Social Studies
Fav. No.: 4
Fav. Color:
White, Orange
Fav. Sport:
Soccer
Masih muda. Kelahiran 9 Mei 1993. Dan ternyata dia seorang
siswa Horikoshi. Orang tuanya pasti kaya, bisa menyekolahkannya di tempat
prestisius begitu. Tapi, yang membuatku sedikit lebih tertarik adalah pada bagian:
Status: Currently member
Tidak
tertulis jelas anggota apa, tapi ini sedikit mencurigakan.
Dan tidak
hanya itu.
Special skill: Able to use knife properly
Bisa menggunakan
pisau dengan baik.
Aku tahu dia
pandai memasak. Tapi bukankah lebih baik ditulis “able to cook”? Aneh. Tapi
tunggu—ada sedikit sesuatu yang mengangguku berkaitan dengan ini. Knife, knife... Ada sesuatu yang
seharusnya kusadari, tapi aku tidak ingat apa itu. Knife, knife...
AHA!
Knifeknight!
Seseorang
yang mengirim e-mail itu!
Jangan-jangan...
—Tidak. Ini
bukan lagi suatu keraguan.
Knifeknight
itu... pasti Yamada.
Aku tidak
hanya mempertimbangkannya dari hal tentang pisau itu. Tentu saja ada yang lain.
E-mail akun knifeknight
adalah 05093ount***@docomo.ne.jp. Aku masih ingat betul.
0509 itu
kemungkinan besar merujuk pada tanggal lahirnya. Bulan kelima, Mei. Tanggal sembilan.
Hari lahir Yamada.
Lalu, 3ount.
Angka 3 jika digeser 90° ke bawah akan membentuk huruf M, sehingga itu akan
menjadikannya “mount”. Dari kata “mountain”. Gunung.
Karakter
kanji 山 di dalam namanya berarti gunung.
Mencoba
meyakinkan diri, aku menekan tombol back.
Kemudian, aku melihat profilku, profil Chinen, Hikaru,dan Daiki yang
ternyata tertulis:
Status: None
Jadi, tidak
salah lagi. Dia berbeda dengan kami.
Yamada pasti
bersekongkol dengan Kitagawa untuk menjebak kami bersembilan. Status member yang dimaksud pasti “anggota tim
yang dibentuk Kitagawa”. Itu sebabnya dia tidak mau mengatakan apa mimpinya,
karena memang dia tidak mengirim surat seperti kami. Sebaliknya, dia “orang
dalam” yang menipu dengan menulis testimoni sebagai alat perayu.
Dan
mengingat kemampuan spesialnya menggunakan pisau, aku mulai meyakini perkataan
Hikaru. Kitagawa memang menginginkan kematian kami. Dan caranya adalah lewat
Yamada. Si ahli pisau.
Aku menoleh
pada layar monitor yang menampilkan keadaan ruang televisi. Tampak semua orang
mulai berkumpul. Seperti akan membicarakan sesuatu.
Jika aku
tidak hadir, pasti aku akan dicurigai.
Aku pun
bergegas naik lewat tangga lipat. Dalam hati bertekad membongkar rahasia Yamada
di depan yang lainnya.
.
.
.
Tiba di
ruang televisi, tatapan mereka tampak seperti orang yang lega selepas menunggu
sekian lama. Aku mendudukkan pantatku di sofa, di sebelah Hikaru, melipat kedua
tangan.
Di depan
kami, Yabu Kota berdiri membelakangi televisi yang menampilkan layar hitam,
mati. Tampaknya peran ketua telah diambil olehnya. Hmm, tak apa. Memang dia
yang kelihatan paling dewasa di antara kami. Tapi kuharap tak sekadar
“kelihatan”.
“Aku ingin
kalian tak memandangku sebagai pengatur yang sok atau semacamnya. Aku hanya
ingin memastikan kita menjalankan kompetisi ini dengan baik,” dia membuka
pembicaraan.
Sembari
mendengarkan, aku menyapu pandangan ke semua orang, sebelum akhirnya jatuh fokus
pada Yamada. Dia kelihatan memperhatikan dengan fokus dan serius.
Cih, aktor.
“Walaupun Johnny-sama
membolehkan kita untuk saling membunuh, aku meminta kita untuk menahan diri,”
Yabu melanjutkan.
Hmmm, persis
seperti kata-kata Keito tadi sore.
“Aku
serius!!” Yabu sedikit menaikkan intonasi. “Walaupun kita ibarat di jalan
menuju surga, kuharap kalian tak berorientasi pada hadiah itu. Aku ingin
memastikan kalian memikirkan nyawa orang lain juga. Aku yakin kita semua orang
baik. Tidak ada yang bodoh sampai berubah ambius demi hadiah itu. Bagaimana?”
Gumaman “hai~”
terdengar.
“Selain itu,
aku juga ingin kita mengadakan perjanjian: kita akan merelakan siapa pun
mendapat hadiah itu.”
“Ide bagus.”
“Lagipula,
aku tak terlalu peduli dengan hadiahku.”
“Iya, waktu
itu hanya iseng.”
“Aku
menerimanya.”
Yabu
terlihat lega. “Bagus. Ada yang ingin menambahkan?”
“Tunggu!”
Tentu saja
aku yang bersuara.
Aku berdiri.
“Bukannya aku bermaksud membuat keruh suasana, aku hanya ingin menyampaikan...
sebaiknya kalian waspada.”
Semua orang
menatapku bingung.
“Pesan Yabu
memang baik, tapi itu hanya akan ditaati oleh yang benar-benar tergabung dalam kelompok
kita.”
Hening,
sebelum akhirnya Yuto menyambung, “Maksudmu... ada di antara kita yang...?”
“Siapa tahu?”
aku mengembalikan pertanyaan. “Sejak awal Kitagawa-san mengumpulkan kita dengan
cara aneh. Kita tidak kenal satu sama lain. Bisa jadi... dia memasukkan
penyusup yang mencoba menghancurkan kita,” ucapku. Tatapanku menajam, mengarah
ke Yamada Ryosuke.
Dan
tatapannya padaku pun tak kalah tajam.
“Inoo-kun,” Keito
terkekeh, menginterupsi, “kita sudah membicarakan ini tadi.”
“Aku tahu,
tapi...”
“Inoo Kei,”
kali ini sang leader. Nada bicaranya
yang tegas memaksaku menghadap kembali padanya. “Kau bilang tidak bermaksud
memperkeruh suasana. Tapi ini jelas memperburuk hubungan di antara kita semua.
Aku harap kau berhenti bicara omong kosong seperti itu. Sebuah peluru hanya
bisa menembus satu kepala, tapi perkataan provokator sepertimu bisa menembus
ribuan kepala.”
“Aku bukan
provokator!”
Aku sungguh
tidak percaya Yabu mengambil kesimpulan seceroboh itu. Apa dia tidak berpikir?!
“Kalau
perlu, aku bisa tunjukkan—!”
“Tidak
peduli ada penyusup atau tidak,” memotong perkataanku, Keito kembali berkata, “kalau
kita memperlakukan semua orang dengan adil dan tidak saling curiga, semuanya
akan baik-baik saja.”
Kudengar orang-orang
yang sejak tadi membisu kini mulai berbisik-bisik, mengiyakan perkataan Keito.
Aku pun
teringat seseorang.
”Ryutaro,
bagaimana denganmu?”
Ryutaro
masih duduk dengan tenang. Tatapannya masih teduh. Dia kemudian mendongak, “...Kurasa
Keito-kun benar.”
Kalimat itu
begitu menohokku. Kakiku serasa melemas.
Tidak ada
yang percaya padaku.
Satu pun.
“Yabu,” seseorang
bersuara. Hikaru. Dia turut berdiri. “Aku mendukung sikap kepemimpinanmu. Aku
juga berpendapat bahwa perkataan Inoo meruntuhkan prinsip yang tadi kautanam
kepada kami semua. Tapi, kurasa kurang bijak kalau kau langsung mencap Inoo
provokator. Mari kita dengarkan alasannya.” Dia menoleh padaku. Sosoknya yang
tadi sore terlihat goofy,
temperamental, dan labil; berubah drastis. Aku bisa merasakan jiwa kepemimpinan
seperti Yabu yang ada di dalam dirinya.
“Baiklah,”
aku menghela napas. “Tapi sebelumnya, aku ingin tiap orang di antara kita menjawab
beberapa pertanyaan dariku. Dengan jujur.”
Dalam hati
aku tersenyum sinis pada Yamada. Dia terlihat membelalakkan mata.
“Dimulai
dari... kau,” aku mengatakan itu pada Yamada. “Nama lengkap?”
Beberapa
saat, dia masih terlihat diam. Menatap kosong ke depan. Lalu, dia mengangkat
wajahnya, memandangku.
“Seperti
Yabu-kun... sejujurnya aku juga memandangmu sebagai provokator. Dan provokator selalu
muncul dari pihak yang sebenarnya salah,” ucapnya tenang. Tapi terdengar sangat
sinis di telingaku.
“Kenapa? Kau
takut identitasmu terungkap?” Aku mengejeknya.
“Apa alasan
yang membuatku takut? Lagipula, aku sudah mengatakan semua tentang diriku pada
teman sekamarku.”
Aku menoleh
pada Keito. Kulihat dia berkata, “Dia mengatakan semua tentang dirinya. Dan
kurasa dia bukan penyusup seperti yang kaubilang. Lagipula, kalau memang benar
dia penyusup dan berniat membunuh kita, sekarang pasti kita semua sudah mati
karena memakan masakannya yang beracun.”
Sial. Keito benar. Kalau dia berniat membunuh kita, dia bisa
saja memasukkan racun ke dalam masakan karena dia yang membuatnya. Tapi...
“Dia takkan
berani. Yabu bersamanya,” elakku.
“Sejujurnya
ada banyak waktu di mana aku tak begitu memperhatikannya,” Yabu berujar lagi.
Aku pun
semakin terpojok. Sial. Sial. Apa lagi
yang harus kukatakan untuk meyakinkan mereka?
“Sudahlah,
Inoo-kun. Nyatanya, kau menuduhku penyusup dengan sangat tidak berdasar,”
Yamada kembali bersuara.
Membuatku
geram. “Aku tidak—”
“Hilangkan
prasangka buruk dari pikiranmu itu. Aku siap menjadi jaminan akan jati diri
Yamada yang sebenarnya,” lagi-lagi Keito memotongku, “Dia orang baik.”
Aku menatap
tidak percaya pada Keito. Dalam hati bertanya-tanya, brainwash macam apa yang dilakukan Yamada sampai Keito begitu
membelanya?
“Baiklah,”
Yabu berucap, “kurasa ini selesai. Waktunya istirahat.”
“Tapi,
Yabu—”
“Cukup,
Inoo,” dia menatapku penuh kesal, “Jangan lagi membicarakan hal itu,” lalu
mengikuti yang lainnya, kembali ke kamar.
Setelahnya,
pandanganku menubruk Hikaru. Dia terlihat... kecewa. Dan dia pun pergi.
Aku berdecih
dalam kesendiriaan. Setidaknya itulah yang kupikirkan.
“Inoo-kun?”
Ternyata
Chinen masih di sini.
Kudengar dia
berkata, “Sebaiknya kau tidur sekarang. Atau kukunci kamar dan kubiarkan kau
tidur di luar.”
“Berisik,”
aku berkata kesal,“Aku tidak peduli. Tidur saja sana bersama bonekamu itu.”
“Boneka?
Boneka apa?”
Arrrgh. Anak ini makin membuatku naik pitam!
“Aku bilang,
aku tidak pe—”
“Penjelasanmu
itu... seakurat apapun, selalu ada yang berusaha sekeras mungkin agar tak ada
yang percaya.”
Aku menoleh.
“Apa maksudmu?”
“Kau tahu
maksudku. Karena kita berpikiran sama,” dia tersenyum, lalu membalikkan badan,
bersiap pergi.
“Tunggu,
Chinen!” teriakanku menghentikannya. “Kalau begitu, siapa yang menghalangiku?
Penyusup itu... hanya ada satu, kan?”
Masih
membelakangiku, dia berkata, “Antara dua orang itu. Aku sendiri tidak tahu.”
Selepasnya, dia pun berjalan pergi.
Dua orang itu, ya.
Yabu Kota dan
Okamoto Keito.
Memang
mereka yang paling membela Yamada.
Siapa tahu
Yabu hanya berlindung di bawah statusnya sebagai pemimpin. Menggunakannya
sebagai modus.
Lalu
Keito... dia sekamar dengan Yamada. Bisa saja itu taktik agar lebih mudah
menyusun rencana.
Aku harus ke
perpustakaan dan memeriksa status mereka.
Ah, tapi,
selain itu... kenapa Chinen bisa tahu? Bukannya dia cuma... anak kecil.
Ini begitu
mengherankan.
Menyerah, aku
memutuskan untuk beranjak menyusul Chinen. Mungkin aku bisa membujuknya untuk bekerja
sama denganku.
Namun, baru
dua langkah aku berjalan...
Pandangan
mataku menghitam. Ruangan berubah gelap.
Listrik...
mati.
Bagus
sekali.
Di saat aku
tidak membawa senter maupun jam tanganku yang bercahaya.
Aku mencoba meraba-raba
sekelilingku, berjalan terseok-seok. Namun, aku merasa membeku saat mendengar
suara vas jatuh yang tanpa sengaja aku tabrak.
PRAAANG!
Dan aku tak
bisa menahan diri untuk berjongkok saat kurasakan pecahan itu juga mengenai
kakiku. Perih menjalar, hingga aku bisa merasakan setiap sel tubuhku seperti terbakar.
Dan aku yakin, darahku kini menetes mengotori lantai.
Sial. Sial. Sial.
Perlahan,
aku mencabut pecahan yang bersarang di ibu jari. Malangnya, ia juga melukai
kuku.
Aku tak yakin
aku akan kuat berjalan. Belum lagi mengingat banyaknya pecahan yang tersebar.
Di antara
rintihan sakit, sesuatu yang buram tampak muncul di penglihatanku.Aku
berkali-kali mengucek mata.
Memastikan
benda itu tidak bergerak mendekat kemari.
Tapi tampaknya
aku salah.
Seberapa
rusak pun penglihatan manusia (kecuali buta), ia akan menyadari bahwa sesuatu
itu telah berada tepat di depan hidungnya.
Dan yang
membuatku menahan napas adalah karena sesuatu itu adalah sebuah boneka. Boneka anak
perempuan.
Milik Chinen...
...yang
mulai kuragukan kebenarannya karena tadi dia juga bertanya-tanya, “Boneka?
Boneka apa?”
Aku
benar-benar ingin mengalihkan pandanganku dari boneka ini. Rambutnya tergerai
berantakan. Matanya besar, sangat besar. Pipinya merah. Dan senyumnya...
Senyumnya membunuh.
Tapi entah
kenapa aku tak bisa. Fokus mataku terpaku di sana.
Membuat
jantungku makin berdetak kencang dan keringat dingin menuruni dahi.
“I... noo.”
“HUWAAAAA!!!”
Jangan bilang...
jangan bilang padaku BONEKA ITU BISA BICARA!!!
Aku tak bisa
menahan diri untuk memejamkan mata dan mundur ke belakang, tidak peduli telapak
tanganku yang mulai berdarah karena tersayat-sayat pecahan vas.
“Inoo-kun
yang ahli analisa... ternyata bisa ketakutan begitu.”
Suara itu...
Yamada?
Aku membuka
mata, sedikit terhenyak melihat Yamada mengarahkan senter ke wajahnya. Namun,
aku yakin dia masih tampak mengerikan sekalipun dia tak melakukan taktik horor
klise seperti itu. Karena dia kini sedang tersenyum jahat.
Ya, jahat
dan sinis. Aku bersumpah aku tidak pernah melihat wajah sejahat itu sebelum
ini.
“Apa yang
kautakutkan, hmmm..., Inoo-kun?”
“Kau...
sudah kuduga! Kau adalah—”
“Itu benar,”
senyumnya makin licik, “Aku knifeknight. Dan tampaknya kau sudah tahu terlalu
banyak tentangku. Kecuali satu hal...”
Mataku
menyipit melihat pantulan cahaya yang menyilaukan. Kulihat dia memainkan sebuah
sesuatu.... Pisau. Benda tajam itu diputar-putarnya dengan lihai, seakan
dibuatnya terbang tanpa perlu menyentuhnya.
Dan senyum
itu berubah menjadi seringai.
“KAU BELUM
TAHU SEBERAPA BESAR KEMAMPUANKU!!”
Detik itu
aku bisa merasakan saraf-sarafku tidak berfungsi. Jari-jariku kaku. Lidahku
kelu. Semua yang kupikirkan hanyalah... Dewa Kematian ternyata telah
menghampiriku.
Terutama...
Saat pisau
itu mengarah tepat ke mata.
“AAAAAAAAAHHHH!!!”
.
.
.
Aku
mengerahkan seluruh tenagaku demi sebuah teriakan. Sirine yang timbul dari
perihnya rasa sakit yang amat sangat.
Butuh
beberapa menit untuk aku tenggelam dalam delusi kesakitan yang luar biasa
sampai akhirnya aku menyadari...
Tidak ada
luka apa pun di mataku.
Tapi, ada
cairan.
Aku membuka
mata. Perlahan... perlahan sekali. Di depanku hanya ada lapisan buram seperti
yang kaualami selepas menangis.
Menangis.
Air mata?
Aku
menyentuh mataku. Ternyata Yamada tidak mengarahkan mata pisau itu ke
penglihatanku. Tampaknya dia hanya menyemprotkan cairan cabai sampai membuat
mataku perih dan mengeluarkan air mata.
Menyadari
itu, aku mencari-cari Yamada. Dalam gelap, aku bisa mengatakan kalau ada
sesosok jasad tersungkur di depanku.
“Yamada?”
aku memanggil-manggil tanpa menyentuhnya. “Yamada, kau dengar aku?” Keadaan
masih hening.
Aku
mengernyit heran.
Sejurus
kemudian, lampu menyala.
Dan aku
tercengang begitu mendapati ternyata tubuh Yamada kini bersimbah darah. Seakan
memuncrat tepat dari dadanya. Matanya terpejam. Bibirnya memucat.
Apa... yang
terjadi?
“YAMA-CHAN!”
Aku
mendongak, melihat Yuto menampakkan ekspresi terkejut. Di belakangnya ada Yabu
dan Keito. Seiring mereka mendekat kepadaku dan Yamada, yang lainnya juga mulai
berdatangan.
“Apa yang
terjadi?” tanya Yabu sembari melipat kakinya.
“A-aku...”
Sial. Aku gemetaran.
“Aku juga
tidak tahu.”
Kulihat dia
memeriksa Yamada dengan teliti. Aku merasa tanganku mendingin, terutama saat
Yabu mengambil kesimpulan.
“Dia mati.”
Jantungku
serasa berhenti. Aku yakin, begitu juga yang lainnya. Mereka semua tampak
terguncang.
“Kau...
bercanda, kan?” Daiki terlihat menuntut untuk jawaban yang lain.
“Aku
mahasiswa anatomi, kalau kau tidak tahu,” Yabu menjawab dengan sedikit kesal.
“Kurasa
tidak butuh seorang mahasiswa anatomi untuk mengetahuinya,” Takaki juga, meraba
nadi Yamada, “semua orang tahu dia sudah tidak bernyawa.”
Yabu
menghela napas. “Keito, bantu aku membawa Yamada ke kamarmu.”
“Baik.”
Aku melihat mereka
pergi, dan begitu aku mengalihkan pandangan, orang-orang di depanku menatap
tajam padaku.
“Apa?” aku bergumam.
“Kalian tidak berpikir bahwa aku yang membunuhnya kan?”
“Tentu
saja,” Hikaru berjongkok, mensejajarkan pandangannya denganku, “hanya kau yang
bersamanya. Kami juga mendengar dia berteriak.”
Sontak aku
berdiri, “Aku. Tidak. Membunuh. Yamada!” tegasku. “Dan akulah yang berteriak!
Dia menyemprotkan cairan cabai ke mataku!”
“Kalau
begitu jelas dia melawanmu.” Hikaru turut berdiri. “Kau yang sejak awal
mencurigai Yamada. Tadinya aku sempat berpikir kau mempertimbangkan apa pun
secara matang, tapi...,” Dia menarik tanganku yang bersimbah darah, mengangkatnya,
sambil tetap menatap tajam padaku, “kau tidak ada bedanya dengan monster.” Dan
kemudian menghempaskannya.
Semuanya
diam mendengarkan Hikaru. Begitu pun aku, perasaanku begitu terluka hingga melupakan
rasa sakit di tanganku.
“Hentikan
itu, Hikaru-kun.” Chinen muncul di antara kami. “Kalau kau menganggap Inoo-kun
membunuh Yamada hanya karena dia tidak punya alibi dan tangannya penuh darah...
itu terlalu ceroboh.”
Dia pun
berjongkok, mengambil satu pecahan vas. Tanpa disangka, di depan kami semua, dia
menarik tangan kanan Hikaru dan menyayatkannya di telapak tangan pemuda Yaotome
itu.
“Chinen,
kau...!” Hikaru terbelalak pada bocah itu sambil memegangi tangannya.
“Kita semua
tahu tadi listrik mati. Inoo-kun menabrak vas hingga pecah dan mengenai
kakinya, lalu dia terjatuh dan membuat tangannya juga terkena pecahan itu
hingga berdarah. Lagipula, kau lihat mata Inoo-kun yang penuh darah itu? Itu
tanda dia menyentuh matanya yang perih saat terkena cairan cabai. Dan
Hikaru-kun, kau tak bisa langsung menyimpulkan kalau Inoo-kun membunuh Yamada. Apa
aku benar?” Chinen menatapku.
“Maksudmu, Yamada
bunuh diri?” Ryutaro akhirnya bersuara.
“Sebenarnya
tidak sesederhana itu,” aku tidak tahu bagaimana harus memulainya. “Tadi
sebelum Yamada datang, ada sebuah boneka berbentuk anak perempuan. Dan aku
bersumpah dia mendekat padaku dengan sendirinya.”
“Dan
sekarang kau berkata bahwa pembunuh Yamada adalah sebuah boneka?” Hikaru bertanya
dengan nada tidak percaya.
“Boneka?” gumam
Chinen.
“Ya, boneka
itu. Boneka yang kukira adalah milikmu karena dia bersanding tepat di sampingmu
ketika kau membaca buku!”
“Tidak ada
boneka di sampingku ketika aku membaca buku. Sama sekali,” Chinen memberikan
jawaban dengan yakin.
Aku merasa
dadaku sesak.
Dan sekarang aku
bisa melihat sesuatu yang tak bisa dilihat orang lain?
“Minna... coba lihat kemari.” Kulihat
semua orang mengalihkan pandangan mereka pada Yuto yang berdiri di pintu
perbatasan ruang televisi dan ruang tamu. Kami mendekat, makin jelas terlihat
bahwa dia memegang kertas dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya
memegang amplop.
“Aku
menemukannya di bawah pintu yang... Aku tahu kalian takkan percaya, tapi di
sana ada ukiran kanji yang berarti kematian.” Yuto berkata, menunjukkan kami
ukiran berbentuk karakter kanji 死di permukaan pintu ruang tamu.
Kanji shi yangberarti kematian.
“Dan surat
ini... berisi perintah untuk kita.” Dia menatap kami satu per satu, seakan
mengajak kami agar duduk melingkar mencari tahu isi surat itu.
INI ADALAH
PERMAINAN YANG SESUNGGUHNYA
KOMPETISI DI MANA
HANYA ADA SATU DI ANTARA KALIAN YANG AKAN MENANG
APAPUN YANG
TERJADI, KALIAN HANYA AKAN MELAKUKANNYA DI VILLA.
JANGAN KELUAR SATU
LANGKAH PUN DARI PINTU!
DAN JANGAN BIARKAN
ORANG LAIN MASUK!
KARENA SAAT PERMAINAN
INI TERJADI, ADA MAKHLUK LAIN YANG “TERTARIK”
PASTIKAN VILLA
TERKUNCI! JENDELA, PINTU, SEMUANYA!
VILLA INI ADALAH
MILIK KALIAN BERSEPULUH! INGAT ITU!
#1 Pertama yang harus kalian lakukan adalah: temukan sebuah
boneka yang terdapat di villa. Temukan sebelum pukul 9.30 pm, atau boneka itu
yang akan “menemukan” kalian!
“Itu... pasti
boneka itu,” aku mengatakannya dengan suara bergetar.
“Sssst...” Yabu
memaksaku bungkam. Ternyata dia sudah di sini, bersama Keito.
#2 Kedua, sayat perut boneka itu secara vertikal. Keluarkan
isinya, lalu ganti dengan beras. Tapi, harus ada sepuluh butir beras yang dipolesi
darah dari masing-masing kalian.
#3 Ketiga, jahit kembali boneka itu dengan benang berwarna
merah. Dan jangan memotong benang itu walaupun masih tersisa! Lilitkan sisanya pada
leher boneka itu.
#4 Keempat, taruh boneka itu di dalam bak mandi saat pukul
10 pm. DI DALAM BAK MANDI.
#5 Kelima, kalian bersembunyi dengan aturan:
Yabu: di kamar Yaotome
dan Arioka
Takaki: di kamar
Inoo dan Chinen
Inoo: di kamar
Yabu dan Nakajima
Yaotome: di kamar
Takaki dan Morimoto
Arioka: di kamar
Yamada dan Okamoto
Okamoto: di
perpustakaan
Yamada: di ruang
televisi
Nakajima: di ruang
tamu
Chinen: di dapur
Morimoto:di gudang
Masing-masing
harus membawa sebuah pisau. Ambil dari dapur. Tapi satu di antara kalian
membawa pisau yang tadi digunakan untuk merobek perut boneka. Terserah kalian
siapa yang membawanya.
#6 Keenam, semua orang mematikan lampu ruangan tempat dia
bersembunyi. Setelah itu, lima belas menit kemudian, orang yang membawa “pisau boneka”
pergi ke kamar mandi dan menusuk boneka itu tepat di dada kirinya.
#7 Ketujuh, masukkan boneka kembali ke bak mandi, dan
kembalilah ke tempat persembunyian sambil mematikan lampu seluruh ruangan yang
dilewatinya. SELURUH LAMPU DAN ALAT ELETRONIK HARUS MATI. Khusus untuk Yamada,
hidupkan televisi dengan volume maksimal. Pindahkan channel ke saluran statis
tanpa siaran5. Lalu lempar remote jauh darimu.
#8 Kedelapan,diam di tempat persembunyian. SAMPAI KALIAN
MENDENGAR TELEVISI TELAH BERGANTI CHANNEL, keluar dari persembunyian.
#9 Kesembilan, cari boneka itu sampai ketemu! Begitu kau
melihatnya, tusuk boneka itu hingga benang yang melilit lehernya putus. SIAPA
PUN YANG BISA MELAKUKAN ITU AKAN MENDAPAT HADIAH. Dan deminya, KALIAN BOLEH
MEMBUNUH ORANG LAIN UNTUK MENGURANGI SAINGAN.
#10 Permainan selesai.
Semoga kalian beruntung!
Selesai
membaca, kami bersembilan semuanya terdiam. Tidak tahu bagaimana harus menanggapi,
hingga akhirnya...
“Ini...
sedikit gila,” Hikaru berkomentar.
“Aku tidak
tahu apa maksudnya. Membunuh sebuah boneka?” Chinen menimpali.
“Dan aku
harus bersembunyi di gudang,” Ryutaro bergumam ngeri, terlihat pucat.
“Kalian
tidak berpikir kita harus melakukannya, kan?” aku berbisik pada mereka. “Tidak
ada konsekuensi yang kita hadapi walaupun kita tak mematuhi ini.”
“Boneka itu
akan mendatangi kita, kalau kau ingat peraturan pertama,” aku berdecak
mendengar perkataan Yabu.
“Tapi walau
bagaimanapun, aku tahu persis permainan ini. Temanku pernah memainkannya.”
Kami semua
menatap Takaki dengan penasaran.
“Hitori Kakurenbou. Sesuai namanya, ini
berarti kita melakukan petak umpet sendirian. Sendirian maksudnya... lawan kita
bukanlah manusia, melainkan boneka.” Takaki mulai menjelaskan. “Tapi ada
sedikit perbedaan di sini.”
“Apa?” tanya
Daiki.
“Pertama,
permainan ini seharusnya dilakukan jam tiga pagi. Kedua, ketika boneka itu
diletakkan di kamar mandi, kau juga harus meninggalkan pisau bersamanya.”
“Lalu?”
Entah kenapa aku merasa Daiki sangat tertarik.
“Ketika kau
telah menemukan bonekanya, kau harus menyiramnya dengan larutan garam. Bukan
menusuknya lagi.”
“Well, well. Still it doesn’t make any sense.
The point is, why must kill a doll?”
“Dia
mempertanyakan kenapa kita harus membunuh sebuah boneka,” Keito menjelaskan
kepada kami ketika kami heran mendengarkan celotehan Yuto.
Takaki
menjawab, “Kau tahu kenapa kita mengganti isi boneka dengan beras? Agar ada roh
yang memasukinya.”
“Lalu,
kenapa itu membutuhkan darah kita?”rupanya Chinen juga penasaran.
“Itu simbol
ikatan, bahwa kita adalah lawannya. Kitalah yang harus ‘dia’ cari,” Takaki
menatap kami. “Tenang saja, darah yang dibutuhkan tidak banyak. Kalian hanya
perlu menusuk jari kalian dengan jarum, lalu mengoleskan darah kalian pada
sebutir beras.”
“Jadi,
Kitagawa membuat kita berhadapan dengan hantu?” Yuto mengambil kesimpulan.
“Ya. Dan
karena hantu itu merasuki sebuah boneka, berhadapan dengannya tak semudah yang
terdengar. Roh itu mengendalikan boneka hingga bisa bertingkah selayaknya
manusia. Itulah kenapa Johnny-sama menyuruh kita menyalakan televisi di saluran
statis. Agar kita menyadari bahwa saat saluran televisi berganti, itu adalah
ulah si boneka.Dan asal kau tahu, ketika temanku memainkannya, boneka itu
menusuk matanya dengan pisau.”
Kalau begitu tidak
ada bedanya denganku. Hampir.
Aku yakin
semua orang di sini merinding mendengarnya.
Begitu
Takaki memungkaskan penjelasannya, aku baru menyadari bahwa sejak tadi aku
menahan napas.
“Kalian
menunggu boneka itu datang?” Yabu berdiri, memecahkan hawa suram di sekeliling
kami. “Daiki, kau pastikan semua pintu dan jendela di lantai satu terkunci.
Keito, kau pastikan di lantai dua. Chinen, cari benang merah dan jarum. Yuto
dan Ryutaro, ambil sepuluh pisau. Aku akan mengambil beras. Lalu Inoo, kau cari
boneka itu.”
“Aku?
Maksudmu... AKU?”
“Kau yang
tahu bagaimana rupanya.”
“Dan begitu
aku menemukannya, aku akan melemparkannya ke wajahmu,” aku menggerutu pelan.
“Funny.”
Aku menoleh,
demi melihat... Hikaru yang tertawa sinis. Aku tidak menghiraukannya.
“Hikaru, kau
bersama Inoo.”
“WHAT?”
Nah,
sekarang aku tak bisa menahan diri untuk tertawa. Take that, Hikaru.
“Bagaimana
denganku?” Takaki bertanya.
Yabu
menghadap Takaki, menatapnya kalem, “Karena kau tahu detail permainan ini....
Kau akan jadi pembawa pisau boneka saat bermain nanti.”
“NANIII???”
Well, setidaknya tugasku tidak lebih menyeramkan daripada
Takaki.
Tanpa
menunggu lebih lama lagi, satu persatu dari kami meninggalkan ruang televisi,
melaksanakan tugas masing-masing. Bersiap terlibat dalam permainan ini. Tanpa
Yamada, tentu saja. Hanya kami bersembilan.
Dan membuat
merinding Daiki, karena itu artinya dia akan sekamar dengan mayat malam ini.
.
.
.
“Sebenarnya
aku masih ragu dengan permainan ini.”
“Sebaliknya
aku sangat yakin hingga membuatku takut setengah mati untuk melakukannya,” aku
menanggapi Hikaru dengan jujur. Kami ada di ruang tamu. Hikaru mencari di dekat
pintu masuk rumah, sementara aku mencari di sisi yang lainnya. “Seperti yang
kukatakan tadi, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana boneka itu
mendekat,” ujarku sambil menggeser lemari. “Maksudku, aku juga tidak yakin
boneka itu bisa membunuh Yamada, tapi... aku yakin boneka itu semenakutkan
Annabelle sampai-sampai dijadikan lawan dalam permainan ini.”
“Hmmm, aku
kira Takaki tadi bilang bahwa kita memanggil roh dengan memasukkan beras ke
dalamnya. Artinya, dalam permainan itu, kita bisa menggunakan boneka biasa,
bukan boneka yang sudah didiami roh dari sananya,” aku mendengar Hikaru
menimpaliku.
“Itu yang
kutakutkan, Hikaru,” aku berbalik menghadapnya, “karena kita menggunakan boneka
yang aslinya angker, permainan ini akan menjadi jauh lebih angker. Kau tidak
mengerti juga?”
Aku
mengernyit heran saat Hikaru menatap terpaku alih-alih menjawab. Mengikuti arah
pandangnya, aku pun ikut berbalik dan berubah kaget setengah mati saat melihat
boneka itu bertengger di atas lemari di belakangku. Berusaha sekuat tenaga
mengusir rasa takut, akhirnya aku bisa meraihnya.
“Kurasa aku
mengerti sekarang, Inoo,” gumam pemuda Yaotome itu, tatapannya kosong, “karena
aku bersumpah tadi aku tak melihat boneka itu di sana.”
.
.
.
Setelah
melaksanakan peraturan permainan itu sampai langkah ke-4, kami pun mulai pergi
ke tempat persembunyian masing-masing. Begitu aku menutup pintu dan mematikan
lampu, semua yang kurasakan adalah keheningan.
Aku
memeriksa jam tanganku yang—syukurlah—bisa bersinar dalam kegelapan. Aku baru
mengambilnya tadi.
Seandainya jam ini selalu kupakai, vas bunga itu pasti
takkan pecah dan kasus meninggalnya Yamada takkan serumit tadi.
Mengabaikan
itu, aku melihat waktu.
Pukul 10.01.
Empat belas
menit lagi. Aku bisa membayangkan Takaki sedang gemetaran sekarang di
ruangannya.
Pasti itu
pekerjaan yang berat, kan.
Mencoba menghilangkan
rasa takut, aku mengelilingi kamar ini dengan berbekal cahaya dari jam
tanganku. Ini adalah kamar Yabu (bersama Yuto), jadi aku berharap bisa
menemukan sedikit petunjuk tentangnya.
Tidak banyak
benda yang bisa kulihat. Selain karena gelap, aku juga yakin Yabu adalah orang
yang simple. Dia terlihat tak
membutuhkan banyak barang. Dan sekalipun membawa, dia adalah tipe yang akan
melupakan barangnya.
Tapi, ada
satu benda yang bisa kupahami bentuknya hingga aku bisa memberitahu apa itu.
Sepertinya milik Yuto, karena itu adalah sebuah kamera DSLR.
Pemuda itu
tampak sangat menyukai fotografi. Tadi sore dia sibuk memotret pemandangan. Dan
bukan cuma itu. Mimpi yang dia tulis juga masih berhubungan dengan fotografi.
Penasaran,
aku pun membuka kumpulan potret karyanya. Kebanyakan adalah foto pemandangan
yang dia ambil tadi sore, lalu kadang diselingi foto villa.
Harus kuakui
hasilnya bagus.
Aku pun
menyelami semakin banyak fotonya, sampai akhirnya aku menemukan sesuatu yang
sedikit berbeda...
Foto yang
menampilkan dua pemuda sedang berangkulan. Salah satunya Yuto. Dia terlihat
lebih kecil dari sekarang. Rambutnya pirang. Lama tinggal di Amerika... memang
mengubah stye seseorang. Tapi yang
paling mengherankan, pemuda di sampingnya tak bukan dan tak lain adalah...
Yamada.
Aku tidak
menyangka mereka telah mengenal satu sama lain. Pantas tadi Yuto memanggil
Yamada dengan sebutan “Yama-chan”.
Lalu...
apakah Yuto juga salah satu member Kitagawa?
Aku
menggulirkan tombol, dan semakin tercengang saat kudapati foto yang sama persis
dengan foto yang kudapati di ruang bawah tanah.
Fotoku.
Fotoku yang kukira diambil diam-diam oleh paparazzi.
Bukan hanya
fotoku. Ada pula foto Daiki, Takaki, Hikaru, Chinen....
Jadi, Yuto yang
selama ini menguntit kami?!
Untuk
beberapa detik, aku serasa membeku. Mencoba mengingat-ingat kembali tingkah
Yuto selama ini, sampai akhirnya aku menyadari suatu hal.
“Ah, maaf. Aku
tidak terlalu hapal kanji.”
“Aku tahu kalian
takkan percaya, tapi di sana ada ukiran kanji yang berarti kematian.”
Terdapat kontradiksi
dengan perkataannya. Yang pertama dia bilang tidak hapal kanji, tapi yang kedua
dia bisa memberitahu kami bahwa kanji di pintu itu berarti kematian.
Untuk kasus
pertama, kupikir itu terjadi secara natural. Dia terlihat bingung mencari
kamarnya. Jadi, aku yakin dia berkata jujur bahwa dia tidak hapal kanji.
Sementara
yang kedua.... Dia seperti “sangat yakin” bahwa kanji itu berarti kematian. Lagipula,
dia yang “mengaku” menemukan surat itu.
Jadi, bisa
disimpulkan kalau Yuto memang “diatur” untuk menjalankan skenario demikian.
Pendek kata,
tanpa campur tangan Yuto, kami takkan menyadari ada surat berisi tantangan itu
di bawah pintu.
Sama seperti
Yamada, Yuto adalah orang dalam.
Mengejutkan.
Ternyata
dugaanku dan Chinen salah. Orang dalam itu bukanlah Yabu ataupun Keito.
Tapi,
sesuatu yang masih membuatku heran adalah... Yuto terlihat tak begitu sedih
saat menghadapi kematian Yamada. Maksudku... dia memang yang pertama berteriak
saat mendapati keadaan Yamada. Tapi menurutku hanya sebatas itu. Setelahnya,
normal. Dia tampak seperti mendapati kematian orang asing. Padahal, kalau dilihat
dari fotonya tadi bersama Yamada, mereka terlihat akrab.
Jangan-jangan...
SRRRKKK. SRRRKKK.
Aku
mengernyit mendengar suara aneh itu. Meletakkan kamera DSLR, aku mendekat ke
pintu, menempelkan daun telingaku di sana.
SRRRKKK. SRRRKKK.
Itu...
Suara televisi?
Kontan aku
melihat jam tanganku.
10.10 pm.
Masih lima
menit lagi sebelum Takaki keluar. Aku yakin itu, karena Takaki juga mengenakan
jam tangan sepertiku. Dia pasti tepat waktu. Di ruang televisi seharusnya tidak
ada siapa-siapa karena Yamada sudah menjadi mayat.
Lalu... siapa
yang menyalakan televisi...?
Mengabaikan
aturan permainan dan rasa takut, aku membuka pintu, pelan, hingga aku yakin tak
ada yang mendengar. Kemudian bergegas menuruni tangga. Sedikit gemetaran, aku
mempersiapkan pisau di belakang punggungku, sembari menggunakan jam tangan yang
cahayanya tak seberapa sebagai petunjuk jalan.
Begitu
sampai di ruang televisi...
Benar saja,
tak ada siapa pun.
Mataku
langsung tertuju pada pintu akses ke ruang tamu yang terbuka. Dan ketika aku
memeriksa ke sana, Yuto yang seharusnya ada di sana... lenyap.
Dia... di mana?
Bagaimana
kalau...
Souka!
Untuk
menggantikan tugas Yamada, tim Kitagawa pasti menjalankan rencana B yang
dilaksanakan oleh Yuto. Dia mencoba menjebak kami ke dalam permainan ini dan
membuat kami terpencar. Dengan begitu, itu akan mempermudah Yuto untuk membunuh
kami.
Dan ketika
ada yang terbunuh, pasti Yuto menggiring opini kami bahwa boneka itulah yang
membunuhnya!
Tapi... Takaki-lah
yang menerangkan kepada kami tentang permainan ini.
Apa Takaki
juga terlibat?
Ini semakin
membingungkan.
Menyerah
berpikir sendirian, aku melarikan kedua kakiku ke dapur, mencari Chinen. Sampai
di sana, aku heran melihat kenop tampak bergerak.
Membungkuk,
aku mencoba mengintip. Menempatkan mataku di depan lubang pintu.
BRAAAK!
Jantungku
hampir copot saat sebilah pisau tiba-tiba keluar dari lubang itu, dan ujungnya
hanya berjarak satu centimeter saja dari mataku. Sekali lagi, SATU CENTIMETER!
Lemas, aku
terjatuh ke belakang.
Hari ini,
sudah dua kali bola mataku hampir pecah.
“CHINEN!”
aku berteriak marah dengan posisi masih terduduk di lantai.
“Inoo-kun?”
akhirnya terdengar suara Chinen.
“Ya, dan
mungkin ‘bukan’ saat kau berhasil menusuk mataku dengan pisau,” jawabku di
antara napas yang memburu.
“Sepertinya
semua ruangan di lantai satu sudah terkunci. Yuto mengurung kita semua. Kau
paham kan?” Chinen baik bertanya, mengabaikan kekesalanku.
“Ya, aku
juga berpikir seperti itu,” aku berdiri.
“Kalau
begitu pergilah!”
“Apa? Justru
aku menunggumu!”
“Itu akan
lama. Kau harus ambil kunci cadangan di perpustakaan.”
“Ada?”
“Ya, di
tumpukan novel detektif.”
“Baiklah.”
Tanpa babibu, aku pun melesat ke perpustakaan.
.
.
.
Sesampainya
aku di sana, jam tanganku sama sekali tak bisa membantu mencari di mana
tumpukan novel detektif. Saat aku ke sini, aku juga tidak sempat menemukannya.
Aa—tunggu.
Bukankah di sini tempat persembunyian Keito? Kenapa tidak ada tanda-tanda
keberadaannya?
Seakan
mendapat jawaban dari alam, penglihatanku langsung jatuh pada lubang di lantai
yang menuju ruang bawah tanah. Tampaknya Keito ke sana. Baguslah kalau begitu.
Dia akan tahu bahwa Yamada bukanlah orang baik seperti yang dia kira.
Mencoba
memastikannya, aku pun turut menuruni tangga lipat, dan akhirnya sampai di
ruang bawah tanah.
Hal yang
pertama kulihat adalah sosok Keito yang berdiri membelakangiku.
“Keito, kau
sudah tahu tentang—”
CRAAASH!
Aku tertegun
saat tiba-tiba badanku terhempas hingga punggungku berbenturan dengan tembok.
Ketika aku berniat maju, saat itulah aku menyadari ada sesuatu yang menahanku.
Sebuah pisau, menusuk bajuku dan tertancap pada tembok, mencegahku pergi.
Aku menoleh
geram pada Keito.
“APA YANG
KAULAKUKAN?!”
Alih-alih
menjawab, Keito malah tertawa. “Ternyata benar kata Yamada, aku tak boleh
meremehkanmu.”
“Apa
maksudmu?”
Dia
mendekat, menarik kerah bajuku. “Inoo Kei, kau benar-benar sangat merepotkan.
Kau mengacaukan rencana kami. Kurasa kau harus mendapat hukuman.” Dan dia pun merobek
sebuah lakban.
“T-tunggu—hmmmph!!”
Terlambat.
Dia sudah membungkam mulutku dengan lakban itu. Di detik selanjutnya, dia mengikat
kedua tanganku di belakang, lalu mencabut pisau di bajuku dan mendudukkanku di
sebuah kursi.
Selagi dia
mengikat kakiku di kaki kursi, dia berujar, “Now, please enjoy... the best show of all time. Presented by Yamada
Ryosuke, Nakajima Yuto, and me, Okamoto Keito.”
Dan dia pun
menarik tubuhnya yang sedari tadi menutupi layar monitor.
Jangan
bilang...
Aku dipaksa
untuk melihat pembantaian teman-temanku.
Chinen, Ryutaro,
Takaki, Daiki, Yabu, Hikaru....
Tanpa sadar
telapak tanganku telah tergenggam erat. Emosiku begitu memuncak hingga aku bisa
merasakan darah dari luka terkena vas tadi, mengalir kembali.
Tapi apa
yang bisa kulakukan sekarang?
Tidak ada.
Dalam diam
aku memaki diriku sendiri... yang tak sanggup melakukan apa pun. Yang dengan
mudahnya terjebak dalam perangkap tiga pemuda itu.
Sial. Sial. Sial.
“Tidak ada
yang menyuruhmu menunduk, Kei.”
Tiba-tiba
aku merasakan tangan Keito menjambak rambutku hingga aku mendongak. Kini aku
pun kembali menghadap pada monitor-monitor itu. CCTV pasti menggunakan
inframerah karena masih bisa merekam dalam gelap.
Bisa
kulihat, di kamar Hikaru dan Daiki, Yabu tampak kebingungan, berusaha mendobrak
pintu. Tapi tentu saja dengan tubuh kurus seperti itu, pintu takkan bisa
terdobrak.
Begitu juga
Hikaru. Dia terlihat berusaha keluar dengan memasukkan sebuah benda ke lubang
kunci. Mungkin peniti atau kawat.
Lalu kulihat
Daiki. Aku bisa sedikit memahami rasa takutnya yang berlipat ganda karena ada
mayat Yamada di kamarnya. Dia tampak berusaha keluar lewat jendela. Tapi kurasa
itu mustahil karena jendela terpasang begitu tinggi.
Dan itu membuatku
heran. Bagaimana nanti Yuto masuk ke kamar? Sedangkan seluruh akses terkunci.
Mataku
beralih ke Takaki.
Astaga. Dia
bahkan hanya meringkuk ketakutan.
Kenapa tidak
ada yang sepintar Chinen; membuka kunci dengan pisau yang mereka pegang?
Mereka yang
kurasa lebih tua tapi malah kalah dari yang lebih muda.
Ngomong-ngomong
soal Chinen....
Ternyata
Chinen masih berkutat dengan pisaunya. Dia belum juga berhasil membuka pintu. Dia
pasti masih berharap aku datang membawa kunci. Sayang sekali, Chinen, aku tertahan di sini.
Yang belum
kuketahui tinggal Ryutaro di gudang. Mataku pun beralih ke sana, tapi...
kosong. Aku tak melihatnya. Di mana Ryutaro? Dia juga tidak terlihat di monitor
mana pun.
Sama seperti
Yuto.
Sebelum aku
sempat bertanya lebih jauh, Keito telah bergegas naik lewat tangga. Dia pasti
akan mencari bocah Morimoto itu.
Morimoto Ryutaro,
ganbatte!!
Memanfaatkan
kepergian Keito, aku berusaha meraih pisau yang dibekalkan kepada kami semua. Aku
menyimpannya di balik bajuku. Sambil berusaha meraih pisau itu, aku tetap memantau
monitor.
Gerakanku
sedikit tertunda saat kulihat seseorang keluar dari arah perpustakaan dan
berlari ke koridor menuju kamar Yamada dan Keito. Dia terlihat sibuk membuka
kunci, sampai akhirnya pintu itu terbuka.
Saat itu aku
langsung mengalihkan pandanganku pada monitor yang menampilkan kamar Yamada,
dan akhirnya mengetahui kalau orang itu Ryutaro!
Kulihat
Daiki segera menghambur ke depan. Dia menerima sesuatu dari Ryutaro. Sepertinya
kunci. Lalu Daiki pun pergi keluar, bersiap membuka kamar yang lainnya.
Bagus, Ryutaro! Dia memang sangat bisa diandalkan.
Sementara
itu, Ryutaro berjalan mendekat ke arah mayat Yamada. Tak kuduga, dia membuka kain
putih yang menutupi tubuh kaku itu, lalu tampak memeriksa dadanya. Dadanya yang
beberapa jam lalu tampak mengeluarkan darah akibat luka tusukan.
Ryutaro
terlihat mengamatinya dengan teliti, sampai kulihat dia mengeluarkan secarik kertas
dan menuliskan sesuatu di atasnya. Dan aku pun sedikit terkejut saat dia mengalihkan
wajahnya pada CCTV, karena aku bisa melihat dengan jelas matanya yang menatap
tepat ke mataku. Sejurus kemudian, dia pun menunjukkan kertas itu.
“INOO-CHAN, AKU
TAHU KAU ADA DI SANA.”
Dan dengan
bodohnya aku mengangguk, saking canggungnya. Ini seperti bicara lewat Skype,
tapi Ryutaro tidak melihat wajahku. Dan dia terlihat sangat yakin.
Sebelum aku
sempat berpikir lebih lanjut, Ryutaro menunjukkan kertas yang lain.
“TIDAK ADA LUKA
TUSUK DI DADA RYOSUKE.”
Aku
mengerjap untuk beberapa saat, memastikan tulisan itu memang terbaca demikian.
Lalu
bagaimana dia mati?
“KAU BERTANYA
BAGAIMANA DIA MATI?”
Ryutaro
menunjukkan kertas yang lain seakan dia membaca pikiranku.
“DIA TIDAK MATI,
IDIOT.”
Tapi tidak
dengan mengataiku “Idiot”, Idiot!
“CIRI-CIRI ORANG
MATI TIDAK HANYA BERLAKU BAGI ORANG MATI.”
Itu adalah kertas
terakhir yang sempat dia tunjukkan.
Karena
kertas selanjutnya telah terbang terbawa sebuah pisau. Ya, benar. Aku juga
yakin itu ulah Keito. Dia membuatku tidak bisa membaca kertas itu! Padahal aku
yakin kertas itu berisi jawaban tentang apa yang terjadi pada Yamada.
Kulihat
kertas itu tertancap di tembok di samping Ryutaro.
Ryutaro pun
menoleh ke arah si pelempar pisau.
Sebelum aku
sempat melihat apa yang akan Ryutaro lakukan terhadap Keito, sebuah pisau
terlanjur meluncur dan menusuk CCTV. Kontan membuat monitor yang kutonton
berubah ke layar semut.
Sial.
Akhirnya aku
pun melihat ke arah monitor yang lain, sambil kembali mengerahkan tenaga untuk
memotong tali yang mengikat tanganku. Ini... sangat susah. Pisau itu berkali-kali
malah menyayat jariku.
Di monitor yang
lain, tampak Yabu, Takaki, Hikaru, dan Chinen tengah berkumpul di ruang
televisi. Mereka seperti sedang berdiskusi. Ketika kualihkan mataku pada
monitor dapur, aku pun terheran-heran. Kulihat Daiki sedang membuat... minuman?
Ck! Daiki,
kau benar-benar.... Membuat minuman di saat seperti ini? APA KAU GILA?
Aku
benar-benar tidak mengerti. Ini teramat sangat lucu hingga aku tak sanggup
tertawa.
Kemudian,
aku kembali mengamati monitor tempat empat orang yang lainnya berkumpul. Mereka
tampak heran dengan televisi. Kemudian, televisi itu berganti channel dengan
sendirinya, tepat saat kudengar suara...
AKU
AKAN
MENEMUKAN
KALIAN
Aku yakin
suara itu terdengar dari televisi yang disetel dengan volume maksimal. Tapi,
bukan hanya dari satu channel. Kalimat itu tersusun dari saluran televisi yang
berbeda-beda.
Tak lama
kemudian, layar televisi berganti lagi.
DI MANA
KALIAN
Aku
merasakan keringat dingin menetesi dahiku. Sampai akhirnya aku mendengar
kata-kata yang paling menakutkan.
AKU
MENEMUKAN
KALIAN
Yabu,
Takaki, Hikaru, dan Chinen terlihat memandang ke satu arah dengan ekspresi
terkejut. Ketika kuikuti arah pandang mereka, ternyata ada boneka itu!
Akumelihat
boneka itu berjalan. Tepat seperti saat mati lampu tadi. Boneka itu berjalan semakin
mendekat... mendekat....
Ketika
kusadari Yabu dan lainnya menemui jalan buntu di belakang mereka. Mereka tampak
gemetaran mengeluarkan pisau masing-masing, lalu melemparkannya ke arah boneka
itu.
Namun
sayangnya tak ada yang tepat sasaran.
Saat itu,
aku menyadari empat pisau itu bergerak dengan sendirinya, lalu...
Aku tahu
takkan ada yang percaya ini, tapi...
Pisau-pisau
itu melayang di udara.
Bagiannya
yang tajam mengarah tepat ke empat temanku.
Tak lama
kemudian, pisau-pisau itu pun meluncur.
Tuhan, aku tak mau
melihat kematian teman-temanku. Tapi entah
kenapa sarafku seakan membeku. Mata ini masih menatap monitor itu.
Aku
mendengar teman-temanku berteriak dari atas sana.
Teriakan
yang memekakkan telinga, sekaligus menyayat hati.
Tanganku
tergenggam lebih erat, sepenuh tenaga. Ketika aku menyadari mataku telah
terpejam, terdengar denting pisau yang jatuh ke lantai.
Perlahan
sekali aku mulai membuka kelopak mataku.
Keempat
temanku...
Mereka...
Ingin
rasanya aku menggosok mataku, agar semakin yakin bahwa yang kulihat kini
adalah... keadaan mereka baik-baik saja.
Beberapa
detik kami lalui dalam hening.
Pisau-pisau
itu jatuh tepat di depan mereka yang tampak mengatur napas.
Kami heran,
sekaligus lega.
Mendapati
nyawa mereka masih ada di raga. Menyadari bola mata mereka masih baik-baik
saja. Dan menyadari boneka itu ternyata sudah tidak ada di sana.
Apa... yang
terjadi?
Mataku
memindai seluruh sudut ruangan, sampai akhirnya menemukan sosok Daiki yang
memegang sebuah wadah minuman yang terbuka. Dia tampak baru saja menumpahkan
isinya. Dan ketika kulihat lantai, benar saja. Tampak genangan air di sana.
Jangan-jangan
itu...
Larutan
garam.
Ternyata
tadi Daiki bukan membuat minuman, melainkan membuat larutan garam.
Takaki
bilang, untuk mengakhiri permainan yang sebenarnya, kita harus menyiram boneka
itu dengan larutan garam, bukan menusuknya. Justru kita menusuknya di awal
permainan, sebagai tanda boneka itu sudah boleh “bermain”.
Kitagawa
pasti membuat peraturan yang berbeda untuk menjebak kita. Agar kita menusuknya
lagi dan lagi, dan membiarkan permainan tetap berlangsung. Membiarkan boneka
itu tetap mengejar kita.
Souka. Aku baru menyadarinya, sementara Daiki sudah menyadarinya
terlebih dahulu.
Daiki sugoi!
Aku bisa
bernapas lega sekarang. Setidaknya, mereka sudah tahu kunci menghentikan
permainan.
Yang harus
kuselesaikan adalah... di mana Ryutaro dan Keito? Juga Yuto. Dan Yamada.
Ryutaro bilang dia belum mati. Bisa saja Yamada tiba-tiba bangun dan
mencelakakan kami semua.
Aku pun
mencoba memutuskan tali yang mengikat tanganku, dan... berhasil. Selesai
mencopot lakban dan melepas tali yang mengikat kakiku, aku bergegas menaiki
tangga.
.
.
.
Ruangan
pertama yang kumasuki adalah kamar Yamada.
Sama seperti
yang lain, ruangan ini juga gelap gulita. Yamada masih di tempat tidur,
terbaring lemah. Dalam pendar cahaya temaram yang berasal dari jam tangan, aku
bisa mengatakan kalau kulitnya pucat. Bibirnya juga. Ketika kusentuh lengannya,
aku hampir terjingkat saking dinginnya. Dan saat kutekan nadinya, aku tidak
merasakan sedikit pun denyut di sana. Sungguh ciri-ciri orang mati.
Tapi ketika
aku memeriksa dadanya, memang benar tak ada bekas luka apa pun.
Aneh. Kenapa
ini tak disadari Yabu yang seorang mahasiswa anatomi? Padahal dia jugalah yang
membawa mayat Yamada kemari.
Jangan-jangan
dia berbohong soal statusnya sebagai mahasiswa.
Mengabaikan
itu, aku mengalihkan pandangan pada kertas Ryutaro yang bersarang bersama
sebuah pisau di dinding kamar. Mecabut pisau, kertas itu langsung kusinari, dan
jelas tertulis di sana...
“AKU PIKIR DIA
MENGALAMI ASTRAL PROJECTION.”
Aku
mengernyit.
Astral projection?
Sepertinya
aku pernah mendengar istilah itu.
Astral, astral...
Ah! Dalton...
Dalton di film “Insidious”. Bukankah dia juga mengalami astral projection? Pengalaman
roh berada di luar jasad, dan melanglang buana tak jelas ke mana.
Tapi ada
perbedaan besar di sini. Dalton tampak tidur biasa tapi tidak kunjung bangun,
sementara Yamada mencirikan orang mati.
Aku
mengacak-acak rambutku. Teka-teki makin banyak, makin rumit, dan makin membuatku
muak.
KRIEEET.
Mendadak aku
menoleh ke arah pintu. Pintu yang sebelumnya kututup dan kukunci dari dalam,
aku yakin itu. Penasaran, aku pun mengarahkan cahaya ke sana, tapi... tak ada
siapa pun, atau apa pun.
BANG!
Tiba-tiba
pintu itu tertutup dengan sendirinya, dan aku yakin aku mendengar suara klik yang menandakan pintu itu kini
telah kembali terkunci.
Dalam
kebingunan itulah, aku merasakan sesuatu melompat, lalu mendarat di wajahku.
Kontan aku
jatuh terjengkang, sambil meraba sesuatu itu, melemparkannya ke depan.
Boneka itu!
Aku buru-buru
mundur teratur ke belakang, sampai akhirnya aku merasakan punggungku terantuk
tembok.
Sial, tidak ada
jalan keluar dan tidak ada sedikit pun larutan garam di sini.
Mataku terpaku
melihat boneka itu, dan aku bersumpah aku melihat bibirnya membentuk seringai. Ternyata
dia telah memegang pisau itu! Pisau milik Keito yang tak sengaja tadi
kujatuhkan karena kaget.
Sebelum aku
sempat menghindar, boneka itu telah melemparkan pisau itu ke atasku, ke arah
jendela kaca.
Refleks aku
melindungi kepalaku dengan tangan begitu jendela itu mulai pecah dan kacanya
berjatuhan.
Setelah itu,
untuk kedua kalinya, aku melihat secara langsung bagaimana boneka itu berjalan
mendekat kepadaku.
Tak punya
pilihan lain, akhirnya aku berdiri. Menghadap ke jendela yang pecah, aku
bersiap keluar lewat sana.
Dan seakan
keberuntungan tidak berpihak padaku, aku merasakan boneka itu menarik kakiku.
Aku pun membalikkan badan, berusaha meraih boneka sialan itu dan
melemparkannya. Tapi malang, boneka itu kini meloncat ke perutku.
Seakan
menertawai orang di depannya, boneka itu mengangkat kedua lengannya, menyentuh
bingkai jendela.
Aku langsung
terbelalak.
Di atas
perutku, kaca jendela yang tak lagi sempurna itu ujungnya membentuk sudut
lancip. Tentu saat bingkainya ditarik, benda tajam itu langsung menusuk
perutku.
Aku mengutuk
boneka itu dalam hati.
Sial. Sial. Sial.
Boneka sialan!!!
Pusing
menyerang kepalaku, membuatku lemas dan berkunang-kunang. Aku pun bisa
merasakan ujung-ujung jariku mendingin, keringat membasahi baju dan rambut.
Kali ini aku
sudah sangat menyerah. Pasrah.
Mataku
perlahan terpejam. Di benak, sudah terbayang bagaimana perutku akan terkoyak,
ususku akan terburai, dan darahku akan membanjiri lantai.
Telingaku
mendengar bingkai jendela berderik.
Jadi begini akhir
hidupku.
Dan jendela
itu berderik lagi.
.
.
.
“MATI KAU!”
Tiba-tiba
aku merasakan guyuran air membasahiku. Aku membuka mata, melihat boneka itu
melepaskan bingkai jendela, lalu terjatuh pelan. Tepat saat itu aku mendengar
derap langkah mendekatiku, dan mendapati Hikaru, Yabu, Takaki, dan Chinen menahan
bingkai jendela itu hingga tak terhempas ke perutku.
Beberapa
saat, aku hanya bisa membisu. Pandanganku ke awang-awang. Sampai akhirnya aku
mendengar suara bentakan.
“Cepat
keluar!” suara Hikaru memukul-mukul gendang telingaku.
“CEPAT
KELUAR, BAKA!” dia mengulanginya.
Gemetaran,
aku mengeluarkan tubuhku dari jendela. Namun, sebelum aku membiarkan pantatku
menyentuh lantai, aku sudah terlanjur merasakan lengan mereka melingkari
leherku, memelukku erat.
Aku tak
percaya ini, tapi aku juga merasakan aliran air mata di pipiku.
Sial. Ini memalukan sekali.
Aku pun
memaksakan diri tertawa, hingga akhirnya saat Daiki melemparkan wadah
minumannya dan ikut serta memelukku, aku bisa merasakan tawaku lepas ke udara.
“Yucks, drama queen yang menjijikan. Yamete yo.”
Kulihat
Ryutaro memasuki kamar sambil menyeret Keito yang terbekap mulutnya dan terikat
tangannya.
Ryutaro
tersenyum ceria. Senyuman ceria pertama yang dia perlihatkan kepada kami.
“Maafkan
aku, Inoo-kun. Sebenarnya sejak awal aku mempercayaimu. Aku hanya berpura-pura
tidak percaya agar bisa menyelidiki mereka dengan laluasa,” Ryutaro berujar,
membuat ku tertegun. “Ngomong-ngomong, harus kita apakan tangkapanku ini?” dia
mendorong Keito ke depan.
“Bagaimana
kalau kita jadikan Keito panggang? Ah, tidak. Keito cincang lebih baik,” Takaki
memutar bola matanya. Dia bercanda, tentu saja.
Kulihat
Chinen berdiri, mendekat ke arah Keito. Tanpa basa-basi, dia melepas lakban
yang membekap mulut Keito, hingga pemuda itu meringis kesakitan.
“Huaah!
T-tunggu, aku bisa jelaskan ini,” Keito berkata dengan napas terengah-engah.
Membuatku heran karena dia hampir selalu kelihatan percaya diri sebelum ini.
“Aku katakan
dengan jujur, tapi kalian belum bisa bernapas lega sekarang,” dia mulai
menenangkan dirinya, “Yamada....” Dia melihat ke arah sosok yang dia sebut
namanya.
Sontak kami bertujuh
pun mengikuti tindakannya.
Jasad itu
masih diam saat kami menatapnya di lima detik pertama, tapi tiba-tiba saja
jari-jemarinya bergerak.
Kami semua
menahan napas, dan saat kedua mata itu terbuka secara mendadak...
“AAAAHHH!!!”
Kami semua
berteriak, tak terkecuali aku dan Ryutaro. Momen terbukanya mata Yamada itu...
seakan-akan sebuah bom yang meledak tepat di genggamanmu.
“AAAAHHH!!!”
“AHAHAHAHA!!!”
Aku
mengernyit. Perasaanku saja, atau memang aku merasa teriakan kami berubah
menjadi tawa.
“Ahahahaha,
usaha yang bagus, boys!”
Ternyata di
depan kami ada dua orang lain yang datang. Mereka tertawa begitu keras sambil
berangkulan, sebelum akhirnya mendekati Keito dan Yamada, dan kemudian menarik
mereka ikut dalam rangkulan dan tertawa bersama.
Kami
bertujuh hanya bisa melongo heran.
Ketika itu,
tiba-tiba lampu menyala, dan kami bisa melihat ternyata dua sosok yang tadi
datang dan tertawa seperti orang kurang waras adalah... Nakajima Yuto dan
Kitagawa Johnny.
What the hell??!!
Menghentikan
tawanya, kakek itu tersenyum hangat kepada kami. “Selamat, kalian telah
melewati kompetisi ini dengan sempurna.”
Tidak ada
yang menanggapi.
“Well, well. Bagaimana aku harus
memulai?” dia menaruh tangannya di dagu. “Jadi aku punya tiga anak buah yang
sangat berguna di sini, dan menggunakan bantuan mereka untuk menguji kalian.”
Dia menatap kami. Dan ketika kami masih saja menampakkan ekspresi bingung, dia
pun melanjutkan penjelasannya.
“Begini. Aku
adalah Johnny Kitagawa, kau tahu kan? Dan aku adalah... pemilik agensi bakat
terbesar di Jepang, Johnny’s Entertainment. Aku memproduksi grup, solo,
aktor.... Ikuta Toma? KAT-TUN? Arashi? Tokio? Kanjani8? SMAP? V6? Kalian tak
mengenalnya?”
Kami
berusaha mengingat itu, dan tiba-tiba saja seseorang berseru.
“Arashi!!
Aku tahu, aku tahu!! Ohno Satoshi-kun!!” Kami semua menoleh ke arah Chinen,
sedikit terkejut melihat matanya yang tiba-tiba berubah bentuk menjadi hati.
Okay, tidak secara harfiah tentu saja.
“That’s it!” kakek itu menjentikkan
jarinya. “Dan kalian tahu, kesepuluh dari kalian menulis mimpi yang sama!” Dia
mengatakannya dengan penuh semangat.
“T-tunggu,
sepuluh? Bukannya hanya ada tujuh dari kami yang...”
“No no no no,” kakek itu memotong
perkataan Takaki.
“Mereka
bertiga juga pernah menulis mimpi, tapi sebelum kalian. Mereka juga pernah
melalui tes semacam ini. Katakanlah, mereka lebih senior,” Kitagawa melirik
Yamada, Keito, dan Yuto yang meringis gembira.
“Nah,
Yamada, katakan mimpimu.”
Sontak
ekspresi gembira Yamada berubah menjadi kaget. “M-mimpiku?”
“Ya, semua
mimpi yang kautulis.”
“I-itu...”
entah mataku yang bermasalah, atau Yamada memang sedang blushing? “Mimpiku adalah... pertama, menjadi penari yang terlatih,
yang diakui dan dikagumi banyak orang. Kedua, menjadi penyanyi yang bisa
menjadi lullaby di saat orang-orang
kesulitan tidur. Dan yang ketiga... badanku menjadi lebih tinggi.”
“Exactly,” Kitagawa mengangguk-angguk,
mengabaikan beberapa di antara kami yang terkikik geli.
“Errr,
Kitagawa-san, tapi kurasa tinggiku sudah...” Yabu meletakkan tangannya di ujung
kepala, mengukurnya.
“Bukan itu, baka!” Yamada tampak tersinggung. “Yang
dimaksud adalah mimpi pertama dan kedua!”
“Oooh...”
Kami semua mengangguk-angguk.
Ingatanku melayang
pada surat di website. Di sana, kutulis...
“Sebagai manusia
biasa yang hidup di Bumi, tentu aku punya banyak permohonan. Tapi Bumi bukanlah
Surga, di mana kau hidup dalam mimpi yang kaurangkai sendiri. Di Bumi, sebagian
besar dari keinginanmu hanya mendekam di dalam daftar tanpa sempat terwujud
dalam realita. Sebatas itu.
Jadi—jika mimpiku
ibarat bintang—ketika ada kesempatan yang ditawarkan kepadaku untuk mewujudkan
mimpi itu, aku bagaikan mendadak terlempar oleh trampolin, meluncur melintasi
langit.
Aku berpikir,
mimpiku sudah dekat.
Dan kautahu,
itulah yang kurasakan sekarang. Ya, sekarang. Saat aku menemukan situs ini.
Tapi tunggu. Aku
bukan anak kecil yang sebegitu polosnya menerima permen yang diberikan oleh
orang asing. Aku tentu tahu bahwa menulis mimpi dalam situs ini, bukan berarti
itu akan terwujud. Aku hanya berpikir bahwa ini salah satu dari banyak
kesempatan. Siapa tahu mimpiku bisa terwujud. Benar, aku hanya iseng. Kalaupun
nantinya mimpiku tidak terwujud, aku takkan kecewa kok.
Terlebih,
orang-orang berkata bahwa mimpimu takkan menjadi kenyataan kalau kau tak berani
menyuarakannya. Jadi, apa salahnya?
Baiklah, kurasa
aku terlalu banyak basa-basi. Mimpiku ada 2; singkatkan saja menjadi 3D printer dan bintang.
Selama ini aku
diberatkan oleh tugas membuat maquette. Semua orang tahu betapa tugas itu
sangat merepotkan dan membuat jari-jarimu terluka. Jadi, aku benar-benar
memimpikan mesin pencetak 3D. Terdengar mustahil? Yah, sedikit. Tapi
permohonanku mengalahkan logikaku yang beranggapan bahwa mesin itu hanya ada
dalam mimpi.
Kedua, bintang. Kau
tahu kan, bintang. Sesuatu yang memancarkan cahaya dan menjadi pelita dalam
gelap malam. Sebuah inspirasi bagi orang lain. Dan selama ini, kebanyakan
penginspirasi adalah... artis. Hey, aku tidak munafik. Memang begitu, kan? Menurut
mayoritas remaja (para pencari jati diri) mereka banyak dipengaruhi oleh artis.
Lalu apa berarti
aku ingin menjadi artis?
Maybe yes, maybe
no.
Kalau
dipikir-pikir lagi, pantaskah aku menjadi artis? Terdengar aneh. Aku tidak bisa
menyanyi. Akting-ku jelek. Apalagi menari.... Tubuhku mungkin terlalu lemah
untuk itu. Kemampuan seniku hanya bermain piano. Tapi para pianist kurang
dikenal. Bagaimana aku bisa memberikan inspirasi dan semangat bila tidak ada
orang yang mengenalku?
Ah, sudahlah. Yang
jelas, itu tadi mimpiku. Huft.
Jadi, maksudnya...
mimpi yang sama adalah... kami semua
sama-sama ingin menjadi bintang.
“Dari surat
kalian, aku menemukan banyak potensi yang menakjubkan. Mulai dari Yabu Kota,
yang pandai menulis lirik lagu. Takaki Yuya, yang bersuara merdu dan maskulin. Inoo
Kei, yang lihai bermain piano. Yaotome Hikaru, yang ahli bass. Arioka Daiki,
yang bisa menjadi DJ. Okamoto Keito, yang sangat menguasai gitar. Yamada
Ryosuke, yang pintar berakting. Nakajima Yuto, yang maniak fotografi. Chinen
Yuri, yang lincah berakrobat. Dan Morimoto Ryutaro, yang kreatif dan punya
segudang ide berkat kegemarannya bermain game. Kalian akan menjadi sesuatu yang
very very very awesome jika menjadi
satu. Karena itu, aku memutuskan untuk menggabungkan kalian dalam satu idol group,” jelasnya panjang lebar.
“Lalu apa
hubungannya menjadikan kami grup idola dengan mengetes kami di kompetisi ini?”
tanya Yabu.
“Sederhana
saja. Tujuan kompetisi ini adalah untuk melatih kerja sama kalian dan
menjadikan lebih akrab, sehingga ke depannya kalian akan lebih mudah menjalani
kehidupan kalian sebagai satu kesatuan. Sebernarnya kami sama sekali tak
berniat membunuh kalian, kok. Kami hanya membuat skenario agar semuanya tampak
horor. Kami menguji bagaimana kalian membuat keputusan yang tepat. Bagaimana
kalian membagi tugas. Bagaimana kalian mengutamakan kebersamaan,” jelas
Kitagawa panjang lebar.
“Skenario
aslinya hanyalah: Yamada terbunuh, semua mencurigai satu orang, menjadikan
orang itu umpan di Hitori Kakurenbou,
menjalani permainan, dan selesai,” Keito menambahkan.
“T-tapi, ada
beberapa hal yang janggal. Kau tahu; boneka bergerak sendiri, televisi berganti
channel sendiri, sampai pisau pun melayang
sendiri!” Hikaru berteriak kesal.
Kitagawa
tertawa renyah. “Itu juga punya jawaban yang sederhana. Ketika permainan
berlangsung, Yamada melakukan astral
projection. Rohnya keluar dari tubuh, lalu memasuki boneka itu dan
mengendalikannya. Dia hanya bisa tertarik kembali ke dalam tubuhnya kalau
boneka itu tersiram air garam.”
Kami semua
memandang takjub pada Yamada.
“Semua orang
bisa melakukannya, kau tahu. Itu bukan hal yang aneh,” Yamada berkata tenang.
“Kukira
tidak ada hal mistis seperti itu,” gumam Chinen.
“Bukan hanya
itu, Kitagawa-san. Ada lagi yang aneh. Kenapa dia tampak seperti orang mati,
sedangkan Dalton di film Insidious hanya tampak koma?”
Kitagawa
menatapku. “Inoo Kei, itu film. Banyak kebohongan di sana. Di dalam realita,
ketika kau melakukan astral projection, lalu ada orang lain yang menemukan
jasadmu, mereka akan buru-buru memandikannya dan memendamnya dalam tanah. Sudah
banyak kasus seperti itu.”
“Sou... ka?”
“Chotto. Itu hanya menjelaskan kejadian astral projection. Bagaimana dengan poltergeist6?”
Ryutaro melemparkan pertanyaannya.
“Itu... ada
spesialisnya sendiri.” Kitgawa tersenyum, menoleh pada satu sosok.
Nakajima
Yuto.
“That’s right. Aku punya kemampuan
telekinetik7. It was born
itself. I don’t know,” jelasnya singkat.
Aku
menyentuh keningku, sedikit pusing. “Lalu siapa Keito? Kenapa dia bisa
meyakinkan Yabu yang seorang mahasiswa anatomi bahwa Yamada sudah mati? Padahal
jelas tak ada luka tusuk di dadanya,” analisaku lagi.
Keito
tersenyum miring padaku. “Aku tidak meyakinkan apa-apa padanya. Dia sendiri
saja yang percaya padaku.”
Terlihat
Yabu menghela napas. “Jujur saja, aku tidak memeriksa dadanya. Aku benar-benar
didoktrin agar percaya sepenuhnya pada Keito dan menuruti keinginannya.”
“Exactly. Tugasnya memang begitu. Dia
adalah dalang yang mengendalikan Yabu sebagai boneka agar tak ada yang percaya
analisamu, Inoo Kei. Agar rencana ini berjalan sukses,” Kitagawa berkata
menyindir. “Dan ngomong-ngomong, kau cukup cerdas. Aku salut.”
Cih.
“Bagaimana
dengan Takaki? Kau sangat mengerti tentang Hitori
Kakurenbou,” Daiki bergumam.
“Kau
menuduhku terlibat? Sama sekali tidak! Aku hanya kebetulan punya teman yang
pernah memainkannya, makanya aku tahu,” Takaki membela diri.
“Souka,” Daiki menghela napas lega.
“Nah, kenapa kita tidak berhenti
membicarakan ini. It’s like...,” dia
melihat jam tangannya, “2 a.m,” dia
melanjutkan. “Well, terakhir aku
hanya ingin mengucapkan: selamat datang di Johnny’s Entertainment! It has been decided, your group name is HEY! SAY! JUMP guys!”
“Heisei...
JUMP?” aku memiringkan kepala.
“Nice name, isn’t it? Now go back to your room. And sleep,”
dia berkata sambil membalikkan badan dan bersiap pergi.
“Tunggu dulu...”
Kami semua
memandang heran pada Yuto, sebelum akhirnya mengikuti arah pandang pemuda
jangkung itu.
Kini,
bertengger di jendela, tampak boneka itu bermandikan cahaya bulan. Rambutnya
tergerai berantakan hingga menutupi wajahnya. Meski begitu, kami masih bisa
melihat senyum licik yang terulas di sana. Dan yang tak kalah membuat jantung
kami berpacu, adalah tangan sebelah kanannya yang menggenggam pisau.
Tapi jelas
itu bukan Yamada, karena dia juga sedang tampak terkejut bersama kami.
.
.
.
Dan pemainan
Hitori Kakurenbou yang sesungguhnya
pun...
...dimulai.
.
.
.
THE END
.
.
.
Catatan:
1Pemuda yang ceria,
santai, dan suka bersenang-senang
2Model kecil untuk
bangunan atau patung
3Cara membaca huruf
kanji/hanzi dalam bahasa Mandarin (on’yomi)
4Alamat
identifikasi komputer yang berada dalam jaringan (internet)
5Saluran yang
menampilkan titik-titik hitam-putih (layar semut)
6Fenomena benda
yang bergerak sendiri, seperti televisi yang berpindah channel sendiri dan
pisau yang melayang seperti yang ada di fic ini
7Kemampuan
mengendalikan benda dalam jarak jauh tanpa menyentuhnya