Selasa, 09 Oktober 2012

FanFiction "Bloody Rose" Twelfth night : 'Ignorance part 2'


Ignorance part 2


“Ia harus segera dikarantina. Seorang vampire baru akan sangat berbahaya bila dibiarkan dalam lingkungan lepas.” Ujar Ryouta sedikit gugup. Matanya tak lepas memandang sosok pria bertubuh kekar, yang duduk pada sebuah kursi yang menghadap jendela.
 Langit nampak cerah diluar sana, namun siklus udara semakin menurun beberapa derajat celcius. Ini sudah memasuki pertengahan musim dingin.
“beri aku waktu untuk memikirkan jalan yang terbaik untuk anak itu.” Tukasnya, dengan nada datar dan menggema.
“hai, wakarimashita… demo…”




Matahari pagi sudah tersenyum hangat menyabut pagi di musim dingin ini. Aku lekas bersiap-siap untuk berangkat kesekolah. Ku raih shall yang menggantung dibelakang pintu kamar. Lalu kulingkarkan rapih pada leherku. Sekilas mataku tersita pada tumpukkan obat di mejaku. Obat yang hanya beberapa kali ku minum – aku merasa tak membutuhnya untuk di minum lagi. Ku rapihkan obat-obat itu dan kumasukkan ke tempat sampah.
Namun, ada satu obat yang membuatku kembali berfikir. Obat apa ini? Sepertinya tak asing?
Ku urungkan niatku untuk membuang obat yang satu ini. Aku ingin mengembalikannya sealigus  bertanya pada paman sebelum masuk kesekolah nanti. Segera ku langkahkan kakiku menuju ruang kerja paman.




“… demo…”

Aku berdiri tepat didepan ruang kerja paman. Aku ingin mengetuk pintunya. Namun, sepertinya ia tak sendiri.


“…demo, tubuh Ryu sudah tak sanggup lagi. Dalam hitungan hari ia akan berubah menjadi sosok vampire yang sangat haus akan darah!”



Aku menibukan suara dari botol obat yang jatuh dari genggemanku. Percakapan kecil itu sekejap berhenti. Dan bisa kurasakan mereka yang memandang kearah pintu.

“ Chika?” ujar Kazuya, pelan. Aku berusaha menghindar dari lari dari tempat itu. Tanpa ku sadar aku berlari sampai ke ruang kelas. Semua murid hanya melirik aneh padaku. Tak bertanya maupun menghiraukankan ku.



“ku serahkan padamu, Ryouta-san!”
“hai.”



“ohayou, Chika!” sapa Ryu semangat – sama seperti biasanya. Mataku lekat menyelidik menatapnya.
“do-doushitte?” ujarnya yang berputar-putar melihat tubuhnya.
“Ryu!” panggilku.
“emm?” ia semakin mendakatiku yang duduk dikursi. Namun suara bel menggantungkan rasa penasaranku.
“nande?” tanyanya kembali
“iie, nandemo nai (gak, gak ada apa-apa).” Jawabku, mengurungkan niat dalam kebimbangan yang kini bergejolak di otakku.

Mataku terus melekat memperhatikan Ryu, dan untuk kesekian kalinya aku pun di tegur oleh guru.

malam ini temui aku di belakang gedung sekolah!!  -Chika-.”  Ku tulis memo kecil untuk Ryu. Ia langsung membaca dan mengangguk menyetujui. Wajahnya terlihat ikut penasaran.

Tepat pukul 8 malam aku menemuinya dibelakang gedung sekolah. Ia terlihat sudah menungguku, sambil bersandar di pohon. Seyumnya teruntai riang memandangku.
“doushitte?” tanyanya langsung tanpa ragu.
“emm,” aku menggit bibirku, karena aku yang justru merasa ragu untuk bertanya padanya. Hatiku kalut, apa yang sebenarnya ingin ku tanyakan? Keraguan itu semakin menyeruak di hatiku.
“Ryu, kamu akhir-akhir ini sering kurang enak badan, ada yang salah dari pola kesehatan kamu sehari-hari?” tanyaku perlahan. Aku terlihat seperti berbelit-belit pertanyaan itu.
“ya, mungkin. Aku memang sering telat makan.” Jawabnya. Yang sama sekali tak memuaskanku. Dadaku seperti teriris-iris melihat wajahnya. Ia tak henti tersenyum padaku.
“Ryu.” aku tak tahan melepaskan air mataku yang cukup lama terbendung. Aku memeluk erat tubuhnya, berusaha memalingkan wajahku dari pandangannya.
“nani?” suara Ryu terdengar sedikit gemetar di telingaku. Ia membalas pelukanku dengan hangat.
“daijoubu, aku gak apa-apa kok.” Bisiknya. Jujur aku semakin tak bisa menghindari perasaan sedihku ini. Namun tak mungkin pula aku langsung menanyakan tentang hal itu padanya. Aku benar-benar kalut.
Lebih baik, aku tak mendengar kebenaran akan hal itu.
Angin berhembus begitu kencang di malam yang dinginnya semakin membuatku mengigil. Aku masih bertahan dalam pelukan Ryu. Air mataku terasa kering di pipi. Aku memejamkan mata karena pandanganku yang memudar sehabis menangis. Pada detik ini, aku masih bisa merasakan hangatnya tubuh Ryu, detak jantung dan hembusan napasnya. Namun, entah sampai kapan ini bertahan.

“Daisuki, Ryu.”

“Ore mo, Daisuki.” Jawabnya lembut. Ia semakin mengeratkan pelukannya itu. Namun, tak ada hitungan detik, tubuhku di hempas jauh olehnya. Aku melihatnya yang menggeram dan berteriak kesakitan. Kedua tangannya mencengcram erat lahernya.

“Pergi Chika, lari!” teriaknya.
Aku tercengang, wajahnya memerah dan sorot matanya berubah perlahan. Ia berguling-guling di tanah. Air mataku kembali memecah melihatnya.
“Ryu?” aku bergerak perlahan menghampirinya. Ia manatapku tajam, namun seolah tak mengijinkanku untuk mendekat. Tiba-tiba sebuah tangan menyentuhku. Memudarkan penglihatanku. Aku pun  tersungkur lemas. Entah apa itu. Membuatku tak sadarkan diri.

Aku  membuka kedua mataku, dan menemukan sosok ku yang sudah berada di kamar.
doushitte?”  hanya kata-kata itu yang bergeming di otakku.
Semua kenyataan seolah menjauhiku, atau senggaja di sembunyikan? Apa karena ia adalah Ryu, hingga aku tak boleh mngetahuinya? Jujur, ini jauh lebih menyakitkan buatku. Mengetahui fakta yang telah disembunyikan. Bukankah sama saja dengan membodohiku!

“tuhan, mengapa ini bertubi-tubi menimpaku, aku tak ingin kehilangan Ryu  juga !!”
Aku memeluk erat lututku. Tangisku memecah kesuyian malam ini. Detak jam terus bergulir, seirama dengan jantungku. Setiap waktu yang berlalu, mengiris-iris, membuat luka yang begitu perih di hatiku.

“daijoubu, neechan? “ suara itu samar terdengar – sepertinya sangat hati-hati memanggilku. Aku menoleh perlahan pada sumber suara itu.
“Shima!” suaraku terdengar cukup serak. Ia menhampiri, dan memelu erat tubuhku. Aku menenggelamkan wajahku pada tubuh mungilnya.
“kau sangat cengeng dan lemah!” suara kedua yang membuatku terpelenjat, Mizukawa Rei?
“aku hanya di perintah oleh Kazuya-sama, untuk memastikan bahwa kau baik-baik saja.”
“arigatou, Mizukawa-sempai!” ujar shima. Berusaha tetap ramah pada mahkluk yang teramat dingin itu.
“baguslah!” sekejap ia menghilang. Entah mengapa, sejauh apa aku membenci mereka. Mereka tetap perduli terhadapku, mengapa? Tak satupun sikap baik yang ku berikan.


“Shima, daijoubu. Kembalilah!”
“neechan yakin? Apa kau tak ingin ku temani malam ini?”
“iie, daijoubu Shima! Kau senang aku di anggap lemah oleh mereka?”
“chigau yo, neechan! Aku hanya tak ingin terjadi apa-apa dengan mu”
“memangnya apa yang akan terjadi padaku? justru buatku, akan lebih berbahaya lagi bila lama-lama bersamamu.” Sindirku – tak mementingakan apa yang akan ia tanggap dengan perkataanku.
“souka, neechan! Istirahatlah. Bila kau butuh aku panggilah namaku, aku akan segera datang.
“gaki! Hora, pergilah. Daijoubu.” Aku menguntai senyum tipis meyakinkannya. Dengan berat hati, ia pun pergi dari kamarku. Wajahnya tampak cemas. Sesungguhnya aku ingin ia tetap disini. Menemaniku malam ini. Namun aku merasakan kejanggalan lain.

Kutatap ribuan bintang yang berkilauan membentang langit. Mereka selalu tampak indah disetiap malamku yang kelam. Aku semakin tak mengerti alur dari kehidupanku ini. Mengapa seolah semua tersusun dan terencana, tanpa bisa sedikitpun aku mengubahnya. Jiwaku semakin menjauh dari rasa sadarku.
Aku tak henti memikirkan Ryu. Apa yang terjadi padanya?
Aku masih duduk terdiam, hingga pagi menjelang. Kubawa tubuhku untuk bergegas ke sekolah. Kubuang pikiran negative yang membekukanku disepanjang malam ini. Aku ingin bertemu Ryu.
Walau hasratku begitu besar ingin pergi ke sekolah. Namun langkahku terasa gontai. Dan masih tak ku mengerti dimana adanya pikiran ini.
Sesampainya di kelas mataku berputar mencari sosok Ryu. Namun nihil. Ia tak datang ke sekolah. Tubuhku semakin terasa lemas. Dan ku urungkan niatku untuk masuk kekelas. Aku masih merasa sakit melahat sorotan tajam seolah jijik memandangku dari setiap anak di kelas. Tak ada Ryu, hanya membuat semangatku goyah.
Aku terus berjalan menjauhi gedung sekolah. Aku meneruskan langkah kakiku menuju asrama Ryu. Tak perduli apa yang akan dikatakan paman terhadapku nanti. Aku semakin tak bisa ngontrol diriku.
Kuketuk beberapa kali pintu kamar Ryu. Namun tak ada jawaban. Bahkan sepertinya kamar ini kosong. Penasaran, kuputar knop pintu kamar itu. Tak terkunci, dan kosong. Dimana Ryu?
Mataku meraba kesetiap sudut. Tak ku temukan tanda-tanda dimana keberadaannya.
Sosok lain tiba-tiba datang membuyarkan pandanganku. Kazeni Hayato,  yang berdiri mengawasiku.
“dimana Ryu?”sentakku terhadapnya.
“karantina.” Jawabnya singkat.
“dimana?”
“tentunya kau tahu,  tanpa perlu jawaban dariku.” Ujarnya dengan nada begitu datar. Wajah dan tatapan matanya begitu kaku. Matanya tak lepas melekat mamandangiku.
Aku bergegas pergi dari tempat ini. Akupun mempercepat langkahkahku menuju tempat yang di maksud. Asrama para vampire.
Namun langkahku terhenti dengan sosok Kazeni yang berdiri mengalahi jalanku – tadinya kupikir ia akan tetap berada di kamar Ryu, tak ada sedikitpun tanda-tanda darinya ingin beranjak.
“jangan kesana!” ujarnya.
“nande?” bentakku. Aku mendorong tubuh kekarnya yang menghalangiku. Dengan kesal kulangkahkan kembali kakiku. Semakin jauh aku melangkah, ia semakin menghalangiku.
“baka! Pergi kau! Jangan halangi aku!” bentakku jengkel. Aku berusaha lari menghindarinya. Hingga berhasil masuk keperkarangan asrama para vampire itu. Sosoknya seperti hantu yang tak henti mengejarku.
Aku lekas membuka pintu asrama itu dan masuk ke dalam. Nafasku terengah, aku sedikit menundukkan badan untuk mengaturnya.
“sudah ku peringatkan jangan ketempat ini!”
Suara itu membuatku terpelenjat kelantai dan berteriak. Dia sudah berada kembali dihadapanku.
“kenapa kau terus mengikutiku!” bentakku.
“Chika?”
Ada suara lain dalam ruangan ini, suara Kazuya. akupun menoleh. Semua vampire sedang duduk berkumpul di ruangan. Mereka semua menatapku.
“kamu tidak masuk ke sekolah?” tanyanya seraya menghampiriku.
“dimana Ryu?”
“untuk saat ini, jangan temui dia dulu, ya!” ujarnya dengan nada yang begitu lembut. Ia menyodorkan tanganya membangunkanku. Kubalas meraihnya, namun tubuhku malah terasa lemas dan tak sadarkan diri, Kazuya menagkap tubuhku yang hampir tersungkur.




“gomen na!” bisik Kazuya. Ia menggendong dan membawa tubuh Chika yang dibuatnya tak sadarkan diri.
“neechan?” ujar Shima yang begitu miris.
“daijoubu.” Jawab Kazuya singkat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar