Rabu, 03 Oktober 2012

FanFiction "Bloody Rose" tenth night : 'Betrayal'


Title                 : Bloody Rose
Categories       : FanFiction
Genre              : Horror, Romance,Agnst, Family
Rating                   : Teenagers
Author             : Yuki Akanishi
Theme song    : Boku wa vampire – Hey! Say! JUMP & Love Story (instrumental)
Disclaimer       : cerita ini terinspirsi dari beberapa cerita yang sudah ada. Dan selama 2 tahun pengerjaan akhirnya berani mengeluarkannya juga haha

Cast                 :
  - Nishiuchi Mariya as Yoshira Sachika (chika)
  - Sato Shori as Yoshira Shima
  - Akanishi Jin as Yoshira Takeda
  - Yokoyama Yu as Yoshira Ryouta
  - Nakajima Kento as Narashika Ryu
  - Fujigaya Taisuke as Kazuya Iruka


White vampire

- Yamada Ryosuke as Mizukawa rei
- Nakayama Yuma as Akiyama Ken              
- Okamoto Keito as Kazeni Hayato
- Shida Mirai as Haruno Yuuki
- kawashima Umika as Shizune Aiko
- Manami Oka as Kakozu Yujin
- Kyomoto Taiga as Taki Tama
- Matsumura Hokuto as Mohisa Hokku
- Sato Shori as Yoshira Shima
- Yaotome Hikaru as Yakushi Rino

Black vampire

- Matsumoto Jun as Rein Sabakuno
- Kutsuna Shiori as Haruma Sharena
- Shimazaki Haruka as Sakurano Seiya
- Morimoto Shintaro as Keitsuke yuuka
- Kamenashi Kazuya as Jack Hikigame
- Kikuchi Fuma as Kikuchi Kaiya
- Takaki Yuya as Kenichi Hiro
- Chinen Yuri as Takajima Kiya


Preliminary :
 “andai aku bisa memilih aku ingin orang-orang yang ku sayang selalu ada di dekapku… andai aku lebih kuat… aku ingin melindungi mereka hingga tetes darahku yang terakhir…” terbesit keinginan kecil dari seorang gadis remaja berusia 16th  bernama chika. Kehidupannya perlahan berubah dikala satu persatu keluarganya menghilang. Saat itu serangan vampire sedang gencar meraja rela dikota kelahiran chika.
Hal itu membuat trauma dan beban yang cukup dalam mengguncang hidupnya. Dan kenyataan pahit yang harus ia terima, keluarga yang paling ia sayangi menjadi sosok yang tak ingin ia temui seumur hidupnya….
“ aroma darah mu begitu menggoda…” kata itubagai sebuah kutukan untuk chika. Dirinya terus  di hantui serangan vampire yang ingin mengisap darahnya. Walau ia selalu di ambang kematian, namun ia selalu diselamatkan oleh sosok vampire yang justru sangat membutuhkan darahnya ; kazuya iruka...
Dan sebagai balas budi pada kazuya—bagi chika, saat masuk SMA—di sekolah yang didirikan kazuya—harus menerima sebuah pekerjaan yang membuat ia berperang melawan batinnya.
Antara hidup dan mati… dan kata-kata yang baginya kutukan, terus membelenggu… hingga perang besar diantara vampire pun terjadi  yang ikut bergelut mengancam hidupnya... Untuk mencapai siapa yang terkuat dan paling abadi…





Betrayal

“ kau sudah melewati kesempatan itu lagi!!” ujar Ryouta (paman Chika) terhadap Kazuya yang sedang menatap miris pada bulan yang berwarna orens pudar.
“aku tak bisa melakukan itu!” tukasnya, tak memalingkan wajah sedikitpun. Ia menyeringitkan alis, dan sekejap matanya terpejam. Wajahnya tampak seperti menahan napas. Mencoba menyingkirkan hasrat dalam benaknya.
“apa kau yakin akan bertahan lama bila seperti ini terus? Kau takkan mampu melawannya!”
“aku lebih tak mampu lagi melihatnya terluka!” sergahnya, kali ini ia menoleh kearah Ryouta. Warna matanya memudar kecoklatan. Seperti rasa sakit yang tak tahu letaknya dimana. Itulah yang ia rasakan saat ini.


“Hajinemashite, boku no namae wa Takajima Kiya desu. Yoroshiku !” Pria bertubuh mungil itu memperkenalkan diri didepan kelas. Wajahnya tampak tampan dan imut. Itu sekilas dari penilaianku. Senyumnya mengambang ramah pada semua murid. Itu yang membuat mereka berdecak terpesona  memandang siswa baru pindahan yang mendapatkan beasiswa di sekolah ini.
Ia duduk tak jauh dari tempatku. Hawa lain tercium berbeda di kelas ini. Datanglah seorang pujaan para siswi yang menjadi idaman mereka.
Dan ternyata kata beasiswa yang melekat padanya itu tak bisa diragukan. Ku kira hanya sekedar prioritas – sebuah alasan bagi seorang anak kaya yang hanya ingin pandang di sekolah ini. Ia sangat unggul di setiap pelajaran. Itu yang membuat kepopularitasanya semakin meningkat.

“Kiya-kun ajarin aku dong! Aku gak ngerti pelajaran ini.”
“atashi mo(aku juga)!”Semua murid berlomba menhampirinya.
“Hai! Satu-satu ya.” Ujanya menenangkan.

Aku jenuh dengan suasana ini. Kuputus untuk berjalan-jalan kekantin sekedar untuk membeli cemilan mengganjal perutku.

“Chika ! kamu mau kemana?” Tanya salah satu teman siswi ku di kelas.
“a-aku, mau kekantin!”
“oh ya udah bareng yuk!” ia langsung merangkul tanganku.
“kita ajak Kiya sekalian.” Lanjutnya semangat. Ia menarikku hingga ketempat anak baru itu.
“Kiya-kun!” ia sedikit memecah kerumunan para siswi.
“hai, doushitte?” jawabnya.
“kekantin yuk!” ceplosnya, yang membuat semua siswa menyeringit menatapnya. Aku hanya menundukan kepala kerena malu, yang terasa ikut memonopoli.
“ok, ayo!” tanpa pikir panjang ia menyetujui.

Wajah kecewa tampak dari sisiwi lain yang lansung merubah antusias mereka untuk ikut pergi kekantin.
Usahaku untuk menghindar, gagal.
Inikah rasanya bila sudah masuk dalam lingkaran. Tak ada celah sedikitpun untuk aku keluar.
Aku jadi semakin risih. Andai Ryu ada.
Pikiranku lansung tertuju padanya. Aku bergegas meninggalkan mereka. Hari ini Ryu tak masuk karena demam tinggi. Aku lekas buru-buru ingin menjenguknya – lebih tepatnya menghindar dari semua ini.
Dengan alasan ingin kembali kekelas. Aku pergi.
Andai aku murid lain, pasti paman akan memakiku habis-habisan karena menyelinap keluar dari gedung saat masih dalam jam sekolah. Bahkan sampai ke asrama pria.

“Ryu!” sapaku dengan perlahan membuka pintu kamarnya.

 Ia sedang berbaring, wajahnya tampak lesu dan pucat.Senyumnya mengambang saat aku datang.  

“kenapa kamu sakit !” tanyaku, bodoh.
“emang aku gak boleh sakit, jangan kira label sakit hanya untuk kamu!” sergahnya dengan suara yang sedikit serak. Aku jadi iba melihatnya.

Ia merubah posisinya dengan duduk bersandar pada tembok.

“kamu bolosnya?” sentak Ryu tiba-tiba. Nada bicaranya seperti  paman saat sedang bertanya bila aku melakukan kesalahan. Aku jadi gugup sendiri dan tak menjawab pertanyaan dari Ryu.

“gak usah segitunya dong Chika, besok aku juga udah masuk. Bela-belain datang buat liat aku doang!” sifat menjengkelkannya kembali membuatku merasa menyesal menjengguknya.
“siapa juga yang mau jenguk kamu, aku datang kesini cuma mau menghindar dari anak baru!” tukas ku emosi.
“ loh, ada anak baru kok malah di hindarin? Bukannya didekietin!”
“buat apa, udah banyak kok yang dekietin dia!” aku semakin mengerucutkan bibir.
“popular dong?” simpulya.
“bukan hanya popular, dia juga pintar dalam semua pelajaran. Dia bakal jadi saingan kamu!” ketus ku yang awalnya ingin menyinggung Ryu.
“yokatta(syukurlah).” Ujarnya lembut.
Justru ia yang membuat aku tercengang heran dan memgerutkan alis. Ia pun melanjutkan kata-katanya.
“selama ini aku selalu bersama orang bodoh, akhirnya aku memiliki saingan!”
“Ryu!!” aku mencekik lehernya. Ia malah terkekeh seakan lupa akan sakitnya. Usaha ku gagal. Ia malah berbalik memukulku dengan kata-katanya – bahkan lebih menyakitkan buatku.

Kamar ini terasa sesak tak berudara. Ryu bodoh tak membiarkan udara luar masuk kekamar. Aku berjalan membukakan jendela kamarnya. Kuhirup udara segar yang menyegarkan dari luar sana. Akankan selamanya aku bisa merasakan udara ini. Detak jantung yang menerimanya, dan diantarkan oleh  darah keseluruh tubuhku.

Aku menoleh kearah Ryu yang ternyata sedang menatapku.  Aku menghampiri dan duduk disisinya. Perlahan ia memelukku dari belakang. Tubuhnya begitu hangat bahkan lebih hangat dari biasanya.
“kenapa gak berontak?” ia bertanya dengan nada berbisik. Pertanyaan yang membuatku sedikit heran. Aku pun tak mengerti, mengapa tak ada perasaan canggung sedikitpun terhadap Ryu. Apa mungkin karena kita selalu bersama? Atau karena aku sudah menganggap dia seperti saudaraku? Ataukah ada persaan lain? Aku hanya terdiam seolah tak ada setitik rasa curiga apapun terhadap Ryu.
“buat apa? Pelukan ini selalu membuatku nyaman dan tenang.” Jawabku yang sempat terdiam sejenak.
“bagaimana kalau pelukanku tiba-tiba  tak senyaman ini, bahkan sedingin bongkahan es?”
Ucapannya kontan membuatku bangkit  dan melepaskan pelukannya itu. Jujur aku terkejut. Ku bentuk jemariku layaknya senjata dan kubidikan kekepalanya.
“ku tembak kamu dan kumusnahkan dari muka bumi ini!” ujarku. Ia tersenyum, wajahnya seperti anak kecil – tidak, kami berdua tampak seperti anak kecil.
“haha… memang kamu sanggup bunuh aku, aku gak masuk sehari saja kau langsung bolos sekolah untuk menemuiku.” Sindirnya.
“urusai, ittekimasu (berisik, aku pergi)!” ujarku menghindar. Ia makin terkekeh melihatku marah. Aku pun beranjak dari kamar Ryu. Kenapa aku harus pergi menemui dia bila aku tahu akhirnya selalu membuatku jengkel. Namun bila tak ada diapun aku tak bisa berbuat banyak dan benar-benar kesepian.

Karena Ryu sakit, terpaksa aku patroli sendirian. Untung murid-murid kini lebih bersahabat, hingga dengan tertib mereka kembali setelah para murid night class masuk kegedung sekolah.
Sesungguhnya aku gugup sendirian. Namun aku terus mengakawal deretan yang penuh dengan aura kemewahannya itu. Tak ada satupun yang menanyakan keganjilan ku malam ini. Seolah mereka sudah tahu kalau Ryu sedang sakit – jelas, Aiko sudah bisa melihatnya terlebih dahulu ; ia seperti cenayang.
 Pikiran ku terasa kosong berdenging. Tak ada suara lain kecuali kehampaan yang berteriak. Aku membungkam disetiap langkah, membisikan setiap kata positif yang Ryu berikan. Sosok ku yang kini terasa menjadi seorang yang ketergantungan.

Bodoh, kenapa aku ini. Tak seharusnya aku seperti ini. Ada perasan lain yang membuatku kalut. Bukan rasa takut. Namun, entahlah.

“hey… hey! Yoshira-chan! Yoshira… Chika!” suara itu membuatku tersentak. Seseorang yang berbisik memanggilku dari balik pohon.
“kochi (sini)!” ia melambaikan tangannya kearah ku. Kalap, akupun menghampirinya.
“Takajima-kun! Apa yang kamu lakukan disini!” ia tersenyum, matanya sedikit memerah pucat menahan kantuk.
“aku cuma penasaran aja sama night class. Banyak cerita yang mengatakan bahwa mereka adalah sekumpulan para vampire.” Ujarnya, dengan mata yang sibuk bergelincir kesana kemari. Jujur, tiba-tiba saja jantung ku terasa seperti meledak.
“dari mana kamu dapat cerita bodoh itu.” Tukasku. Aku terus berusaha mengatur suara ku agar tak terdengar kikuk dan gemetar.
“Cerita itu sudah menjadi rahasia umun. Dulu, saat awal pemunculan night class di sekolah ini pasti ada sedikitnya 8 siswa mau pun siswi yang menghilang.” Nada bicaranya berubah serius.
“ itu diduga bahwa mereka di serang oleh vampire dari night class!” lanjutnya yang kini menatapku, menegaskan bahwa cerita ini benar-benar nyata – ya, sesungguhnya memang nyata.
“ mengapa kau  mempesulit dirimu dengan hal bodoh semacam itu! Lagi pula…” belum sempat ku tuntaskan kata-kataku, seseorang dengan cepat melesat datang menghampiriku.
“Chika-chan!! Ehh, siapa manusia ini?” ujar Rino yang menunjuk-nunjuk kearah siswa ini.
“aku? Manusia? Kau juga kan?” tukasnya seolah menyindir.
“tentu saja dia manusia! Cepat kembali ke asrama, dan jangan pernah melanggar peraturan di sekolah ini! Kau bisa saja di keluarkan!” gertak ku. Rino tampak bingung.
“well, well, well, baiklah. Aku akan pergi. Mungkin malam ini aku gagal. Tapi lain kali pasti akan membuktikannya.” Ucapnya yang terasa begitu mengancam buatku. Ia pun pergi meninggalkan gedung sekolah. Aku seperti baru saja mendapatkan sirine tanda bahaya.
“dia manusia yang sangat usil!” ujar Rino yang mengiringi langkahku. Aku terdiam dalam pikiran semu.
“sudah jangan khawatir, Kazuya-sama akan mengatasi semua. Jangan seolah kau yang tersalahkan.” Ujarnya kembali. Tatapanku masih kosong kedepan. Aku pun bingung mengapa aku jadi sangat khawatir.
“Chika-chan warate (tertawalah)!” aku terkejut saat Rino menarik kedua pipiku. Ia mencoba membuat simpulan senyum diwajahku, namun berbalik aneh. Ia tertawa sendiri.
“baka!” ujarku sengit.
Aku sedikit tenang karena Rino menemaniku malam ini. Sosoknya seperti ada yang memerintahkan.

Esok pagi, Ryu tampak begitu ceria menyapa setiap murid. Tatapanku terus melekat kearahnya yang berjalan di koridor, ia seolah memecah koridor menjadi dua kutub.
Ryu sudah melemparkan senyum kepadaku. Walau jarak kami masih teramat jauh. Setibanya dia di hadapanku, tatapan matanya seolah merangkulku untuk beriringan masuk ke kelas. Aku membalas tatapanya dengan hangat dan kami pun terlihat seperti bergandengan walau bukan dengan tangan.
Suasana kelas tak berubah dengan hari biasanya. Masih tetap gaduh sebelum bel masuk sekolah berderu. Namum pandanganku tersudut pada seseorang yang menatapku penuh. Padahal sebelum aku masuk, sepintas kulihat ia masih sibuk berbincang-bincang.
“Chika!” panggilnya. Ryu menatap heran pada siswa yang memanggilku itu.
“ehh, ini anak baru itu?” tanya Ryu.
“hai, Takajima Kiya desu. Yoroshiku J”
“hai, Ryu desu! Yoroshiku.”
“Chika! Cotto, ikou(ikut sebentar)!” ia menarik tanganku hingga keluar kelas. Ryu hanya terdiam sejenak dan melanjutkan langkahnya menuju kursi.
Aku sedikit terbelalak saat ia menarikku.senyumannya seolah menusukku.
“na-nande?”tanyaku gugup.
“kau mau ikut party ku malam nanti?”
“party?”tanyaku bingung.
“ iya, dalam rangka merayakan ulang tahunku. Demo(tapi), aku ada sedikit permintaan.”
Bola matanya terus menelusuk wajahku dalam-dalam. Aku terus bertanya-tanya  dengan sosok  dirinya.
“nani(apa)?” aku sedikit menegaskan nada bicaraku
“lihat mereka!” ia menujuk kearah siswi-siswi  yang seolah mengintip pembicaraan kami.
“mereka menginginkan aku mengundang para murid night class.” Lanjutnya.
“muri(mustahil [tidak akan bisa])!”
“ehh, Doushitte Chika-chan? Mengapa sekolah ini terlalu membedakan status itu!” simpulnya yang tampak kecewa.
“bukan seperti itu. Anou, mereka gak mungkin…”
“kenapa gak mungkin, mereka juga sama saja kan seperti kami. MANUSIA. Apa sekolah ini terlalu membedakan status manusia.”
“Chigau yo(bukan begitu)!” aku hampir menyerah dengan ucapannya. Matanya tampak melirik kearah para siswi yang menunggunya. Wajahnya menyimpulkan isyarat kalau ia gagal. Siswi-siswi pun mengeluh kecewa. Aku jadi kikuk dibuatnya.
“apa kau tak perduli pada mereka?”desaknya.

Jusrtu karena aku perduli, aku tak ingin terjadi apa-apa pada mereka.

“apa memang benar mereka itu para vampire?” selidiknya yang mebuatku mati kata.
“baiklah, aku akan coba bicara pada Ryouta-san.” Tukasku. Serempak semua siswi menghampiriku. Mereka berteriak mengucapkan terimakasih serta memelukku.
Kiya ikut tersenyum. Senyuman yang begitu tulus dan tenang. Itu yang semakin membuatku bimbang dan mengacaukan pikiranku.

Usai pulang sekolah aku bergegas menemui paman. Seluruh tubuhku gemetar tak jelas. Keringatku bercucuran dari kening. Mengapa aku jadi gugup begini.
Aku membuka pintu ruang kerja paman. Aku seperti tak bisa merasakan detak jantungku sendiri saat mendapati paman tak sendiri diruangannya. Ia sedang bersama kazuya.

“Doushitte, Chika?” tanya paman yang tak biasa dengan kehadiranku tiba-tiba – aku kekantornya hanya bila ada rapat atau ia yang memanggilku.
“anou, ojiichan.” Aku benar-benar gugup. Aku tak bisa merangkai kata-kata untuk berbicara padanya.
“bicaralah ada apa?” desak kazuya yang ikut penasaran. Namun rasa penasaran itu tak tergambar sedikitpun di wajahnya.
“aku ingin mengundang, a- maksudnya bukan aku. Temanku, dia ulang tahun. Dan ingin mengundang murid night class untuk datang.” Aku menarik napas lega seusai mengucapkan kata-kata itu. Sisanya, tinggal gugup menunggu jawaban.
“iya, kami akan datang.” Ujar kazuya. Beban dipundahkku terasa lepas begitu saja. Aku siap membawakan kabar gembira untuk mereka.


“daijoubu desu ka (apakah ini akan baik-baik saja)?” tanya Ryouta kepada Kazuya.
“un, daijoubu (ya, ini akan baik-baik saja). Biarkan ia terus mencari jati dirinya.” Ujar Kazuya dengan tegas.

7 PM. Aku masih memandangi wajahku pada cermin. Tak ada sedikit pergerakkan pun yang ku perbuat. Hingga aku disentakkan oleh bunyi ketukan pintu.

“Chika, ini aku Ayumi. Apa kau sudah siap?” ujarnya di balik pintu.
“ahh, iya. Duluan saja, aku akan menyusul.”
“oh, ok! Aku tunggu disana ya.”
Aku mendengar langkah kakinya yang menjauhi kamarku. Lagi-lagi aku terjebak pada sebuah kebimbangan. Aku tak ingin pergi. Aku tak ingin suasana itu.

“kalau tak ingin pergi, ya tak usah pergi.” Ujar yujin yang sibuk memutar-mutar gaunku yang kuletakkan ditempat tidur – entah sejak kapan ia berada dikamarku.
“yujin!!” aku melirik sengit.
“gomen neechan, tapi aku hanya menyarankan. Dari pada kau memusingkan dirimu sendiri.” Ujarnya. Ia masih sibuk memutar-mutar gaunku.
“neechan gaun ini sudah sangat tidak bagus dipakai, ternyata ada gunanya juga Rino-sempai membarikan ini padaku – walau awalnya sengit terhadapku.” Ia memberikan sekotak bungkusan kado berwarna ungu tua yang langsung ia bukakan tutupnya. Gaun mewah berwarna putih dengan bordiran emas disisi-sisinya. Sangat cantik dan indah.
“kalau kau ingin pergi, pakai ini saja.” Ia buru-buru menyingkirkan gaun lama ku.
“ kami semua menunggumu.” Sekejap ia pergi dari kamar ku. Susana kembali hening. Kehadiran dan kepergian anak itu sangat tiba-tiba. Hingga aku tak sempat mengucapkan kata tolakkan maupun terima kasih.

Kuraih gaun manis itu. Kusandangkan pada tubuhku. Indah sangat indah. Entah mengapa gaun itu membuatku jadi yakin untuk datang ke pesta yang sama sekali tak ingin ku hadiri.

Selangkah demi selangkah ku tauti mengimbangi gaun ini. Malam begitu indah dengan lampu yang menghiasi sekitar jalan menuju kebun seolah. Beberapa lampu di kaitkan pada ranting-ranting pohon. Malam ini akan menjadi malam yang panjang.

“Chika-nee!” teriak Shima yang membuat semua mata serempak mengarah padaku. Shima berlari kecil menghampiriku. Ia begitu tampak gagah dan tampan dengan balutan jasnya. Ia meraih dan menggenggam tanganku erat.
Mereka semua hadir pada pesta ini ; para murid night class.

“Chika!” Kiya ikut menghapiriku. Wajahnya sedikit tercengang menatapku.
“maaf, aku tak sempat membelikan mu kado.”
“nani, Chika! Aku gak butuh kado dari kamu apa-apa dari kamu. Hadirnya kamu sudah membuatku senang.” Ujarnya bergitu ceria diakhiri dengan mengecup pipi ku. Kontan seluruh tubuhku terasa kaku.
“so sweet.” Seketika semua siswi mengatakan hal itu. Wajahku memadam, jantungku tambah tak beraturan. Namun ternyata sepasang mata telah memandangku lekat.

“hey boy! Kau tidak bisa sembarangan melakukan hal itu pada Chika kami, she’s not easy!” cibir Rino yang menghampiri dan menarikku.

Tak banyak kata yang bisa ku lontarkan. Aku hanya terdiam gugup dalam gemerlap pesta ini. Menatap sunyi pada barisan rapih yang berdansa. Night class dan day class membaur begitu saja. Apakah ini akan baik-baik saja? Pertanyaan itu kembali berkelut. Namun bila dilihat ini hanya seperti sebuah pesta dengan para manusia yang merayakan didalamnya. Benar-benar normal.
Kulirik singkat sosok Kazuya yang duduk tak jauh dari kursiku. Matanya nampak menerawang kedepan. Atau hanya sekedar memantau? Matanya beralih melihatku. Aku hanya tertunduk malu karena terus menatapnya lekat. Ia menyimpulkan senyum hangat favorit ku. Dan selalu membuat ritme jantungku tak beraturan.
Entah sejak kapan aku jadi tergoda oleh sosok ketampanannya.

“Chika, maukah  berdansa denganku?” seseorang meyodorkan tangannya padaku. Aku yang sedari tadi menunduk, mendongakkan kepala.
“Takajima-kun!” ujarku – jujur sedikit terkejut.
Ia tersenyum menegaskan ajakannya.
“aku gak bisa dansa.” Tolakku.
“dan aku bukan yang terbaik. Daijoubu, Chika! Ikou!” ia kembali tersenyum dan meraih tanganku. Perlahan ia merangkul pinggangku. Kami pun berdansa mengikuti alunan music yang begitu lembut. Tanpa kusadar semuanya malah menatap kami berdua. Iya, hanya kami berdua yang berdansa di tempat ini.

Pandanganku terus kearah padanya. Aku tak berani melihat sekelilingku. Malam ini seolah hanya milik kita berdua.

“tanjoubi omedetou.” Ucapku perlahan.
“arigatou.” ia berbisik dan memelukku. Sekujur tubuhku membeku dipelukan hangatnya. Perlahan tanganku ikut membalas pelukannya.

“ikou,” ajar Kazuya terhadap beberapa murid night class yang ada di dekatnya. Mereka pergi meninggalkan pesta itu. Wajah Kazuya tampak masam namun menggantung. Ia sedikit tersenyum untuk dirinya sendiri.

“daijoubu?” tanya Mizukawa Rei hati-hati. Ia sudah bisa membaca apa yang dirasakan Kazuya.
“Kazeni-san, onegai!” ujar Kazuya. Sorot matanya seketika tajam. Dan warna matanya berubah menjadi merah garang.
“hai, wakateru (saya mengerti) Kazuya-sama.” Seseorang bernama Kazeni Hayato menghilang dengan putaran kecil angin disekelilingnya.

Mataku bergelincir kesana kemari. Mencari sosok yang menghilang dengan sekejap. Dimana Kazuya?

“Chika-chan, kamu sangat cantik malam ini.” Ujar Rino yang menghampiriku.
“arigatou, dan gaun ini juga. Terima kasih. Sangat indah.” Akhirnya aku bisa mengucapkan itu.
“ehh? Gaun? Kenapa kau berterima kasih padaku. Itu dari Kazuya-sama. Memang anak itu tidak bilang!” sengit Rino ketus.
Kejutan kecil yang membuat hatiku semakin tak karuan memikirkannya. Mengapa Yujin berbohong? Apa ia tahu aku pasti akan menolaknya bila ia yang memberikan?

“Chika-chan!” Rino menusuk-nusuk pipikku dengan telunjuknya.
“maukah kau berdansa denganku?” tawarnya. Aku belum sempat menjawab saat ia terlebih dahulu menarik tanganku. Aku kembali dibawa pada tempat yang membuatku gugup. Dan jelas semua mata kembali memandangiku.

Tubuh Rino lebih tinggi dari Takajima Kiya. Aku sedikit mendonggak untuk menatap wajahnya. Ia terlihat gagah bila ditatap dari dekat. Malam ini aku benar-benar membuat cemburu setiap gadis.
Aku tak bermaksud seperti itu. Namun mereka tak terliahat menatap ku dengki. Melainkan tersenyum.

Tak hanya aku, Ryu pun ternyata tak kalah banyak yang mengajaknya berdansa. Sampai tak ada kesempatan untuknya istirahat. Aku tertawa kecil melihatnya. Dan aku baru saja melihatnya bisa duduk.
Aku menghampiri Ryu perlahan. Buliran keringat cukup nampak pada wajahnya. Ia memejamkan mata kelelahan.

“maukah kau berdansa denganku?” sindirku.
“tidak, aku letih.” Wajahnya tampak menyerah. Aku membawakan segelas minuman untuknya. Ia hanya tertawa merasa malu.

“gimana? Enak jadi pangeran semalam?” tanyaku kembali seraya duduk di sampingnya.
“bagaimana rasanya menjadi putri semalam?” ia balik bertanya padaku. Aku malah terdiam. Ryu tersenyum dan mencubit pipiku.
“coba dari kamu begini. Pasti cantiknya gak akan luntur setiap hari.” Lanjutnya.
“nani!” sergahku yang kembali terdiam. Aku menegguk segelas air. Mataku memandangi indahnya malam ini. Pesta yang belum pernah ku rasakan sebelumnya. Perlahan perhatianku tersita pada Rino. Ia terlihat berjalan memindik kearah belakang gedung sekolah. Aku terus melihat lekat dan tak sengaja mengikutinya dari kejauhan. Ryu tak sadar akan kepergianku. Aku benar-benar penasaran.


“Kazuya-sama. Aku tidak bisa memantaunya jauh. Aku tak yakin benar sosok apa dia sebenarnya.” Ujar Kazeni yang melaporkan hasil pantauannya.
Kazuya hanya mengerutkan alis.
“apa dia bukan manusia?” selidik Ken dengan hati-hati.
“akan terjadi malasah besar disini.” Tamabah Aiko, matanya terihat terus menerawang kejadian kedepannya.
“apa maksudmu, Aiko?” tanya Ken yang semakin penasaran.
“entahlah, aku tak bisa melihatnya dengan jelas. Seperti ada yang menghalangi penglihatanku.” Lanjut Aiko menegaskan.
Kazuya semakin membisu dalam kekalutanya. Namun ada kekecewaan lain menggurat-gurat dibatinnya. Ia tak bisa melakukan apa-apa.


Aku terus membuntuti Rino sampai kebelakang gedung sekolah. Mataku samar melihat karena gelap. Sosoknya hampir hilang dari pandangan ku. Aku dikejutkan oleh suara jeritan wanita membekik yang membuatku kalut.
Aku berlari menghampiri sumber suara itu.
“ASTAGA! Rino-sempai!” bentakku yang menemukan sosok Rino yang memeluk seorang gadis yang terkapar kehabisan darah. Matanya menyala melirikku. Tanpa rasa takut sedikitpun aku mendorong tubuhnya. Aku mencoba menyelamatkan gadis yang sudah sekarat itu. Namun gagal.
Ajal sudah menjemput gadis malang itu.

“apa yang kau lakukan!” bentakku dengan nada yang semakin melonjak. Ia masih tersungkur. Matanya kembali redup menatapku.
“iie, Chika! Chigau!” ia berkata gugup.
“urusai! Aku benci kamu! Aku benci kalian!” teriakku yang terdengar membekik. Aku tak henti memukul-mukul tubuh Rino. Padahal bisa sedikit saja ia melawan aku yang akan terpental.

“neechan!” Yujin menarikku.
Semua vampire datang ketempat ini. Aku menangis miris penuh emosi. Kazeni dan Ken membawa pergi Rino dari hadapanku.
Aku menarik tubuhku jauh-jauh dari mereka. Rasa benciku benar-benar meluap. Aku benar-benar salah dengan ini semua.
Mereka telah berkhianat!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar