Ignorance part 1
Detik-perdetik ku
ikuti pergerakan jarum jam yang terus berputar. Aku terbakar oleh waktu yang
semakin menenggelamkanku. Mengapa aku jadi bersikap bodoh seperti ini. Aku
sudah terlampau jauh memandang enteng pada sosok makhluk yang seharusnya
menjadi musuh manusia.
Andai aku bisa
mengulang waktu. Tuhan, aku benar-benar bodoh.
“Chika!” Ryu
menghapiriku yang termenung dalam kursi di kelas.
“kau tidak
apa-apa?” lanjutnya. Aku membungkam tanpa melihat wajahnya.
“anou, kalau aku
pikir …”
“Ryu, kalau kau
ingin membahas kejadian malam itu lebih baik kau pergi!” Tegasku terhadapnya.
Ucapanku membuat mulutnya terkatup. Wajahnya tampak khawatir memandangku.
“Chika, kita
kekantin ya?” tawar Kiya yang menghampiriku dengan hati-hati. Tanpa banyak kata aku terima tawarannya. Kami
beriringan pergi kekantin. Ryu hanya memandangiku tanpa berbuat banyak. Sekilas
kulihat ia pun kembali ketempat duduknya.
“kamu mau makan
apa?” tawar Kiya kembali. Aku tetap membungkam. Jujur aku tak berselera makan
sedikitpun.
“ahh baiklah, biar
aku saja yang pesan kalau kau bingung. Tapi dimakan ya.” Aku merasa Kiya tak
henti memberikan perhatian padaku. Ada apa sesungguhnya dengan anak ini?
Bila kupikir, aku
jadi merasa buruk dengan sikapku terhadap Ryu. Tak seharusnya ia ikut aku
bentak. Namun aku jenuh karena ia tak henti membela para vampire itu. Apa yang
bisa di banggakan oleh mereka? Selain sosoknya yang hanya haus akan darah
manusia.
“aku dengar anak
kelas 1-b menghilang dimalam pestaku?”
Kiya membuka obrolan yang membuatku jenuh.
“ya, sepertinya.”
Jawabku, tak begitu menanggapinya serius.
“apa ada
hubungannya dengan night class.”
“kau bisa membahas
hal ini dengan orang lain, aku tak tertarik!” tukasku.
“baiklah, aku
janji takkan membahas hal ini. Namun ada satu hal yang ingin ku tanya kan?”
“nani?”
“apa kau membenci
sosok vampire?”
“sangat!” jawabku
singkat.
“Ore mo(aku juga)!”
sambungnya. Dengan seyum khas yang ia miliki. Aku tak mananggapi senyumannya
itu. Pandanganku tersita pada Ryu yang mamatung menatapku.
Wajahnya membeku
seolah ketakutan. Dan ia pun pergi begitu saja.
“Ryu!!” teriakku.
Namun ia tak menggubris. Malah semakin jauh menghindariku.
“doushitte?” tanya
Kiya yang ikut heran. Aku hanya tertunduk bingung tanpa berkata sedikitpun.
“aku serius, bukan
aku yang melakukan hal itu!” sergah Rino saat Kazuya menyidangnya.
“aku sudah
nememukan gadis itu dalam keadaan kehabisan darah.” Lanjutnya.
“apa Chika bisa
percaya dengan ucapanmu itu?” tukas Kazuya.
“entahlah, tapi
anak itu. Aku yakin anak itu!”
“urusai!” bentak
Kazuya. Terlihat dirinya yang semakin kalut. Ia menyandarkan tubuhnya pada pada
punggung kursi. Semua membisu memandang Kazuya.
“kau menjadi
sangat lemah Kazuya-sama.” Aiko membuka mulutnya.
“kau terlalu
memikirkan gadis itu, hingga kepekaan bahkan kekuatanmu perlahan memudar.
Sampai kapan kau mengulur waktunya. Atau sampai kau tak memiliki daya lagi. Dan
nasib kami yang tinggal menunggu kemusnahan?” lanjutnya.
Terihat amarah
Kazuya yang melonjak. Ia menghempaskan tubuh Aiko dengan lirikan bengis matanya.
Aiko pun tersungkur tak berdaya terbentur keras ke dinding. Ken menghampiri
Aiko dan membawanya. Ruangan kembali sunyi tanpa hembusan napas sedikitpun.
“Chika-chan matte
yo!” Rino tak henti mengejarku. Tak perduli terik siang yang menyengat. Entah
apa yang ingin ia bicarakan padaku. Sejengkal pun aku tak ingin melihatnya.
“Chika.” Kiya
merangkul pinggangku. Ia melihatku susah payah menghindari Rino yang begitu
cepat mengejarku. Kiya melirik dengan pandangan tak enak kearah Rino. Rino
tampak menyerah karena aku pun lebih memilih Kiya.
“daijoubu!” ujar
kiya yang berusaha menyemangatiku. Ia membelai lembut rambutku beberapa kali.
Teman-teman disekolah banyak yang menyimpulkan bahwa kami berpacaran. Aku tak
perduli dengan hal itu.
“aku tak ingin melihat
mereka!” ujarku lirih. Namun mustahil terjadi. Ruang ringkup ku sudah seperti
dalam genggaman mereka.
“ya udah, malam ini
aku ikut kamu patroli gimana?” tawar Kiya.
Sesunggunya ini tak
akan baik. Namun sepertinya ia berniat baik melindungiku. Saat ini hanya
sosoknya paling membuatku aman.
Ryu masih membisu
diantara kami. Malam ini Kiya benar-benar ikut menemaniku patroli. Ia tak henti
menggenggam tanganku. Ryu pun memilih berpisah dengan kami. Tanpa berbicara
padaku. Mau pun menatapku sejenak.
“malam yang
dingin.” Ujar Kiya. Aku merasa ia jenuh dengan kebisuanku. Namun lagi-lagi aku
tak menggubris. Ia menggigit bibir karena bingung dan kehabisan kata untuk bisa
membuatku membuka mulut.
“Chika, ikut aku
sebantar.” Aku dikejutkan dengan kehadiran Rino yang tiba-tiba menarikku. Ia
begitu cepat sampai aku terasa terbang dibawanya
“matte yo! Nande!”
aku merampas kembali tanganku. Aku hampir tersungkur karena saking cepatnya ia
menarikku. Dengan cepat ia pun memeluk tubuhku agar tak terjatuh. Dia benar-benar
cepat.
Aku mendorong
tubuhnya. Ia masih terlihat sangat bersalah menatapku.
“berhenti
membuntutiku!” bentakku sengit.
“demo, Chika! Ada
hal yang ingin kusampaikan.”
“perlukah? ribuan
kali kau menyakalpun tetap saja. Kau seorang vampire! Benarkan?” ketus ku.
Tak lama Kiya
datang dengan terengah – mungkin ia lari mengejarku.
“Chika, jangan
ganggu Chika!” ujar Kiya dengan napas yang tak beraturan.
“kau yang
seharusnya tak mengganggu Chika! Makhluk laknat!” ujar Rino menggeram. Bola
matanya berubah merah menatap Kiya.
“lalu kau apa?
Monster!” seru Kiya yang ikut menatap sinis.
“jangan kau
berpaling dari dirimu sendiri!” perang mulut kecil terjadi diantara mereka.
“urusai!” teriakku
kalap. Aku mengangkat senjataku kearah mereka.
“nani Chika? Apa
kau berniat membunuh kami?” Ujar Rino – ia sedikit panic.
“hanya vampire
yang takut senjata itu.” Sindir Kiya kembali.
“kuso! Tunjukan
dirimu sesungguhnya!” Rino mendorong Kiya dan mencekiknya.
Aku panik melihat
Kiya yang terlempar tak berdaya. Wajahnya memerah seolah kehabisan napas. Tanpa
sadar aku menarik pedal peluruku dan tepat melesat menganai bahu Rino. Peluru
itu terlihat seperti jaring yang melekat dengan berwana putih keperakkan – aku
baru pertama kali melihatnya. Jaring itu terus merambat perlahan ketubuh Rino.
Ia terdengar menggeram kesakitan.
Kiya langsung
memelukku erat. Sekujur tubuhku gemetar melihat Rino. Terlihat darah yang sudah
hampir membasahi seluruh bajunya.
Aku masih terpaku,
dan tercengang dalam pelukan Kiya. Apa sudah ku lakukan?
“daijoubu Chika.
Kau aman bersamaku.” Ujar Kiya yang begitu nyeta dileingaku.
“Tetaplah
bersamaku selamanya. Aku akan membuatmu abadi disisiku… Chika, daisuki!” Bisikan Kiya itu, perlahan
membuyarkan pikiranku. Tubuhnya yang hangat berubah menjadi sangat dingin. Aku
merasakan sepasang taring menusuk pada nadi di leherku.
“Chika!!”
Aku bisa mendengar
suara itu. Rino terus menerus memanggil namaku. Namun semakin jauh dan samar. Penglihatanku
semakin menipis dan temaram.
Terdengar suara
seperti pecahan beling yang memekik.
Seperti menghancurkan sebuah perisai tebal yang terselubung disekitar kami.
Aku merasakan
sepasang taring itu tercabut paksa dari leherku. Tubuh mungil Kiya terhempas
semakin jauh dari penglihatanku. Tangan seseorang yang begitu dingin menutupi
luka yang terasa sangat panas dileherku ini.
“Ojichan!” bisikku
pelan. Ia menggendong tubuhku yang hampir tak berdaya. Aku sedikit merasakan
pemulihan kesadaran saat paman yang terus menyentuh lukaku dengan jemarinya.
Panas yang terasa seperti melepuh dileherku menghilang perlahan. Aku melihat
tubuh Kiya yang di sekap oleh Kazeni. Mulutnya berlumuran darah. Darahku.
Pandanganku
berubah dengki terhadapnya. Kesadaranku semakin kembali saat aku mendengar
suara Rino semakin menjerit kencang.
“Rino-sempai!”
teriakku setelah sadar. Aku turun dari gendongan paman dan sedikit tertatih
menghampiri tubuh Rino.
Aku memeluknya,
berusaha menyingkirkan jaring-jaring itu dari tubuhnya. Namun jaring itu
seperti besi yang melekat dan terus menyayat-nyayat tubuh Rino.
“Kazuya-sempai,
tolong dia!” aku menjerit kalap. Air mataku jatuh tak beraturan. Tapi mereka
hanya memandang dengan tatapan tanpa
daya; yang semakin membuatku merasa bersalah.
“paman aku mohon.”
Aku tak henti meminta harapan. Namun nihil. Kazuya menarikku semakin menjauh
dari tubuh Rino. Ia memelukku seakan tak mengijinkan aku melihat kejadian
selanjutnya. Aku bisa mendengar suara ledakkan kecil dan tak kudengar lagi
suara Rino. Ia musnah. Untuk selamanya.
Napasku terasa
sesak, kupingku berdengung. Wajahku panas dan keringat dingin mengucur dari
sekujur tubuhku. Aku semakin tak bisa mengontrol diriku sendiri. Mataku
terpejam dalam pelukan Kazuya.
“singkirkan ia
dari hadapanku segera!” perintah Kazuya dengan suara lantang. Matanya terus
menatap penuh pada gadis dalam pelukanya. Chika, dia sudah tak sadarkan diri.
Ia membawa gadis
bertubuh mungil itu kekamarnya. Ia baringkan pada tempat tidur yang hampir tak
pernah ia gunakan. Jemarinya menyentuh lembut wajah Chika. Kazuya ikut
berbaring di sampingnya. Perlahan buliran air mata keluar dari kelopak mata
Kazuya. Bibirnya gemetar saat menyentuh pipi gadis yang sudah lama ia cintai.
“gomen.” Bisiknya.
Pagi yang redup,
dengan awan gelap yang mengelilingi disekitar gedung sekolah. Hari ini di
adakan upacara pemakaman untuk Rino. Aku tahu ini hanya sebuah bualan kecil
agar menutupi kemusnahan Rino. Tubuh yang terbujur kaku dalam peti mati. Hati
miris, namun jengkel.
Itu bukan Rino.
Ingin sekali aku berteriak seperti itu. Hokku telah mengkloning tubuhnya
menyerupai mayat Rino. Semua murid berkabung. Kesedihan menyelimuti satu
sekolah. Aku masih menyalahkan sosok ku dalam kejadian ini. Aku yang membunuh
Rino.
Aku tak bisa
menggerakan setiap sendi ditubuhku. Syaraf motorikku terasa mati begitu saja.
Aku telah melakukan hal yang tak termaafkan.
Air mata terus
mengalir diwajahku. Bukan karena sosok mayat yang ada di hadapanku. Namun rasa
bersalahku yang teramat dalam terhadap Rino. Rangkain bunga menghiasi hampir
seluruh sekolah ini.
Ingin rasanya
menenggelamkan diriku dalam-dalam. Tanpa seorangpun yang menemukanku.
Kiya, aku tak tahu
jelas di apakan dia. Memoriku hampir terputus. Aku tahu itu semua pasti karena
kazuya yang ingin menghilangkan sedikit ingatanku. Terutama tentang Rino.
Namun ia tak
sepenuhnya berhasil. Lukaku yang semakin terkoyak-koyak membuatku tak bisa
meninggalkan setiap jelak masa yang mengikis hatiku.
Aku takkan mampu
melupakan sosok Rino.
Walau hari ini
mereka tampak sedih dan kehilangan, namun hal itu akan berlalu. Sosok seorang
vampire yang musnah takkan membekas diotak manusia, ia akan terlupakan dengan
mudah.
Aku tak ingin hal
itu terjadi.
“jangan lupa untuk
meminum obatmu.” Tegas paman seusai memeriksaku. Racun dari kiya hampir
menjalar. Namun belum merambat dan memusnahkan jaringan pada organ tubuhku.
Masih terselamatkan, itu lebih tepatnya.
“bila tubuh mu
terasa panas, minum pill yang ini.” Paman menunjukan sebotol kecil dari beling yang berisi pill berwarna merah pudar.
“ingat, hanya
diminum bila tubuhmu terasa panas.” Tegas paman kembali. Aku hanya menatap
sekilas kumpulan obat yang tersedia di meja sebelah tempat tidurku. Paman pun
lekas keluar dari kamarku. Otakku bergeming dengan ribuan petanyaan. Untuk apa
semua ini?
Pagi ini, aku
merasakan suasana kelas yang kembali mengasingi ku. Aku tak begitu tahu jelas
dengan topic hangat yang diperbincangkan. Sepasang mata terus melihat sengit
dan mencibirku.
“Chika!” Ryu
menghampiriku. Ia tetap tersenyum walau aku hampir tak memperdulikannya.
“warate!” ia
mencubit pipiku dan menariknya. Aku tak percaya ia melakukan hal itu. Hal yang
pernah dilakukan Rino terhadapku. Aku menarik tubuh Ryu dan memeluknya. Tangisanku
memecah didadanya.
“iya, pertengkaran
itu terjadi karena Chika. Ia benar-benar gadis yang terburuk.” Omongan demi
omongan terlontar dari setiap mulut para murid.
Seolah tahu, namun
tak ingin menengar. Itu yang ku lakukan saat ini. Aku tak ingin mendengar
ocehan mereka yang berlebih tentangku. Aku tak perduli. Aku ingin hal ini cepat
berlalu tanpa harus aku merasakannya.
Mengapa Kiya tak
mengahabiskan darahku dengan cepat!!
Itu lebih baik
dari pada aku harus di liputi rasa bersalah yang teramat dalam.
Paman tak
mengijinkanku patroli untuk malam ini. Namun aku tetap berikeras. Bagiku
memejamkan mata hanya bisa membuatku semakin terlena oleh mimpi yang
menyakitkan.
“Aku bisa kok
patroli sendiri, kamu gak usah maksain diri kamu.” Ujar Ryu saat kami berada di
loker. Lagi-lagi aku tak menjawab. Entah beban apa yang mengatup bibirku hingga
rasanya aku sendiri pun tak sanggup mengangkatnya.
“majisuka(are u
sure)?” tanya kembali. Kini ia sudah berada tepat disampingku.
“sebesar apapun
usahaku untuk berlari, takkan ada tempat yang aman buatku. Anggap saja menunggu
ajal!” ujarku pada Ryu. Ia terilihat menyeringit mendengar kata-kataku.
Aku lekas kembali
pada tugasku. Walau masih terasa pahit namun tak ada yang bisa ku perbuat.
Baru beberapa
langkah aku berjalan, aku mendengar suara tubuh Ryu yang tersungkur dibelakang
ku.
Aku senoleh
memastikan. Kulihat Ryu dilantai dengan wajah yang memucat pasi.
“Ryu!” aku berlari
kecil menghampirinya.
“doushitte, Ryu?”
tanyaku yang semakin panic.
“daijoubu, Chika!
Aku cuma ngerasa pusing sedikit. Bisa tolong ambilkan obat ditasku! Didalam
loker?”
“hai!” aku segera
mengambilnya. Sedikit mengobrak-abrik tas Ryu untuk mencarinya. Dapat !
sebungkus obat yang terdiri dari beberapa pill didalamnya.
“kore?”
Ia lekas merampas
obat itu dari tanganku. Ia tenggak langsung dua butir obar berwarna merah pudar
itu. Aku seperti pernah melihat obat itu?
Namun dimana?
“ Ku rasa usahaku
nihil. Tak ada ramuan apapun yang bisa memusnahkan racun dari vampire. Mungkin
hanya bisa memperlambat prosesnya saja.”
“aku percaya bahwa
kau sosok professor yang handal Ryouta-san!” tegas Kazuya.
“wakateru, saya
akan berusaha bekerja lebih keras untuk hal ini Kazuya-sama.”
“arigatou,
Ryouta-san.”
Rintikkan gerimis
menghiasi malam ini. Terasa dingin yang menusuk hingga paru-paruku. Bermodalkan
jas almamater dari sekolah untuk melindungi tubuh kecil ku ini. Napas ku terasa
berembun setiap kali aku menghembuskannya.
“Chika-nee!!”
teriakan melengking itu terasa membekik. Dan sejurus kemudian sudah berada di
sampingku.
“Neechan, ini!”
Shima memberikan mantel hangat padaku. Tak perlu ku bertanya lagi, atas
perintah siapa. Aku akupun sudah tahu jawabannya.
“arigatou.” ujarku
sedikit berbisik. Lekas kupakai mantel itu. Senyum Shima masih mengambang
menatapku.
“Ryu-kun, doko(di
mana)?” tanyanya kemudian.
“entahlah, yang
jelas disekolah ini.” Ujarku, dengan nada yang masih terdengar kaku.
“souka ! neechan
mau aku temani.”
“kembali
kekelasmu!” sergahku sedikit membentak.
“demo, neechan!
Aku sudah lama tak merasakan bisa mengobrol berdua dengan kamu.” Bujuknya, yang
membuatku sedikit miris. Aku hanya membungkam tanpa mengijinkan maupun menolak
yang ia inginkan. Ia tanpak tersenyum riang mengiringi langkahku.
Pertumbuhannya
sangat pesat. Ia sedikit lebih tinggi dibandingkan tubuhku. Aku bisa melihatnya
saat ia sejajar berdiri denganku. Namun
sayang, ia akan tetap seperti ini selamanya. Tanpa sejengkalpun akan berubah
dari sosoknya yang saat ini.
“neechan!”
“emm.”
“kalau nanti kamu
ketemu otōsan dan okāsan, samapaikan salamku untuk mereka ya. Bilang, kalau aku
rindu sama mereka.” Ujarnya yang terdengar putus asa.
Hatiku bergeming
mendengar kata-katanya. Aku menyesali keegoisan ku yang terus meghindari adikku
sendiri.
“un, nēchan pasti
sampaikan pada mereka. Terutama tentang kau menjadi vampire!” sindirku
meledeknya.
“nēchan!” ia
mengerucutkan bibirnya. Matanya berkaca-kaca seolah menahan tangis.
“iie, nakanai de
(gak, jangan nangis)!” aku tertawa kecil melihat wajah manjanya itu.
“nakenai (aku gak
nangis)!” tegasnya membela diri. Ia pun ikut tersenyum dan memelukku. tersentak
mata terbelalak dibuatnya. Tubuhnya terasa begitu keras dan dingin seperti
bongkahan es. Namun, hatiku terasa begitu hangat. Perlahan jemariku merambat
pada punggungnya. Membalas pelukan yang hampir tak pernah lagi kurasakan.
***