Selasa, 09 Oktober 2012

FanFiction "Bloody Rose" Eleventh Night : 'Ignorance part 1'




Ignorance part 1

Detik-perdetik ku ikuti pergerakan jarum jam yang terus berputar. Aku terbakar oleh waktu yang semakin menenggelamkanku. Mengapa aku jadi bersikap bodoh seperti ini. Aku sudah terlampau jauh memandang enteng pada sosok makhluk yang seharusnya menjadi musuh manusia.
Andai aku bisa mengulang waktu. Tuhan, aku benar-benar bodoh.


“Chika!” Ryu menghapiriku yang termenung dalam kursi di kelas.
“kau tidak apa-apa?” lanjutnya. Aku membungkam tanpa melihat wajahnya.
“anou, kalau aku pikir …”
“Ryu, kalau kau ingin membahas kejadian malam itu lebih baik kau pergi!” Tegasku terhadapnya. Ucapanku membuat mulutnya terkatup. Wajahnya tampak khawatir memandangku.


“Chika, kita kekantin ya?” tawar Kiya yang menghampiriku dengan hati-hati.  Tanpa banyak kata aku terima tawarannya. Kami beriringan pergi kekantin. Ryu hanya memandangiku tanpa berbuat banyak. Sekilas kulihat ia pun kembali ketempat duduknya.

“kamu mau makan apa?” tawar Kiya kembali. Aku tetap membungkam. Jujur aku tak berselera makan sedikitpun.
“ahh baiklah, biar aku saja yang pesan kalau kau bingung. Tapi dimakan ya.” Aku merasa Kiya tak henti memberikan perhatian padaku. Ada apa sesungguhnya dengan anak ini?

Bila kupikir, aku jadi merasa buruk dengan sikapku terhadap Ryu. Tak seharusnya ia ikut aku bentak. Namun aku jenuh karena ia tak henti membela para vampire itu. Apa yang bisa di banggakan oleh mereka? Selain sosoknya yang hanya haus akan darah manusia.

“aku dengar anak kelas 1-b menghilang dimalam pestaku?”  Kiya membuka obrolan yang membuatku jenuh.
“ya, sepertinya.” Jawabku, tak begitu menanggapinya serius.
“apa ada hubungannya dengan night class.”
“kau bisa membahas hal ini dengan orang lain, aku tak tertarik!” tukasku.
“baiklah, aku janji takkan membahas hal ini. Namun ada satu hal yang ingin ku tanya kan?”
“nani?”
“apa kau membenci sosok vampire?”
“sangat!” jawabku singkat.
“Ore mo(aku juga)!” sambungnya. Dengan seyum khas yang ia miliki. Aku tak mananggapi senyumannya itu. Pandanganku tersita pada Ryu yang mamatung menatapku.
Wajahnya membeku seolah ketakutan. Dan ia pun pergi begitu saja.

“Ryu!!” teriakku. Namun ia tak menggubris. Malah semakin jauh menghindariku.
“doushitte?” tanya Kiya yang ikut heran. Aku hanya tertunduk bingung tanpa berkata sedikitpun.



“aku serius, bukan aku yang melakukan hal itu!” sergah Rino saat Kazuya menyidangnya.
“aku sudah nememukan gadis itu dalam keadaan kehabisan darah.” Lanjutnya.
“apa Chika bisa percaya dengan ucapanmu itu?” tukas Kazuya.
“entahlah, tapi anak itu. Aku yakin anak itu!”
“urusai!” bentak Kazuya. Terlihat dirinya yang semakin kalut. Ia menyandarkan tubuhnya pada pada punggung kursi. Semua membisu memandang Kazuya.

“kau menjadi sangat lemah Kazuya-sama.” Aiko membuka mulutnya.
“kau terlalu memikirkan gadis itu, hingga kepekaan bahkan kekuatanmu perlahan memudar. Sampai kapan kau mengulur waktunya. Atau sampai kau tak memiliki daya lagi. Dan nasib kami yang tinggal menunggu kemusnahan?” lanjutnya.

Terihat amarah Kazuya yang melonjak. Ia menghempaskan tubuh Aiko dengan lirikan bengis matanya. Aiko pun tersungkur tak berdaya terbentur keras ke dinding. Ken menghampiri Aiko dan membawanya. Ruangan kembali sunyi tanpa hembusan napas sedikitpun.



“Chika-chan matte yo!” Rino tak henti mengejarku. Tak perduli terik siang yang menyengat. Entah apa yang ingin ia bicarakan padaku. Sejengkal pun aku tak ingin melihatnya.

“Chika.” Kiya merangkul pinggangku. Ia melihatku susah payah menghindari Rino yang begitu cepat mengejarku. Kiya melirik dengan pandangan tak enak kearah Rino. Rino tampak menyerah karena aku pun lebih memilih Kiya.

“daijoubu!” ujar kiya yang berusaha menyemangatiku. Ia membelai lembut rambutku beberapa kali. Teman-teman disekolah banyak yang menyimpulkan bahwa kami berpacaran. Aku tak perduli dengan hal itu.

“aku tak ingin melihat mereka!” ujarku lirih. Namun mustahil terjadi. Ruang ringkup ku sudah seperti dalam genggaman mereka.

“ya udah, malam ini aku ikut kamu patroli gimana?” tawar Kiya.
Sesunggunya ini tak akan baik. Namun sepertinya ia berniat baik melindungiku. Saat ini hanya sosoknya paling membuatku aman.


Ryu masih membisu diantara kami. Malam ini Kiya benar-benar ikut menemaniku patroli. Ia tak henti menggenggam tanganku. Ryu pun memilih berpisah dengan kami. Tanpa berbicara padaku. Mau pun menatapku sejenak.

“malam yang dingin.” Ujar Kiya. Aku merasa ia jenuh dengan kebisuanku. Namun lagi-lagi aku tak menggubris. Ia menggigit bibir karena bingung dan kehabisan kata untuk bisa membuatku membuka mulut.

“Chika, ikut aku sebantar.” Aku dikejutkan dengan kehadiran Rino yang tiba-tiba menarikku. Ia begitu cepat sampai aku terasa terbang dibawanya

“matte yo! Nande!” aku merampas kembali tanganku. Aku hampir tersungkur karena saking cepatnya ia menarikku. Dengan cepat ia pun memeluk tubuhku agar tak terjatuh. Dia benar-benar cepat.
Aku mendorong tubuhnya. Ia masih terlihat sangat bersalah menatapku.
“berhenti membuntutiku!” bentakku sengit.
“demo, Chika! Ada hal yang ingin kusampaikan.”
“perlukah? ribuan kali kau menyakalpun tetap saja. Kau seorang vampire! Benarkan?” ketus ku.
Tak lama Kiya datang dengan terengah – mungkin ia lari mengejarku.
“Chika, jangan ganggu Chika!” ujar Kiya dengan napas yang tak beraturan.
“kau yang seharusnya tak mengganggu Chika! Makhluk laknat!” ujar Rino menggeram. Bola matanya berubah merah menatap Kiya.
“lalu kau apa? Monster!” seru Kiya yang ikut menatap sinis.
“jangan kau berpaling dari dirimu sendiri!” perang mulut kecil terjadi diantara mereka.
“urusai!” teriakku kalap. Aku mengangkat senjataku kearah mereka.
“nani Chika? Apa kau berniat membunuh kami?” Ujar Rino – ia sedikit panic.
“hanya vampire yang takut senjata itu.” Sindir Kiya kembali.
“kuso! Tunjukan dirimu sesungguhnya!” Rino mendorong Kiya dan mencekiknya.

Aku panik melihat Kiya yang terlempar tak berdaya. Wajahnya memerah seolah kehabisan napas. Tanpa sadar aku menarik pedal peluruku dan tepat melesat menganai bahu Rino. Peluru itu terlihat seperti jaring yang melekat dengan berwana putih keperakkan – aku baru pertama kali melihatnya. Jaring itu terus merambat perlahan ketubuh Rino. Ia terdengar menggeram kesakitan.

Kiya langsung memelukku erat. Sekujur tubuhku gemetar melihat Rino. Terlihat darah yang sudah hampir membasahi seluruh bajunya.

Aku masih terpaku, dan tercengang dalam pelukan Kiya. Apa sudah ku lakukan?

“daijoubu Chika. Kau aman bersamaku.” Ujar Kiya yang begitu nyeta dileingaku.
“Tetaplah bersamaku selamanya. Aku akan membuatmu abadi disisiku…  Chika, daisuki!” Bisikan Kiya itu, perlahan membuyarkan pikiranku. Tubuhnya yang hangat berubah menjadi sangat dingin. Aku merasakan sepasang taring menusuk pada nadi di leherku.

“Chika!!”

Aku bisa mendengar suara itu. Rino terus menerus memanggil namaku. Namun semakin jauh dan samar. Penglihatanku semakin menipis dan temaram.

Terdengar suara seperti  pecahan beling yang memekik. Seperti menghancurkan sebuah perisai tebal yang terselubung disekitar kami.

Aku merasakan sepasang taring itu tercabut paksa dari leherku. Tubuh mungil Kiya terhempas semakin jauh dari penglihatanku. Tangan seseorang yang begitu dingin menutupi luka yang terasa sangat panas dileherku ini.
“Ojichan!” bisikku pelan. Ia menggendong tubuhku yang hampir tak berdaya. Aku sedikit merasakan pemulihan kesadaran saat paman yang terus menyentuh lukaku dengan jemarinya. Panas yang terasa seperti melepuh dileherku menghilang perlahan. Aku melihat tubuh Kiya yang di sekap oleh Kazeni. Mulutnya berlumuran darah. Darahku.

Pandanganku berubah dengki terhadapnya. Kesadaranku semakin kembali saat aku mendengar suara Rino semakin menjerit kencang.

“Rino-sempai!” teriakku setelah sadar. Aku turun dari gendongan paman dan sedikit tertatih menghampiri tubuh Rino.
Aku memeluknya, berusaha menyingkirkan jaring-jaring itu dari tubuhnya. Namun jaring itu seperti besi yang melekat dan terus menyayat-nyayat tubuh Rino.

“Kazuya-sempai, tolong dia!” aku menjerit kalap. Air mataku jatuh tak beraturan. Tapi mereka hanya memandang  dengan tatapan tanpa daya; yang semakin membuatku merasa bersalah.

“paman aku mohon.” Aku tak henti meminta harapan. Namun nihil. Kazuya menarikku semakin menjauh dari tubuh Rino. Ia memelukku seakan tak mengijinkan aku melihat kejadian selanjutnya. Aku bisa mendengar suara ledakkan kecil dan tak kudengar lagi suara Rino. Ia musnah. Untuk selamanya.

Napasku terasa sesak, kupingku berdengung. Wajahku panas dan keringat dingin mengucur dari sekujur tubuhku. Aku semakin tak bisa mengontrol diriku sendiri. Mataku terpejam dalam pelukan Kazuya.




“singkirkan ia dari hadapanku segera!” perintah Kazuya dengan suara lantang. Matanya terus menatap penuh pada gadis dalam pelukanya. Chika, dia sudah tak sadarkan diri.
Ia membawa gadis bertubuh mungil itu kekamarnya. Ia baringkan pada tempat tidur yang hampir tak pernah ia gunakan. Jemarinya menyentuh lembut wajah Chika. Kazuya ikut berbaring di sampingnya. Perlahan buliran air mata keluar dari kelopak mata Kazuya. Bibirnya gemetar saat menyentuh pipi gadis yang sudah lama ia cintai.

“gomen.” Bisiknya.




Pagi yang redup, dengan awan gelap yang mengelilingi disekitar gedung sekolah. Hari ini di adakan upacara pemakaman untuk Rino. Aku tahu ini hanya sebuah bualan kecil agar menutupi kemusnahan Rino. Tubuh yang terbujur kaku dalam peti mati. Hati miris, namun jengkel.

Itu bukan Rino. Ingin sekali aku berteriak seperti itu. Hokku telah mengkloning tubuhnya menyerupai mayat Rino. Semua murid berkabung. Kesedihan menyelimuti satu sekolah. Aku masih menyalahkan sosok ku dalam kejadian ini. Aku yang membunuh Rino.

Aku tak bisa menggerakan setiap sendi ditubuhku. Syaraf motorikku terasa mati begitu saja. Aku telah melakukan hal yang tak termaafkan.

Air mata terus mengalir diwajahku. Bukan karena sosok mayat yang ada di hadapanku. Namun rasa bersalahku yang teramat dalam terhadap Rino. Rangkain bunga menghiasi hampir seluruh sekolah ini.

Ingin rasanya menenggelamkan diriku dalam-dalam. Tanpa seorangpun yang menemukanku.

Kiya, aku tak tahu jelas di apakan dia. Memoriku hampir terputus. Aku tahu itu semua pasti karena kazuya yang ingin menghilangkan sedikit ingatanku. Terutama tentang Rino.

Namun ia tak sepenuhnya berhasil. Lukaku yang semakin terkoyak-koyak membuatku tak bisa meninggalkan setiap jelak masa yang mengikis hatiku.

Aku takkan mampu melupakan sosok Rino.

Walau hari ini mereka tampak sedih dan kehilangan, namun hal itu akan berlalu. Sosok seorang vampire yang musnah takkan membekas diotak manusia, ia akan terlupakan dengan mudah.

Aku tak ingin hal itu terjadi.



“jangan lupa untuk meminum obatmu.” Tegas paman seusai memeriksaku. Racun dari kiya hampir menjalar. Namun belum merambat dan memusnahkan jaringan pada organ tubuhku. Masih terselamatkan, itu lebih tepatnya.

“bila tubuh mu terasa panas, minum pill yang ini.” Paman menunjukan sebotol kecil dari beling  yang berisi pill berwarna merah pudar.

“ingat, hanya diminum bila tubuhmu terasa panas.” Tegas paman kembali. Aku hanya menatap sekilas kumpulan obat yang tersedia di meja sebelah tempat tidurku. Paman pun lekas keluar dari kamarku. Otakku bergeming dengan ribuan petanyaan. Untuk apa semua ini?


Pagi ini, aku merasakan suasana kelas yang kembali mengasingi ku. Aku tak begitu tahu jelas dengan topic hangat yang diperbincangkan. Sepasang mata terus melihat sengit dan mencibirku.

“Chika!” Ryu menghampiriku. Ia tetap tersenyum walau aku hampir tak memperdulikannya.
“warate!” ia mencubit pipiku dan menariknya. Aku tak percaya ia melakukan hal itu. Hal yang pernah dilakukan Rino terhadapku. Aku menarik tubuh Ryu dan memeluknya. Tangisanku memecah didadanya.



“iya, pertengkaran itu terjadi karena Chika. Ia benar-benar gadis yang terburuk.” Omongan demi omongan terlontar dari setiap mulut para murid.
Seolah tahu, namun tak ingin menengar. Itu yang ku lakukan saat ini. Aku tak ingin mendengar ocehan mereka yang berlebih tentangku. Aku tak perduli. Aku ingin hal ini cepat berlalu tanpa harus aku merasakannya.

Mengapa Kiya tak mengahabiskan darahku dengan cepat!!
Itu lebih baik dari pada aku harus di liputi rasa bersalah yang teramat dalam.


Paman tak mengijinkanku patroli untuk malam ini. Namun aku tetap berikeras. Bagiku memejamkan mata hanya bisa membuatku semakin terlena oleh mimpi yang menyakitkan.

“Aku bisa kok patroli sendiri, kamu gak usah maksain diri kamu.” Ujar Ryu saat kami berada di loker. Lagi-lagi aku tak menjawab. Entah beban apa yang mengatup bibirku hingga rasanya aku sendiri pun tak sanggup mengangkatnya.

“majisuka(are u sure)?” tanya kembali. Kini ia sudah berada tepat disampingku.
“sebesar apapun usahaku untuk berlari, takkan ada tempat yang aman buatku. Anggap saja menunggu ajal!” ujarku pada Ryu. Ia terilihat menyeringit mendengar kata-kataku.   

Aku lekas kembali pada tugasku. Walau masih terasa pahit namun tak ada yang bisa ku perbuat.

Baru beberapa langkah aku berjalan, aku mendengar suara tubuh Ryu yang tersungkur dibelakang ku.
Aku senoleh memastikan. Kulihat Ryu dilantai dengan wajah yang memucat pasi.
“Ryu!” aku berlari kecil menghampirinya.
“doushitte, Ryu?” tanyaku yang semakin panic.
“daijoubu, Chika! Aku cuma ngerasa pusing sedikit. Bisa tolong ambilkan obat ditasku! Didalam loker?”
“hai!” aku segera mengambilnya. Sedikit mengobrak-abrik tas Ryu untuk mencarinya. Dapat ! sebungkus obat yang terdiri dari beberapa pill didalamnya.
“kore?”
Ia lekas merampas obat itu dari tanganku. Ia tenggak langsung dua butir obar berwarna merah pudar itu. Aku seperti pernah melihat obat itu?
Namun dimana?




“ Ku rasa usahaku nihil. Tak ada ramuan apapun yang bisa memusnahkan racun dari vampire. Mungkin hanya bisa memperlambat prosesnya saja.”
“aku percaya bahwa kau sosok professor yang handal Ryouta-san!” tegas Kazuya.
“wakateru, saya akan berusaha bekerja lebih keras untuk hal ini Kazuya-sama.”
“arigatou, Ryouta-san.”



Rintikkan gerimis menghiasi malam ini. Terasa dingin yang menusuk hingga paru-paruku. Bermodalkan jas almamater dari sekolah untuk melindungi tubuh kecil ku ini. Napas ku terasa berembun setiap kali aku menghembuskannya.
“Chika-nee!!” teriakan melengking itu terasa membekik. Dan sejurus kemudian sudah berada di sampingku.
“Neechan, ini!” Shima memberikan mantel hangat padaku. Tak perlu ku bertanya lagi, atas perintah siapa. Aku akupun sudah tahu jawabannya.
“arigatou.” ujarku sedikit berbisik. Lekas kupakai mantel itu. Senyum Shima masih mengambang menatapku.
“Ryu-kun, doko(di mana)?” tanyanya kemudian.
“entahlah, yang jelas disekolah ini.” Ujarku, dengan nada yang masih terdengar kaku.
“souka ! neechan mau aku temani.”
“kembali kekelasmu!” sergahku sedikit membentak.
“demo, neechan! Aku sudah lama tak merasakan bisa mengobrol berdua dengan kamu.” Bujuknya, yang membuatku sedikit miris. Aku hanya membungkam tanpa mengijinkan maupun menolak yang ia inginkan. Ia tanpak tersenyum riang mengiringi langkahku.
Pertumbuhannya sangat pesat. Ia sedikit lebih tinggi dibandingkan tubuhku. Aku bisa melihatnya saat ia sejajar berdiri denganku.  Namun sayang, ia akan tetap seperti ini selamanya. Tanpa sejengkalpun akan berubah dari sosoknya yang saat ini.
“neechan!”
“emm.”
“kalau nanti kamu ketemu otōsan dan okāsan, samapaikan salamku untuk mereka ya. Bilang, kalau aku rindu sama mereka.” Ujarnya yang terdengar putus asa.
Hatiku bergeming mendengar kata-katanya. Aku menyesali keegoisan ku yang terus meghindari adikku sendiri.
“un, nēchan pasti sampaikan pada mereka. Terutama tentang kau menjadi vampire!” sindirku meledeknya.
“nēchan!” ia mengerucutkan bibirnya. Matanya berkaca-kaca seolah menahan tangis.
“iie, nakanai de (gak, jangan nangis)!” aku tertawa kecil melihat wajah manjanya itu.
“nakenai (aku gak nangis)!” tegasnya membela diri. Ia pun ikut tersenyum dan memelukku. tersentak mata terbelalak dibuatnya. Tubuhnya terasa begitu keras dan dingin seperti bongkahan es. Namun, hatiku terasa begitu hangat. Perlahan jemariku merambat pada punggungnya. Membalas pelukan yang hampir tak pernah lagi kurasakan.   
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar