Rabu, 03 Oktober 2012

Fanfiction "Anticipation"

Title : Anticipation
Author : Yuki Akanishi
Type : drabble
Rating : G
Theme Song : Angela Aki – Tegami
Cast : Chinen Yuri & Manami Oku
POV : Chinen Yuri
disclamer : semua cast milik tuhan dan agensinya masing-masing. cerita ini jelas punya saya >
note : aku masih tahap belajar jadi maaf bila masih banyak kesalahan. *bow


      
   Anticipation

               Derai air hujan sudah membasahi hampir seluruh wilayah di kota Shibuya. Payung-payung nampak seperti bunga yang bermekaran dibawah rintikan hujan. Siapa yang mengira terik matahari yang begitu menyegat di siang ini, berubah seketika menjadi kelabu disorenya. Dan orang seperti aku mustahil mengantisipasi akan hal itu. Alhasil sekujur tubuhku sudah lepek oleh air hujan.
                Aku berlari pada sebuah kedai teh yang terlihat timpang dengan toko-toko lain disekitarnya. Kedai kecil ini terlihat jarang disaba oleh pengunjung. Orang yang datang dapat dihitung dengan jari. Itu alasan utama yang menguatkan ku datang ketempat ini. Karna pasti harganya tak menyiksa dompetku yang hanya tersisa dengan selembar uang terbujur lusuh dan lembap.
                Ku gibas baju ku dan ku tarik kursi seraya melempar jengkel  map yang sedari tadi ku genggam ke atas meja. Map itu berisi tugas yang baru saja selesai kukerjakan—semua  rusak karena air hujan. Tugas yang sesungguhnya sudah telat untuk ku kumpulkan. Namun dosen menyuruhku mengumpulkannya untuk memperbaiki nilaiku.Jelas menjengkelkan !
                Entah mengapa aku begitu enggan membawa tas atau barang lain yang aman untuk menyimpan tugasku, yang sudah menyita hari minggu ku ini. Aku selalu berpikiran akan baik-baik saja tanpa ku tahu apa yang Dia-direncanakan kedepannya. Aku selalu percaya dan yakin pada diriku sendiri. Namun selalu terjelembab pada kebodohanku.
                Aku menghela napas seraya menggeram kesal,  sekejap aroma lain menelusup ke rongga hidungku. Aroma teh yang begitu harum dan menangkan pikiran kalutku.
                “douzo!!” ujar sang pelayan mengatarkan secangkir teh hangat ke mejaku.
                “arigatou.” untuk sepersekian detik aku tercengang memandang pelayan ini yang terseyum padaku. Seorang gadis kecil dengan rambut ikalnya dikuncir dua—begitu cantik seperti boneka. Mata bulatnya berbinar memandangku. Aku jadi  gugup. Namun tatapannya seolah sedang membaca apa yang ada di otakku.
                Aku sedikit heran saat ia menarik kursi dan ikut duduk disampingku. Ia mengambil sapu tangan dari sakunya, dan membersihkan sisa-sisa air disekitar rambut dan wajahku. Aku hanya terdiam sambil tak lepas memandang wajah gadis kecil ini. Tiada kata-kata yang terlontar diantara kami. Hanya suara air hujan yang menimpa atap-atap kedai ini nyeta membenging ditelingaku.

**
                “namaku Manami Oku, usia usiaku 10th. Boleh aku tahu nama Nīchan(kakak:untuk laki-laki)?” ujarnya yang tiba-tiba memperkanalkn diri,
                “aku Chinen Yuri, usiaku 20th, salam kenal.” Kulukis senyum terbaikku padanya.
                 Perlahan ia menarik map ku yang tergeletak membangkai dimeja. Jemarinya membuka lembar perlembar kertas yang sepenuhnya luntur oleh tinta.
“sayang sekali, Nīchan!” gumannya dengan rona wajah yang berubah sedih—namun tetap tampak cantik.
“ya beginilah.” ujarku yang terdengar begitu pasrah.
“kapan ini kumpulkan?”
“besok!” Ia langsung menggeleng sambil menatap iba pada tiap lembaran kertas itu.
“siapa yang bisa menduga?”sergahku
“tapi setidaknya kalau nīchan bawa tas dan masukan payung dalam tas itu takkan terjadi hal ini.” Tukasnya seolah menceramahiku. Sejujurnya aku tak suka ada orang yang mengatakan hal itu padaku. Namun ucapan gadis kecil ini ada benarnya juga. Aku ceroboh!
**
                Aku menegguk perlahan teh yang masih bisa kulihat asapnya memutari cangkir. Hangatnya teh ini langsung masuk kelambung yang hampir kaku kedinginan. Rasa teh ini tak begitu buruk bahkan sangat nikmat. Aku jadi heran mengapa tempat ini sepi dari pengunjung.
                Hujan diluar sana masih saja menderu, seolah tak ada tanda sediktpun untuk mereda. Kulirik kembali gadis kecil itu yang masih sibuk meraba tiap lembaran kertas yang sudah tak terselamatkan lagi. Pipinya merah merona namun bibirnya nampak pucat. Pandanganku jadi tersita olehnya.
                “niichan beruntung ya.” keluhnya tiba-tiba.
                “beruntung ? apanya?”
                “masih bisa diberi kesempatan untuk melakukan hal yang terbaik.” Gumannya. Jujur aku tak mengerti sama sama sekali apa yang ia lontarkan. Matanya beralih melihatku. Ia gariskan seyum diwajah manisnya.
“belajar mempersiapkan segalanya, Karna tak ada yang tahu kapan hidup kita akan berakhir.” Kata-katanya membuat bulu kudukku meremang. Aku masih membungkam. Gadis kecil itu menggeser kursinya dan pergi dari mejaku.
                Diluar langit semakin gelap. Dan akhirnya suara hujanpun semakin mengecil, aku bersiap-siap merapihkan diri untuk beranjak dari kedai ini. Sekilas gadis kecil itu kembali menghampiriku. Menggenggam sebuah payung yang sudah kusimpulkan akan ia pinjami untukku. Dengan seyuman hangatnya ia menyodorkan payung itu.
                “douzo,” ujarnya
                “doumo, arigatou(terimakasih banyak). tapi bagaimana aku mengembalikannya? Aku jarang lewat sini.” Ujarku sambil memutar-mutar payung berwarna putih bermotif bunga-bunga. Aku kembali melihatnya menyodorkan sesuatu padaku. Sebuah amplop berwarna merah muda.
                “kalau ingin mengembalikannya, buka saja amplop ini. Nīchan akan tahu kemana harus mengembalikan payung ini.” Tanpa banyak bertanya aku menerima amplop itu. Dan ia melepas kepergian ku sampai depan pintu kedainya. Aku merasakan matanya yang terus memandngiku.
                 Suara rintikan hujan terasa mengalun dipayung kecil ini. Diotakku masih terniang setiap kata yang dia ucapkan. Apa maksud dan intinya? mustahil aku bertanya langsung padanya tadi. Jelas aku akan terlihat bodoh didepan anak kecil itu.
                 Langkah kakiku semakin melambat menuju rumah. Terasa ribuan beban bersandar dipunngungku. aku tak henti menduga-duga apa yang akan terjadi setelah ini. Dan aku jadi seolah terobsesi dengan kata-kata gadis itu. Mengantisipasi? Anak sekecil itu memiliki pemikiran tetang hal mengantisipasi? Aneh bukan! Apa mungkin hal itu sudah mendasar dari keluarganya? Aku terkekeh sendiri mengingat gadis kecil yang cantik itu.

**

  “Yuri… Doko ikitai?(mau pergi kemana?)” teriak Kāchan(ibu) dari dalam rumah.
  “keluar sebentar.” jawabku yang masih sibuk mengikat tali sepatu.
  “jangan lupa bawa payung!! Langit sudah terlihat mendung.” ujarnya yang sudah berada disampingku.
  “mendung bukan  berarti hujan!” ujarku meledek dengan senyum. Kāchan mencubit kedua pipiku layaknya balita yang menggemaskan. Ia tertawa saat aku mengeluh kesakitan. Aku menghampiri tempat penyimpanan payung yang berbentuk silinder disudut ruangan. Dan… kutemukan sebuah payung yang membuatku teringat akan sesuatu.
  “attt! Baka!!(ahhh bodoh!)” gumanku yang berlari masuk kembali kedalam kamar.
  “doushitte? (ada apa?) yuri!!” teriak kāchan yang terlihat bingung melihatku.
Aku tak menggubrisnya, mataku terus sibuk meraba setiap sisi kamarku. Hingga ku temukan subuah amplop berwarna merah muda yang sudah sedikit lusuh. Dengan berlari kecil aku keluar. Ku sambar payung itu dan bergegas pergi.
  “ kāchan, ittekimasu (aku pergi) !!”
  “hai, itterasai(iya,hati-hati)!!”

   Aku tak henti berlari di sepanjang jalan. Rasa bersalah terus menggumpal didadaku. Ini sudah lewat dari seminggu, dan aku lupa mengembalikan payung ini pada gadis itu. Napasku terenggah sampai didepan kedai itu. Hal lain yang paling membuatku kecewa, kedai ini tutup.
   “sumimasen…(permisi)” usahaku mengetuk pintu, berharap ada seseorang yang membukakannya.
   “hai!” seorang pria separuhbaya keluar dengan sedikit tertatih—beberapa kali ia terbatuk-batuk. “dare(siapa)?”
   “anou, sumimasen ojīchan. Saya mencari Manami Oku, apa dia ada?”
   “Oku-chan…” sekejap pria tua itu terdiam. Matanya berkaca-kaca dan raut wajahnya berubah kosong. Garis-garis kerut di wajahnya begitu nyeta. Aku jadi merasa sungkan dengannya.
   “dia sudah tidak disini!” ujarnya.
   “ehh? Dimana?” tanyaku heran.
   “dia sudah pergi ketempat yang lebih nyaman.” Lanjutnya.
    Aku pergi dengan perasaan yang menggantung. Otakku masih memutar mencerna setiap kata-kata dari pria tua itu. Dimana dia sekarang?  ‘kalau ingin mengembalikannya, buka saja amplop ini. Nīchan akan tahu kemana harus mengembalikan payung ini’ suara itu terasa kembali menbisik ditelingaku. Lekas segera kubuka amplop itu.

   ‘yokatta(syukurlah)… setidaknya aku sempat menulis surat ini sebelum aku pergi … nīchan mungkin aku belum mengenalmu jauh, namun aku hanya ingin menyampaikan betapa pentingnya kita untuk siaga. Itu akan membuat hari-hari akan lebih baik. Jangan sampai menyia-nyiakan hidup ini. Karna kita bukan tuhan yang tahu segalanya. Termasuk usia… aku yakin kau membacanya saat aku sudah berada disurga. Sejujurnya aku sedih. Andai aku tahu akan hal itu, aku akan membahagiakan setiap orang disekitarku  lebih lama. Tapi aku sudah berusaha, menyiapkan segalanya yang terbaik sebelum aku pergi. Ku doakan kamu selalu sehat dan bahagia. Oh ya… nīchan bisa tolong antarkan payung itu kemakamku. Biarkan payung itu terbuka dan meneduhiku… terimakasih… Oku”

    Tanganku gemetar menggenggam surat ini. Kulipat kembali pada lekukan yang sama. Kakiku terus melangkah  menuju pemakaman. Aku tak pernah menduga hal ini bisa terjadi padaku. Ini rasanya lebih dari sebuah tamparan. Dan aku baru menyadari betapa buruknya diriku. Kutatap penuh sebuah makam yang tanahnya masih memerah marun. Semerbak wangi bunga terus menggelitik hidungku.
   “arigatou, Oku-chan” ujarku seraya membukakan payung untuknya.
   “semoga kamu tenang,” hatiku miris, senyumnya terasa membias dimataku. Hujan pun turun membasahi pemakaman. Dan ia masih bisa berlindung dibawah payungnya.
END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar