Kamis, 11 Oktober 2012

NYC : 雨音 (あまおと) [Amaoto] [Romaji+Kanji+English+Indonesian translate]





kousa ten afureru ame ni saku kasa no hana
 交差点(こうさてん)あふれる 雨(あめ)に咲(さ)く傘(かさ)の花(はな)
 The crossroads are full of umbrella of flowers that blooming in the rain.
Persimpangan jalan penuh dengan payung seperti bunga yang mekar di tengah hujan.

 bokutachi wa kasa no naka nando mo kisu shita
 仆(ぼく)たちは傘(かさ)の中(なか) なんどもキスした
 Under the umbrella, we kiss for many times.
Di bawah payung, kami berciuman untuk beberapa kali.

 hushigi sa sayonara wo shita nante 「doushite…」
 不思議(ふしぎ)さ サヨナラをしたなんて 「どうして…」
 Inconceivable, we have said goodbye already. Why...
Tak terbayangkan, kami telah mengucapkan selamat tinggal . Mengapa ...

 konna ni mo suki sa suki kokoro ga nando mo
 こんなにも 好(す)きさ、好(す)き 心(こころ)がなんども
 suki sa sakende iru yo
 好(す)きさ 叫(さけ)んでいるよ
 Thus and so like, like, shouting so many times 'Like!' inside my heart.
Demikian dan begitu ingin, seperti, berteriak berkali-kali dalam hatiku

 hitorino machikado ga ame ni nureru
 ひとりの街角(まちかど)が 雨(あめ)に濡(ぬ)れる
 Stay in the corner of the street alone, the rain make me wet.
Tinggal di sudut jalan sendiri, hujan yang telah membasahiku.

 kasa ni hibi kurizumu ga futari kiita ano hino mama
 傘(かさ)に響(ひび)くリズムが 二人(ふたり)聴(き)いたあの日(ひ)のまま
 The rhythm on the umbrella, just like we heard on that day
Ritme pada payung, seperti yang kita dengar pada hari itu

 wasureta kunai amaoto, amaoto
 忘(わす)れたくない雨音(あまおと) 雨音(あまおと)
 is the sound of rain that do not want to forget, the sound of rain.
adalah suara dari hujan yang tidak akan terlupakan, suara hujan.

 ano hino ano mise de o kimari no madogawa de
 あの日(ひ)のあの店(みせ)で お决(き)まりの窓側(まどがわ)で
 That day in that shop, besides the window that decision was made
Hari itu di toko itu, di samping jendela bahwa keputusan dibuat

 bokutachi wa mirai sae hanashite itanoni
 仆(ぼく)たちは未来(みらい)さえ 話(はな)していたのに
 we have talked about the future already.
kita telah berbicara tentang masa depan sebelumnya.

 zuru iyo sayonara wa uragiri sa 「dou shi te…」
 ズルいよ サヨナラは裏切(うらぎ)りさ 「どうして…」
 So cunning, goodbye is a betrayal. Why...
sangat licik, selamat tinggal adalah pengkhianatan. Mengapa ...

 konna ni mo suki sa suki kokoro no sokokara
 こんなにも 好(す)きさ、好(す)き 心(こころ)の底(そこ)から
 suki sa omotte iru yo
 好(す)きさ 想(おも)っているよ
 Thus and so like, like, the like from the heart, I always thought so.
Demikian dan begitu suka, suka, seperti dari hati, aku selalu berpikir begitu.

 owari ni suru nante dekinai kara
 终(お)わりにするなんて できないから
 So something that come to an end, I can't do it.
Jadi sesuatu yang  sudah berakhir, saya tidak bisa melakukannya.

 mune ni hibi ku amaoto kimi ga koko ni ita ano hi wo
 胸(むね)に響(ひび)く雨音(あまおと) 君(きみ)がここにいたあの日(ひ)を
 kizande iru imademo
 刻(きざ)んでいる 今(いま)でも
 The sound of rain resound in the chest, still impressed with you in that day and until now.
Suara bergema hujan di dada, masih terkesan dengan kamu pada waktu itu dan sampai sekarang.

 ima demo kimi igai wa mou aisenai
 今(いま)でも  君(きみ)以外はもう愛(あい)せない
 Until now, I can't love the others except you.
Sampai sekarang, aku tidak bisa mencintai orang lain kecuali kamu.

 ubaitai hodo ni kurushii yo
 奪(うば)いたいほどに、苦しいよ…
 I want to recapture you, very painful...
aku ingin merebut kembali dirimu, sangat menyakitkan ...

 konna ni mo suki sa suki kokoro ga nando mo
 こんなにも 好(す)きさ、好(す)き 心(こころ)がなんども
 suki sa sakende iru yo
 好(す)きさ 叫(さけ)んでいるよ
 Thus and so like, like, shouting so many times 'Like!' inside my heart.
Demikian dan begitu ingin, seperti, berteriak berkali-kali dalam hatiku

 hitori no machi kadoga ame ni nureru
 ひとりの街角(まちかど)が 雨(あめ)に濡(ぬ)れる
 Stay in the corner of the street alone, the rain make me wet.
Tinggal di sudut jalan sendiri, hujan yang telah membasahiku.

 kasa ni hibi kurizumu ga futari kiita ano hino mama
 傘(かさ)に響(ひび)くリズムが 二人(ふたり)聴(き)いたあの日(ひ)のまま
 The rhythm on the umbrella, just like we heard on that day
Ritme pada payung, seperti yang kita dengar pada hari itu

 wasureta kunai amaoto 「doushite…」
 忘(わす)れたくない雨音(あまおと) 「どうして…」
 is the sound of rain that do not want to forget, the sound of rain. Why…
adalah suara hujan yang tidak akan terlupakan, suara hujan. mengapa…

Selasa, 09 Oktober 2012

Kindaichi Shounen no Jikenbo Preview


http://www.youtube.com/watch?v=iEXmikNOPuU&feature=related

cr :

 




http://www.youtube.com/watch?v=1npHMn4YxfM&feature=related



http://www.youtube.com/watch?v=TwDdC2_I3_c&feature=relmfu



http://www.youtube.com/watch?v=AyVwK1TlG_4&feature=relmfu


cr : 

FanFiction "Bloody Rose" Twelfth night : 'Ignorance part 2'


Ignorance part 2


“Ia harus segera dikarantina. Seorang vampire baru akan sangat berbahaya bila dibiarkan dalam lingkungan lepas.” Ujar Ryouta sedikit gugup. Matanya tak lepas memandang sosok pria bertubuh kekar, yang duduk pada sebuah kursi yang menghadap jendela.
 Langit nampak cerah diluar sana, namun siklus udara semakin menurun beberapa derajat celcius. Ini sudah memasuki pertengahan musim dingin.
“beri aku waktu untuk memikirkan jalan yang terbaik untuk anak itu.” Tukasnya, dengan nada datar dan menggema.
“hai, wakarimashita… demo…”




Matahari pagi sudah tersenyum hangat menyabut pagi di musim dingin ini. Aku lekas bersiap-siap untuk berangkat kesekolah. Ku raih shall yang menggantung dibelakang pintu kamar. Lalu kulingkarkan rapih pada leherku. Sekilas mataku tersita pada tumpukkan obat di mejaku. Obat yang hanya beberapa kali ku minum – aku merasa tak membutuhnya untuk di minum lagi. Ku rapihkan obat-obat itu dan kumasukkan ke tempat sampah.
Namun, ada satu obat yang membuatku kembali berfikir. Obat apa ini? Sepertinya tak asing?
Ku urungkan niatku untuk membuang obat yang satu ini. Aku ingin mengembalikannya sealigus  bertanya pada paman sebelum masuk kesekolah nanti. Segera ku langkahkan kakiku menuju ruang kerja paman.




“… demo…”

Aku berdiri tepat didepan ruang kerja paman. Aku ingin mengetuk pintunya. Namun, sepertinya ia tak sendiri.


“…demo, tubuh Ryu sudah tak sanggup lagi. Dalam hitungan hari ia akan berubah menjadi sosok vampire yang sangat haus akan darah!”



Aku menibukan suara dari botol obat yang jatuh dari genggemanku. Percakapan kecil itu sekejap berhenti. Dan bisa kurasakan mereka yang memandang kearah pintu.

“ Chika?” ujar Kazuya, pelan. Aku berusaha menghindar dari lari dari tempat itu. Tanpa ku sadar aku berlari sampai ke ruang kelas. Semua murid hanya melirik aneh padaku. Tak bertanya maupun menghiraukankan ku.



“ku serahkan padamu, Ryouta-san!”
“hai.”



“ohayou, Chika!” sapa Ryu semangat – sama seperti biasanya. Mataku lekat menyelidik menatapnya.
“do-doushitte?” ujarnya yang berputar-putar melihat tubuhnya.
“Ryu!” panggilku.
“emm?” ia semakin mendakatiku yang duduk dikursi. Namun suara bel menggantungkan rasa penasaranku.
“nande?” tanyanya kembali
“iie, nandemo nai (gak, gak ada apa-apa).” Jawabku, mengurungkan niat dalam kebimbangan yang kini bergejolak di otakku.

Mataku terus melekat memperhatikan Ryu, dan untuk kesekian kalinya aku pun di tegur oleh guru.

malam ini temui aku di belakang gedung sekolah!!  -Chika-.”  Ku tulis memo kecil untuk Ryu. Ia langsung membaca dan mengangguk menyetujui. Wajahnya terlihat ikut penasaran.

Tepat pukul 8 malam aku menemuinya dibelakang gedung sekolah. Ia terlihat sudah menungguku, sambil bersandar di pohon. Seyumnya teruntai riang memandangku.
“doushitte?” tanyanya langsung tanpa ragu.
“emm,” aku menggit bibirku, karena aku yang justru merasa ragu untuk bertanya padanya. Hatiku kalut, apa yang sebenarnya ingin ku tanyakan? Keraguan itu semakin menyeruak di hatiku.
“Ryu, kamu akhir-akhir ini sering kurang enak badan, ada yang salah dari pola kesehatan kamu sehari-hari?” tanyaku perlahan. Aku terlihat seperti berbelit-belit pertanyaan itu.
“ya, mungkin. Aku memang sering telat makan.” Jawabnya. Yang sama sekali tak memuaskanku. Dadaku seperti teriris-iris melihat wajahnya. Ia tak henti tersenyum padaku.
“Ryu.” aku tak tahan melepaskan air mataku yang cukup lama terbendung. Aku memeluk erat tubuhnya, berusaha memalingkan wajahku dari pandangannya.
“nani?” suara Ryu terdengar sedikit gemetar di telingaku. Ia membalas pelukanku dengan hangat.
“daijoubu, aku gak apa-apa kok.” Bisiknya. Jujur aku semakin tak bisa menghindari perasaan sedihku ini. Namun tak mungkin pula aku langsung menanyakan tentang hal itu padanya. Aku benar-benar kalut.
Lebih baik, aku tak mendengar kebenaran akan hal itu.
Angin berhembus begitu kencang di malam yang dinginnya semakin membuatku mengigil. Aku masih bertahan dalam pelukan Ryu. Air mataku terasa kering di pipi. Aku memejamkan mata karena pandanganku yang memudar sehabis menangis. Pada detik ini, aku masih bisa merasakan hangatnya tubuh Ryu, detak jantung dan hembusan napasnya. Namun, entah sampai kapan ini bertahan.

“Daisuki, Ryu.”

“Ore mo, Daisuki.” Jawabnya lembut. Ia semakin mengeratkan pelukannya itu. Namun, tak ada hitungan detik, tubuhku di hempas jauh olehnya. Aku melihatnya yang menggeram dan berteriak kesakitan. Kedua tangannya mencengcram erat lahernya.

“Pergi Chika, lari!” teriaknya.
Aku tercengang, wajahnya memerah dan sorot matanya berubah perlahan. Ia berguling-guling di tanah. Air mataku kembali memecah melihatnya.
“Ryu?” aku bergerak perlahan menghampirinya. Ia manatapku tajam, namun seolah tak mengijinkanku untuk mendekat. Tiba-tiba sebuah tangan menyentuhku. Memudarkan penglihatanku. Aku pun  tersungkur lemas. Entah apa itu. Membuatku tak sadarkan diri.

Aku  membuka kedua mataku, dan menemukan sosok ku yang sudah berada di kamar.
doushitte?”  hanya kata-kata itu yang bergeming di otakku.
Semua kenyataan seolah menjauhiku, atau senggaja di sembunyikan? Apa karena ia adalah Ryu, hingga aku tak boleh mngetahuinya? Jujur, ini jauh lebih menyakitkan buatku. Mengetahui fakta yang telah disembunyikan. Bukankah sama saja dengan membodohiku!

“tuhan, mengapa ini bertubi-tubi menimpaku, aku tak ingin kehilangan Ryu  juga !!”
Aku memeluk erat lututku. Tangisku memecah kesuyian malam ini. Detak jam terus bergulir, seirama dengan jantungku. Setiap waktu yang berlalu, mengiris-iris, membuat luka yang begitu perih di hatiku.

“daijoubu, neechan? “ suara itu samar terdengar – sepertinya sangat hati-hati memanggilku. Aku menoleh perlahan pada sumber suara itu.
“Shima!” suaraku terdengar cukup serak. Ia menhampiri, dan memelu erat tubuhku. Aku menenggelamkan wajahku pada tubuh mungilnya.
“kau sangat cengeng dan lemah!” suara kedua yang membuatku terpelenjat, Mizukawa Rei?
“aku hanya di perintah oleh Kazuya-sama, untuk memastikan bahwa kau baik-baik saja.”
“arigatou, Mizukawa-sempai!” ujar shima. Berusaha tetap ramah pada mahkluk yang teramat dingin itu.
“baguslah!” sekejap ia menghilang. Entah mengapa, sejauh apa aku membenci mereka. Mereka tetap perduli terhadapku, mengapa? Tak satupun sikap baik yang ku berikan.


“Shima, daijoubu. Kembalilah!”
“neechan yakin? Apa kau tak ingin ku temani malam ini?”
“iie, daijoubu Shima! Kau senang aku di anggap lemah oleh mereka?”
“chigau yo, neechan! Aku hanya tak ingin terjadi apa-apa dengan mu”
“memangnya apa yang akan terjadi padaku? justru buatku, akan lebih berbahaya lagi bila lama-lama bersamamu.” Sindirku – tak mementingakan apa yang akan ia tanggap dengan perkataanku.
“souka, neechan! Istirahatlah. Bila kau butuh aku panggilah namaku, aku akan segera datang.
“gaki! Hora, pergilah. Daijoubu.” Aku menguntai senyum tipis meyakinkannya. Dengan berat hati, ia pun pergi dari kamarku. Wajahnya tampak cemas. Sesungguhnya aku ingin ia tetap disini. Menemaniku malam ini. Namun aku merasakan kejanggalan lain.

Kutatap ribuan bintang yang berkilauan membentang langit. Mereka selalu tampak indah disetiap malamku yang kelam. Aku semakin tak mengerti alur dari kehidupanku ini. Mengapa seolah semua tersusun dan terencana, tanpa bisa sedikitpun aku mengubahnya. Jiwaku semakin menjauh dari rasa sadarku.
Aku tak henti memikirkan Ryu. Apa yang terjadi padanya?
Aku masih duduk terdiam, hingga pagi menjelang. Kubawa tubuhku untuk bergegas ke sekolah. Kubuang pikiran negative yang membekukanku disepanjang malam ini. Aku ingin bertemu Ryu.
Walau hasratku begitu besar ingin pergi ke sekolah. Namun langkahku terasa gontai. Dan masih tak ku mengerti dimana adanya pikiran ini.
Sesampainya di kelas mataku berputar mencari sosok Ryu. Namun nihil. Ia tak datang ke sekolah. Tubuhku semakin terasa lemas. Dan ku urungkan niatku untuk masuk kekelas. Aku masih merasa sakit melahat sorotan tajam seolah jijik memandangku dari setiap anak di kelas. Tak ada Ryu, hanya membuat semangatku goyah.
Aku terus berjalan menjauhi gedung sekolah. Aku meneruskan langkah kakiku menuju asrama Ryu. Tak perduli apa yang akan dikatakan paman terhadapku nanti. Aku semakin tak bisa ngontrol diriku.
Kuketuk beberapa kali pintu kamar Ryu. Namun tak ada jawaban. Bahkan sepertinya kamar ini kosong. Penasaran, kuputar knop pintu kamar itu. Tak terkunci, dan kosong. Dimana Ryu?
Mataku meraba kesetiap sudut. Tak ku temukan tanda-tanda dimana keberadaannya.
Sosok lain tiba-tiba datang membuyarkan pandanganku. Kazeni Hayato,  yang berdiri mengawasiku.
“dimana Ryu?”sentakku terhadapnya.
“karantina.” Jawabnya singkat.
“dimana?”
“tentunya kau tahu,  tanpa perlu jawaban dariku.” Ujarnya dengan nada begitu datar. Wajah dan tatapan matanya begitu kaku. Matanya tak lepas melekat mamandangiku.
Aku bergegas pergi dari tempat ini. Akupun mempercepat langkahkahku menuju tempat yang di maksud. Asrama para vampire.
Namun langkahku terhenti dengan sosok Kazeni yang berdiri mengalahi jalanku – tadinya kupikir ia akan tetap berada di kamar Ryu, tak ada sedikitpun tanda-tanda darinya ingin beranjak.
“jangan kesana!” ujarnya.
“nande?” bentakku. Aku mendorong tubuh kekarnya yang menghalangiku. Dengan kesal kulangkahkan kembali kakiku. Semakin jauh aku melangkah, ia semakin menghalangiku.
“baka! Pergi kau! Jangan halangi aku!” bentakku jengkel. Aku berusaha lari menghindarinya. Hingga berhasil masuk keperkarangan asrama para vampire itu. Sosoknya seperti hantu yang tak henti mengejarku.
Aku lekas membuka pintu asrama itu dan masuk ke dalam. Nafasku terengah, aku sedikit menundukkan badan untuk mengaturnya.
“sudah ku peringatkan jangan ketempat ini!”
Suara itu membuatku terpelenjat kelantai dan berteriak. Dia sudah berada kembali dihadapanku.
“kenapa kau terus mengikutiku!” bentakku.
“Chika?”
Ada suara lain dalam ruangan ini, suara Kazuya. akupun menoleh. Semua vampire sedang duduk berkumpul di ruangan. Mereka semua menatapku.
“kamu tidak masuk ke sekolah?” tanyanya seraya menghampiriku.
“dimana Ryu?”
“untuk saat ini, jangan temui dia dulu, ya!” ujarnya dengan nada yang begitu lembut. Ia menyodorkan tanganya membangunkanku. Kubalas meraihnya, namun tubuhku malah terasa lemas dan tak sadarkan diri, Kazuya menagkap tubuhku yang hampir tersungkur.




“gomen na!” bisik Kazuya. Ia menggendong dan membawa tubuh Chika yang dibuatnya tak sadarkan diri.
“neechan?” ujar Shima yang begitu miris.
“daijoubu.” Jawab Kazuya singkat.

FanFiction "Bloody Rose" Eleventh Night : 'Ignorance part 1'




Ignorance part 1

Detik-perdetik ku ikuti pergerakan jarum jam yang terus berputar. Aku terbakar oleh waktu yang semakin menenggelamkanku. Mengapa aku jadi bersikap bodoh seperti ini. Aku sudah terlampau jauh memandang enteng pada sosok makhluk yang seharusnya menjadi musuh manusia.
Andai aku bisa mengulang waktu. Tuhan, aku benar-benar bodoh.


“Chika!” Ryu menghapiriku yang termenung dalam kursi di kelas.
“kau tidak apa-apa?” lanjutnya. Aku membungkam tanpa melihat wajahnya.
“anou, kalau aku pikir …”
“Ryu, kalau kau ingin membahas kejadian malam itu lebih baik kau pergi!” Tegasku terhadapnya. Ucapanku membuat mulutnya terkatup. Wajahnya tampak khawatir memandangku.


“Chika, kita kekantin ya?” tawar Kiya yang menghampiriku dengan hati-hati.  Tanpa banyak kata aku terima tawarannya. Kami beriringan pergi kekantin. Ryu hanya memandangiku tanpa berbuat banyak. Sekilas kulihat ia pun kembali ketempat duduknya.

“kamu mau makan apa?” tawar Kiya kembali. Aku tetap membungkam. Jujur aku tak berselera makan sedikitpun.
“ahh baiklah, biar aku saja yang pesan kalau kau bingung. Tapi dimakan ya.” Aku merasa Kiya tak henti memberikan perhatian padaku. Ada apa sesungguhnya dengan anak ini?

Bila kupikir, aku jadi merasa buruk dengan sikapku terhadap Ryu. Tak seharusnya ia ikut aku bentak. Namun aku jenuh karena ia tak henti membela para vampire itu. Apa yang bisa di banggakan oleh mereka? Selain sosoknya yang hanya haus akan darah manusia.

“aku dengar anak kelas 1-b menghilang dimalam pestaku?”  Kiya membuka obrolan yang membuatku jenuh.
“ya, sepertinya.” Jawabku, tak begitu menanggapinya serius.
“apa ada hubungannya dengan night class.”
“kau bisa membahas hal ini dengan orang lain, aku tak tertarik!” tukasku.
“baiklah, aku janji takkan membahas hal ini. Namun ada satu hal yang ingin ku tanya kan?”
“nani?”
“apa kau membenci sosok vampire?”
“sangat!” jawabku singkat.
“Ore mo(aku juga)!” sambungnya. Dengan seyum khas yang ia miliki. Aku tak mananggapi senyumannya itu. Pandanganku tersita pada Ryu yang mamatung menatapku.
Wajahnya membeku seolah ketakutan. Dan ia pun pergi begitu saja.

“Ryu!!” teriakku. Namun ia tak menggubris. Malah semakin jauh menghindariku.
“doushitte?” tanya Kiya yang ikut heran. Aku hanya tertunduk bingung tanpa berkata sedikitpun.



“aku serius, bukan aku yang melakukan hal itu!” sergah Rino saat Kazuya menyidangnya.
“aku sudah nememukan gadis itu dalam keadaan kehabisan darah.” Lanjutnya.
“apa Chika bisa percaya dengan ucapanmu itu?” tukas Kazuya.
“entahlah, tapi anak itu. Aku yakin anak itu!”
“urusai!” bentak Kazuya. Terlihat dirinya yang semakin kalut. Ia menyandarkan tubuhnya pada pada punggung kursi. Semua membisu memandang Kazuya.

“kau menjadi sangat lemah Kazuya-sama.” Aiko membuka mulutnya.
“kau terlalu memikirkan gadis itu, hingga kepekaan bahkan kekuatanmu perlahan memudar. Sampai kapan kau mengulur waktunya. Atau sampai kau tak memiliki daya lagi. Dan nasib kami yang tinggal menunggu kemusnahan?” lanjutnya.

Terihat amarah Kazuya yang melonjak. Ia menghempaskan tubuh Aiko dengan lirikan bengis matanya. Aiko pun tersungkur tak berdaya terbentur keras ke dinding. Ken menghampiri Aiko dan membawanya. Ruangan kembali sunyi tanpa hembusan napas sedikitpun.



“Chika-chan matte yo!” Rino tak henti mengejarku. Tak perduli terik siang yang menyengat. Entah apa yang ingin ia bicarakan padaku. Sejengkal pun aku tak ingin melihatnya.

“Chika.” Kiya merangkul pinggangku. Ia melihatku susah payah menghindari Rino yang begitu cepat mengejarku. Kiya melirik dengan pandangan tak enak kearah Rino. Rino tampak menyerah karena aku pun lebih memilih Kiya.

“daijoubu!” ujar kiya yang berusaha menyemangatiku. Ia membelai lembut rambutku beberapa kali. Teman-teman disekolah banyak yang menyimpulkan bahwa kami berpacaran. Aku tak perduli dengan hal itu.

“aku tak ingin melihat mereka!” ujarku lirih. Namun mustahil terjadi. Ruang ringkup ku sudah seperti dalam genggaman mereka.

“ya udah, malam ini aku ikut kamu patroli gimana?” tawar Kiya.
Sesunggunya ini tak akan baik. Namun sepertinya ia berniat baik melindungiku. Saat ini hanya sosoknya paling membuatku aman.


Ryu masih membisu diantara kami. Malam ini Kiya benar-benar ikut menemaniku patroli. Ia tak henti menggenggam tanganku. Ryu pun memilih berpisah dengan kami. Tanpa berbicara padaku. Mau pun menatapku sejenak.

“malam yang dingin.” Ujar Kiya. Aku merasa ia jenuh dengan kebisuanku. Namun lagi-lagi aku tak menggubris. Ia menggigit bibir karena bingung dan kehabisan kata untuk bisa membuatku membuka mulut.

“Chika, ikut aku sebantar.” Aku dikejutkan dengan kehadiran Rino yang tiba-tiba menarikku. Ia begitu cepat sampai aku terasa terbang dibawanya

“matte yo! Nande!” aku merampas kembali tanganku. Aku hampir tersungkur karena saking cepatnya ia menarikku. Dengan cepat ia pun memeluk tubuhku agar tak terjatuh. Dia benar-benar cepat.
Aku mendorong tubuhnya. Ia masih terlihat sangat bersalah menatapku.
“berhenti membuntutiku!” bentakku sengit.
“demo, Chika! Ada hal yang ingin kusampaikan.”
“perlukah? ribuan kali kau menyakalpun tetap saja. Kau seorang vampire! Benarkan?” ketus ku.
Tak lama Kiya datang dengan terengah – mungkin ia lari mengejarku.
“Chika, jangan ganggu Chika!” ujar Kiya dengan napas yang tak beraturan.
“kau yang seharusnya tak mengganggu Chika! Makhluk laknat!” ujar Rino menggeram. Bola matanya berubah merah menatap Kiya.
“lalu kau apa? Monster!” seru Kiya yang ikut menatap sinis.
“jangan kau berpaling dari dirimu sendiri!” perang mulut kecil terjadi diantara mereka.
“urusai!” teriakku kalap. Aku mengangkat senjataku kearah mereka.
“nani Chika? Apa kau berniat membunuh kami?” Ujar Rino – ia sedikit panic.
“hanya vampire yang takut senjata itu.” Sindir Kiya kembali.
“kuso! Tunjukan dirimu sesungguhnya!” Rino mendorong Kiya dan mencekiknya.

Aku panik melihat Kiya yang terlempar tak berdaya. Wajahnya memerah seolah kehabisan napas. Tanpa sadar aku menarik pedal peluruku dan tepat melesat menganai bahu Rino. Peluru itu terlihat seperti jaring yang melekat dengan berwana putih keperakkan – aku baru pertama kali melihatnya. Jaring itu terus merambat perlahan ketubuh Rino. Ia terdengar menggeram kesakitan.

Kiya langsung memelukku erat. Sekujur tubuhku gemetar melihat Rino. Terlihat darah yang sudah hampir membasahi seluruh bajunya.

Aku masih terpaku, dan tercengang dalam pelukan Kiya. Apa sudah ku lakukan?

“daijoubu Chika. Kau aman bersamaku.” Ujar Kiya yang begitu nyeta dileingaku.
“Tetaplah bersamaku selamanya. Aku akan membuatmu abadi disisiku…  Chika, daisuki!” Bisikan Kiya itu, perlahan membuyarkan pikiranku. Tubuhnya yang hangat berubah menjadi sangat dingin. Aku merasakan sepasang taring menusuk pada nadi di leherku.

“Chika!!”

Aku bisa mendengar suara itu. Rino terus menerus memanggil namaku. Namun semakin jauh dan samar. Penglihatanku semakin menipis dan temaram.

Terdengar suara seperti  pecahan beling yang memekik. Seperti menghancurkan sebuah perisai tebal yang terselubung disekitar kami.

Aku merasakan sepasang taring itu tercabut paksa dari leherku. Tubuh mungil Kiya terhempas semakin jauh dari penglihatanku. Tangan seseorang yang begitu dingin menutupi luka yang terasa sangat panas dileherku ini.
“Ojichan!” bisikku pelan. Ia menggendong tubuhku yang hampir tak berdaya. Aku sedikit merasakan pemulihan kesadaran saat paman yang terus menyentuh lukaku dengan jemarinya. Panas yang terasa seperti melepuh dileherku menghilang perlahan. Aku melihat tubuh Kiya yang di sekap oleh Kazeni. Mulutnya berlumuran darah. Darahku.

Pandanganku berubah dengki terhadapnya. Kesadaranku semakin kembali saat aku mendengar suara Rino semakin menjerit kencang.

“Rino-sempai!” teriakku setelah sadar. Aku turun dari gendongan paman dan sedikit tertatih menghampiri tubuh Rino.
Aku memeluknya, berusaha menyingkirkan jaring-jaring itu dari tubuhnya. Namun jaring itu seperti besi yang melekat dan terus menyayat-nyayat tubuh Rino.

“Kazuya-sempai, tolong dia!” aku menjerit kalap. Air mataku jatuh tak beraturan. Tapi mereka hanya memandang  dengan tatapan tanpa daya; yang semakin membuatku merasa bersalah.

“paman aku mohon.” Aku tak henti meminta harapan. Namun nihil. Kazuya menarikku semakin menjauh dari tubuh Rino. Ia memelukku seakan tak mengijinkan aku melihat kejadian selanjutnya. Aku bisa mendengar suara ledakkan kecil dan tak kudengar lagi suara Rino. Ia musnah. Untuk selamanya.

Napasku terasa sesak, kupingku berdengung. Wajahku panas dan keringat dingin mengucur dari sekujur tubuhku. Aku semakin tak bisa mengontrol diriku sendiri. Mataku terpejam dalam pelukan Kazuya.




“singkirkan ia dari hadapanku segera!” perintah Kazuya dengan suara lantang. Matanya terus menatap penuh pada gadis dalam pelukanya. Chika, dia sudah tak sadarkan diri.
Ia membawa gadis bertubuh mungil itu kekamarnya. Ia baringkan pada tempat tidur yang hampir tak pernah ia gunakan. Jemarinya menyentuh lembut wajah Chika. Kazuya ikut berbaring di sampingnya. Perlahan buliran air mata keluar dari kelopak mata Kazuya. Bibirnya gemetar saat menyentuh pipi gadis yang sudah lama ia cintai.

“gomen.” Bisiknya.




Pagi yang redup, dengan awan gelap yang mengelilingi disekitar gedung sekolah. Hari ini di adakan upacara pemakaman untuk Rino. Aku tahu ini hanya sebuah bualan kecil agar menutupi kemusnahan Rino. Tubuh yang terbujur kaku dalam peti mati. Hati miris, namun jengkel.

Itu bukan Rino. Ingin sekali aku berteriak seperti itu. Hokku telah mengkloning tubuhnya menyerupai mayat Rino. Semua murid berkabung. Kesedihan menyelimuti satu sekolah. Aku masih menyalahkan sosok ku dalam kejadian ini. Aku yang membunuh Rino.

Aku tak bisa menggerakan setiap sendi ditubuhku. Syaraf motorikku terasa mati begitu saja. Aku telah melakukan hal yang tak termaafkan.

Air mata terus mengalir diwajahku. Bukan karena sosok mayat yang ada di hadapanku. Namun rasa bersalahku yang teramat dalam terhadap Rino. Rangkain bunga menghiasi hampir seluruh sekolah ini.

Ingin rasanya menenggelamkan diriku dalam-dalam. Tanpa seorangpun yang menemukanku.

Kiya, aku tak tahu jelas di apakan dia. Memoriku hampir terputus. Aku tahu itu semua pasti karena kazuya yang ingin menghilangkan sedikit ingatanku. Terutama tentang Rino.

Namun ia tak sepenuhnya berhasil. Lukaku yang semakin terkoyak-koyak membuatku tak bisa meninggalkan setiap jelak masa yang mengikis hatiku.

Aku takkan mampu melupakan sosok Rino.

Walau hari ini mereka tampak sedih dan kehilangan, namun hal itu akan berlalu. Sosok seorang vampire yang musnah takkan membekas diotak manusia, ia akan terlupakan dengan mudah.

Aku tak ingin hal itu terjadi.



“jangan lupa untuk meminum obatmu.” Tegas paman seusai memeriksaku. Racun dari kiya hampir menjalar. Namun belum merambat dan memusnahkan jaringan pada organ tubuhku. Masih terselamatkan, itu lebih tepatnya.

“bila tubuh mu terasa panas, minum pill yang ini.” Paman menunjukan sebotol kecil dari beling  yang berisi pill berwarna merah pudar.

“ingat, hanya diminum bila tubuhmu terasa panas.” Tegas paman kembali. Aku hanya menatap sekilas kumpulan obat yang tersedia di meja sebelah tempat tidurku. Paman pun lekas keluar dari kamarku. Otakku bergeming dengan ribuan petanyaan. Untuk apa semua ini?


Pagi ini, aku merasakan suasana kelas yang kembali mengasingi ku. Aku tak begitu tahu jelas dengan topic hangat yang diperbincangkan. Sepasang mata terus melihat sengit dan mencibirku.

“Chika!” Ryu menghampiriku. Ia tetap tersenyum walau aku hampir tak memperdulikannya.
“warate!” ia mencubit pipiku dan menariknya. Aku tak percaya ia melakukan hal itu. Hal yang pernah dilakukan Rino terhadapku. Aku menarik tubuh Ryu dan memeluknya. Tangisanku memecah didadanya.



“iya, pertengkaran itu terjadi karena Chika. Ia benar-benar gadis yang terburuk.” Omongan demi omongan terlontar dari setiap mulut para murid.
Seolah tahu, namun tak ingin menengar. Itu yang ku lakukan saat ini. Aku tak ingin mendengar ocehan mereka yang berlebih tentangku. Aku tak perduli. Aku ingin hal ini cepat berlalu tanpa harus aku merasakannya.

Mengapa Kiya tak mengahabiskan darahku dengan cepat!!
Itu lebih baik dari pada aku harus di liputi rasa bersalah yang teramat dalam.


Paman tak mengijinkanku patroli untuk malam ini. Namun aku tetap berikeras. Bagiku memejamkan mata hanya bisa membuatku semakin terlena oleh mimpi yang menyakitkan.

“Aku bisa kok patroli sendiri, kamu gak usah maksain diri kamu.” Ujar Ryu saat kami berada di loker. Lagi-lagi aku tak menjawab. Entah beban apa yang mengatup bibirku hingga rasanya aku sendiri pun tak sanggup mengangkatnya.

“majisuka(are u sure)?” tanya kembali. Kini ia sudah berada tepat disampingku.
“sebesar apapun usahaku untuk berlari, takkan ada tempat yang aman buatku. Anggap saja menunggu ajal!” ujarku pada Ryu. Ia terilihat menyeringit mendengar kata-kataku.   

Aku lekas kembali pada tugasku. Walau masih terasa pahit namun tak ada yang bisa ku perbuat.

Baru beberapa langkah aku berjalan, aku mendengar suara tubuh Ryu yang tersungkur dibelakang ku.
Aku senoleh memastikan. Kulihat Ryu dilantai dengan wajah yang memucat pasi.
“Ryu!” aku berlari kecil menghampirinya.
“doushitte, Ryu?” tanyaku yang semakin panic.
“daijoubu, Chika! Aku cuma ngerasa pusing sedikit. Bisa tolong ambilkan obat ditasku! Didalam loker?”
“hai!” aku segera mengambilnya. Sedikit mengobrak-abrik tas Ryu untuk mencarinya. Dapat ! sebungkus obat yang terdiri dari beberapa pill didalamnya.
“kore?”
Ia lekas merampas obat itu dari tanganku. Ia tenggak langsung dua butir obar berwarna merah pudar itu. Aku seperti pernah melihat obat itu?
Namun dimana?




“ Ku rasa usahaku nihil. Tak ada ramuan apapun yang bisa memusnahkan racun dari vampire. Mungkin hanya bisa memperlambat prosesnya saja.”
“aku percaya bahwa kau sosok professor yang handal Ryouta-san!” tegas Kazuya.
“wakateru, saya akan berusaha bekerja lebih keras untuk hal ini Kazuya-sama.”
“arigatou, Ryouta-san.”



Rintikkan gerimis menghiasi malam ini. Terasa dingin yang menusuk hingga paru-paruku. Bermodalkan jas almamater dari sekolah untuk melindungi tubuh kecil ku ini. Napas ku terasa berembun setiap kali aku menghembuskannya.
“Chika-nee!!” teriakan melengking itu terasa membekik. Dan sejurus kemudian sudah berada di sampingku.
“Neechan, ini!” Shima memberikan mantel hangat padaku. Tak perlu ku bertanya lagi, atas perintah siapa. Aku akupun sudah tahu jawabannya.
“arigatou.” ujarku sedikit berbisik. Lekas kupakai mantel itu. Senyum Shima masih mengambang menatapku.
“Ryu-kun, doko(di mana)?” tanyanya kemudian.
“entahlah, yang jelas disekolah ini.” Ujarku, dengan nada yang masih terdengar kaku.
“souka ! neechan mau aku temani.”
“kembali kekelasmu!” sergahku sedikit membentak.
“demo, neechan! Aku sudah lama tak merasakan bisa mengobrol berdua dengan kamu.” Bujuknya, yang membuatku sedikit miris. Aku hanya membungkam tanpa mengijinkan maupun menolak yang ia inginkan. Ia tanpak tersenyum riang mengiringi langkahku.
Pertumbuhannya sangat pesat. Ia sedikit lebih tinggi dibandingkan tubuhku. Aku bisa melihatnya saat ia sejajar berdiri denganku.  Namun sayang, ia akan tetap seperti ini selamanya. Tanpa sejengkalpun akan berubah dari sosoknya yang saat ini.
“neechan!”
“emm.”
“kalau nanti kamu ketemu otōsan dan okāsan, samapaikan salamku untuk mereka ya. Bilang, kalau aku rindu sama mereka.” Ujarnya yang terdengar putus asa.
Hatiku bergeming mendengar kata-katanya. Aku menyesali keegoisan ku yang terus meghindari adikku sendiri.
“un, nēchan pasti sampaikan pada mereka. Terutama tentang kau menjadi vampire!” sindirku meledeknya.
“nēchan!” ia mengerucutkan bibirnya. Matanya berkaca-kaca seolah menahan tangis.
“iie, nakanai de (gak, jangan nangis)!” aku tertawa kecil melihat wajah manjanya itu.
“nakenai (aku gak nangis)!” tegasnya membela diri. Ia pun ikut tersenyum dan memelukku. tersentak mata terbelalak dibuatnya. Tubuhnya terasa begitu keras dan dingin seperti bongkahan es. Namun, hatiku terasa begitu hangat. Perlahan jemariku merambat pada punggungnya. Membalas pelukan yang hampir tak pernah lagi kurasakan.   
***

Kamis, 04 Oktober 2012

FanFiction "Time Machine"




Title :           Time Machine
Author :        Yuki Akanishi
Type :           OneShot
Rating :         G
Genre:           Romance, Agnst, Fantasy, Family 
 Cast:             Shida Mirai as Shida Mirai
                      Yamada Ryosuke as Yamada Ryosuke & Yamada Ryouta 
 Theme Song: SNSD – Time Machine
Disclamer : all cast milik agency nya masing2. Cerita ini punya saya (sedikit ngambil pengalaman pribadi  TAT). Gak pure sih, penah liat film tapi lupa judulnya apa. Pokoknya hampir sejenis dengan cerita ini. #terinspirasilah XD. Maaf bila ada salah dan kekurangan. Don’t bashing me. Peace.
Note : ini ff sebenernya repost. Tapi gak tau kenapa aku suka aja sama ff ini (ya iyalah, pengalaman pribadi XD). Makanya aku benerin lagi. Kalo masih ada yang salah, maafkan kekurangan saya ini >,
Minna please enjoy~
POV:            Shida Mirai


.
.
16.mei.2012    

 (13.30)

                Terik matahari siang ini cukup menyayat-nyayat dikulit. Sejenak aku mengangkat tangan kiri, melirik arlojiku. Mataku sedikit terkatup karna sinar matahari yang memantul pada kaca jam tangan membias ke kacamata yang ku kanakan ini. Aku berjalan perlahan menuju rumah. Dengan wajah yang terus menunduk kearah aspal yang seolah sedang terbakar cahaya matahari.
“panas…” gumanku berbisik. Aku seakan tak tahan menginjak bumi—namun aku tak sedikitpun mempercepat langkah kakiku.
                Sejurus memandang, mataku melihat seorang anak SD terengah-engah berjalan. Dengan tas selempang berwarna hitam—yang terlihat cukup berat. Ia terlihat menekuk wajahnya. Mungkin ia merasakan apa yang kurasakan; terik panas matahari yang luar biasa di siang ini. Aku mempercepat langkahku menghampirinya.
                “ konnichiwa(selamat siang), Ryouta-kun!”Sapaku terhadapnya. Ia sedikit menyunggingkan senyum saat melihatku.
“konnichiwa” jawabnya dengan wajah yang kembali datar. Hanya itu kata yag terlontar dari bibirku. Entah apa yang ingin ku lontarkan lagi pada anak yang sangat akrab kulihat ini. Walau ku tau ia tak mengenalku, namun wajahku mungkin tidak asing lagi baginya.
                “nēchan(kak),  baru pulang?” tanyanya yang terasa mengejutkanku.
“un.” aku mengangguk, dan langsung terlintas pertanyaan lain untuknya.
“kamu gak les?” tanyaku, ia menggeleng. Aku tak ingin bertanya apa alasannya. Aku takut menyinggung kesedihanya yang sudah berlalu sepekan ini. Ia pun tampak menekuk wajah chubby-nya yang malah terkesan imut.
Kebisuan kembali menerpa kami. Aku tak mengerti mengapa jantungku seolah tak beraturan berdetak, setiap kali aku membuka mulut pada anak yang sekarang duduk di bangku 4 SD ini. Apa karena garis wajahnya yang begitu mirip—jelas, mereka masih sedarah—sehingga aku terlalu gugup didekatnya.
“nēchan aku duluan ya…” ujarnya, seraya masuk kepintu gerbang rumahnya—tanpa menggariskan senyum sedikitpun. Aku hanpir tak sadar akan hal itu. Aku hanya terenyum dan sedikit mengangguk kearahnya. Aku terus memandanginya masuk kerumah bertingkat dengan cat tembok yang berwarna putih, yang terpakir dua motor dan mobil di halamannya—salah satu motor milik anak sulung keluarga itu, yang kini sudah tiada; Yamada ryosuke.
                Aku kembali melanjutkan langkahku menuju rumah. Hatiku linu mengingat kejadian seminggu yang lalu. Dan hal yang membuat penyesalan terbodoh dalam benakku.

Hey! Say! JUMP 1st photobook