Ignorance part 2
“Ia harus segera
dikarantina. Seorang vampire baru akan sangat berbahaya bila dibiarkan dalam
lingkungan lepas.” Ujar Ryouta sedikit gugup. Matanya tak lepas memandang sosok
pria bertubuh kekar, yang duduk pada sebuah kursi yang menghadap jendela.
Langit nampak cerah diluar sana, namun siklus
udara semakin menurun beberapa derajat celcius. Ini sudah memasuki pertengahan
musim dingin.
“beri aku waktu
untuk memikirkan jalan yang terbaik untuk anak itu.” Tukasnya, dengan nada
datar dan menggema.
“hai,
wakarimashita… demo…”
Matahari pagi
sudah tersenyum hangat menyabut pagi di musim dingin ini. Aku lekas
bersiap-siap untuk berangkat kesekolah. Ku raih shall yang menggantung dibelakang
pintu kamar. Lalu kulingkarkan rapih pada leherku. Sekilas mataku tersita pada
tumpukkan obat di mejaku. Obat yang hanya beberapa kali ku minum – aku merasa
tak membutuhnya untuk di minum lagi. Ku rapihkan obat-obat itu dan kumasukkan
ke tempat sampah.
Namun, ada satu obat
yang membuatku kembali berfikir. Obat apa ini? Sepertinya tak asing?
Ku urungkan niatku
untuk membuang obat yang satu ini. Aku ingin mengembalikannya sealigus bertanya pada paman sebelum masuk kesekolah
nanti. Segera ku langkahkan kakiku menuju ruang kerja paman.
“… demo…”
Aku berdiri tepat
didepan ruang kerja paman. Aku ingin mengetuk pintunya. Namun, sepertinya ia
tak sendiri.
“…demo, tubuh Ryu
sudah tak sanggup lagi. Dalam hitungan hari ia akan berubah menjadi sosok
vampire yang sangat haus akan darah!”
Aku menibukan
suara dari botol obat yang jatuh dari genggemanku. Percakapan kecil itu sekejap
berhenti. Dan bisa kurasakan mereka yang memandang kearah pintu.
“ Chika?” ujar
Kazuya, pelan. Aku berusaha menghindar dari lari dari tempat itu. Tanpa ku
sadar aku berlari sampai ke ruang kelas. Semua murid hanya melirik aneh padaku.
Tak bertanya maupun menghiraukankan ku.
“ku serahkan padamu,
Ryouta-san!”
“hai.”
“ohayou, Chika!”
sapa Ryu semangat – sama seperti biasanya. Mataku lekat menyelidik menatapnya.
“do-doushitte?”
ujarnya yang berputar-putar melihat tubuhnya.
“Ryu!” panggilku.
“emm?” ia semakin
mendakatiku yang duduk dikursi. Namun suara bel menggantungkan rasa penasaranku.
“nande?” tanyanya
kembali
“iie, nandemo nai
(gak, gak ada apa-apa).” Jawabku, mengurungkan niat dalam kebimbangan yang kini
bergejolak di otakku.
Mataku terus
melekat memperhatikan Ryu, dan untuk kesekian kalinya aku pun di tegur oleh
guru.
“malam ini temui aku di belakang gedung
sekolah!! -Chika-.” Ku tulis memo kecil untuk Ryu. Ia langsung
membaca dan mengangguk menyetujui. Wajahnya terlihat ikut penasaran.
Tepat pukul 8 malam
aku menemuinya dibelakang gedung sekolah. Ia terlihat sudah menungguku, sambil
bersandar di pohon. Seyumnya teruntai riang memandangku.
“doushitte?”
tanyanya langsung tanpa ragu.
“emm,” aku menggit
bibirku, karena aku yang justru merasa ragu untuk bertanya padanya. Hatiku
kalut, apa yang sebenarnya ingin ku tanyakan? Keraguan itu semakin menyeruak di
hatiku.
“Ryu, kamu
akhir-akhir ini sering kurang enak badan, ada yang salah dari pola kesehatan
kamu sehari-hari?” tanyaku perlahan. Aku terlihat seperti berbelit-belit
pertanyaan itu.
“ya, mungkin. Aku
memang sering telat makan.” Jawabnya. Yang sama sekali tak memuaskanku. Dadaku
seperti teriris-iris melihat wajahnya. Ia tak henti tersenyum padaku.
“Ryu.” aku tak
tahan melepaskan air mataku yang cukup lama terbendung. Aku memeluk erat
tubuhnya, berusaha memalingkan wajahku dari pandangannya.
“nani?” suara Ryu
terdengar sedikit gemetar di telingaku. Ia membalas pelukanku dengan hangat.
“daijoubu, aku gak
apa-apa kok.” Bisiknya. Jujur aku semakin tak bisa menghindari perasaan sedihku
ini. Namun tak mungkin pula aku langsung menanyakan tentang hal itu padanya. Aku
benar-benar kalut.
Lebih baik, aku
tak mendengar kebenaran akan hal itu.
Angin berhembus
begitu kencang di malam yang dinginnya semakin membuatku mengigil. Aku masih
bertahan dalam pelukan Ryu. Air mataku terasa kering di pipi. Aku memejamkan
mata karena pandanganku yang memudar sehabis menangis. Pada detik ini, aku
masih bisa merasakan hangatnya tubuh Ryu, detak jantung dan hembusan napasnya.
Namun, entah sampai kapan ini bertahan.
“Daisuki, Ryu.”
“Ore mo, Daisuki.”
Jawabnya lembut. Ia semakin mengeratkan pelukannya itu. Namun, tak ada hitungan
detik, tubuhku di hempas jauh olehnya. Aku melihatnya yang menggeram dan
berteriak kesakitan. Kedua tangannya mencengcram erat lahernya.
“Pergi Chika,
lari!” teriaknya.
Aku tercengang,
wajahnya memerah dan sorot matanya berubah perlahan. Ia berguling-guling di
tanah. Air mataku kembali memecah melihatnya.
“Ryu?” aku bergerak
perlahan menghampirinya. Ia manatapku tajam, namun seolah tak mengijinkanku
untuk mendekat. Tiba-tiba sebuah tangan menyentuhku. Memudarkan penglihatanku.
Aku pun tersungkur lemas. Entah apa itu.
Membuatku tak sadarkan diri.
Aku membuka kedua mataku, dan menemukan sosok ku
yang sudah berada di kamar.
“doushitte?” hanya kata-kata itu yang bergeming di otakku.
Semua kenyataan
seolah menjauhiku, atau senggaja di sembunyikan? Apa karena ia adalah Ryu,
hingga aku tak boleh mngetahuinya? Jujur, ini jauh lebih menyakitkan buatku.
Mengetahui fakta yang telah disembunyikan. Bukankah sama saja dengan
membodohiku!
“tuhan, mengapa ini bertubi-tubi menimpaku, aku tak ingin kehilangan
Ryu juga !!”
Aku memeluk erat
lututku. Tangisku memecah kesuyian malam ini. Detak jam terus bergulir, seirama
dengan jantungku. Setiap waktu yang berlalu, mengiris-iris, membuat luka yang
begitu perih di hatiku.
“daijoubu,
neechan? “ suara itu samar terdengar – sepertinya sangat hati-hati memanggilku.
Aku menoleh perlahan pada sumber suara itu.
“Shima!” suaraku
terdengar cukup serak. Ia menhampiri, dan memelu erat tubuhku. Aku
menenggelamkan wajahku pada tubuh mungilnya.
“kau sangat
cengeng dan lemah!” suara kedua yang membuatku terpelenjat, Mizukawa Rei?
“aku hanya di
perintah oleh Kazuya-sama, untuk memastikan bahwa kau baik-baik saja.”
“arigatou,
Mizukawa-sempai!” ujar shima. Berusaha tetap ramah pada mahkluk yang teramat
dingin itu.
“baguslah!”
sekejap ia menghilang. Entah mengapa, sejauh apa aku membenci mereka. Mereka
tetap perduli terhadapku, mengapa? Tak satupun sikap baik yang ku berikan.
“Shima, daijoubu.
Kembalilah!”
“neechan yakin?
Apa kau tak ingin ku temani malam ini?”
“iie, daijoubu
Shima! Kau senang aku di anggap lemah oleh mereka?”
“chigau yo,
neechan! Aku hanya tak ingin terjadi apa-apa dengan mu”
“memangnya apa
yang akan terjadi padaku? justru buatku, akan lebih berbahaya lagi bila
lama-lama bersamamu.” Sindirku – tak mementingakan apa yang akan ia tanggap
dengan perkataanku.
“souka, neechan!
Istirahatlah. Bila kau butuh aku panggilah namaku, aku akan segera datang.
“gaki! Hora,
pergilah. Daijoubu.” Aku menguntai senyum tipis meyakinkannya. Dengan berat
hati, ia pun pergi dari kamarku. Wajahnya tampak cemas. Sesungguhnya aku ingin
ia tetap disini. Menemaniku malam ini. Namun aku merasakan kejanggalan lain.
Kutatap ribuan
bintang yang berkilauan membentang langit. Mereka selalu tampak indah disetiap
malamku yang kelam. Aku semakin tak mengerti alur dari kehidupanku ini. Mengapa
seolah semua tersusun dan terencana, tanpa bisa sedikitpun aku mengubahnya.
Jiwaku semakin menjauh dari rasa sadarku.
Aku tak henti
memikirkan Ryu. Apa yang terjadi padanya?
Aku masih duduk
terdiam, hingga pagi menjelang. Kubawa tubuhku untuk bergegas ke sekolah.
Kubuang pikiran negative yang membekukanku disepanjang malam ini. Aku ingin
bertemu Ryu.
Walau hasratku
begitu besar ingin pergi ke sekolah. Namun langkahku terasa gontai. Dan masih
tak ku mengerti dimana adanya pikiran ini.
Sesampainya di
kelas mataku berputar mencari sosok Ryu. Namun nihil. Ia tak datang ke sekolah.
Tubuhku semakin terasa lemas. Dan ku urungkan niatku untuk masuk kekelas. Aku
masih merasa sakit melahat sorotan tajam seolah jijik memandangku dari setiap
anak di kelas. Tak ada Ryu, hanya membuat semangatku goyah.
Aku terus berjalan
menjauhi gedung sekolah. Aku meneruskan langkah kakiku menuju asrama Ryu. Tak
perduli apa yang akan dikatakan paman terhadapku nanti. Aku semakin tak bisa
ngontrol diriku.
Kuketuk beberapa
kali pintu kamar Ryu. Namun tak ada jawaban. Bahkan sepertinya kamar ini
kosong. Penasaran, kuputar knop pintu kamar itu. Tak terkunci, dan kosong.
Dimana Ryu?
Mataku meraba
kesetiap sudut. Tak ku temukan tanda-tanda dimana keberadaannya.
Sosok lain
tiba-tiba datang membuyarkan pandanganku. Kazeni Hayato, yang berdiri mengawasiku.
“dimana
Ryu?”sentakku terhadapnya.
“karantina.”
Jawabnya singkat.
“dimana?”
“tentunya kau
tahu, tanpa perlu jawaban dariku.” Ujarnya
dengan nada begitu datar. Wajah dan tatapan matanya begitu kaku. Matanya tak
lepas melekat mamandangiku.
Aku bergegas pergi
dari tempat ini. Akupun mempercepat langkahkahku menuju tempat yang di maksud.
Asrama para vampire.
Namun langkahku
terhenti dengan sosok Kazeni yang berdiri mengalahi jalanku – tadinya kupikir
ia akan tetap berada di kamar Ryu, tak ada sedikitpun tanda-tanda darinya ingin
beranjak.
“jangan kesana!” ujarnya.
“nande?” bentakku.
Aku mendorong tubuh kekarnya yang menghalangiku. Dengan kesal kulangkahkan
kembali kakiku. Semakin jauh aku melangkah, ia semakin menghalangiku.
“baka! Pergi kau!
Jangan halangi aku!” bentakku jengkel. Aku berusaha lari menghindarinya. Hingga
berhasil masuk keperkarangan asrama para vampire itu. Sosoknya seperti hantu
yang tak henti mengejarku.
Aku lekas membuka
pintu asrama itu dan masuk ke dalam. Nafasku terengah, aku sedikit menundukkan
badan untuk mengaturnya.
“sudah ku
peringatkan jangan ketempat ini!”
Suara itu
membuatku terpelenjat kelantai dan berteriak. Dia sudah berada kembali
dihadapanku.
“kenapa kau terus
mengikutiku!” bentakku.
“Chika?”
Ada suara lain
dalam ruangan ini, suara Kazuya. akupun menoleh. Semua vampire sedang duduk
berkumpul di ruangan. Mereka semua menatapku.
“kamu tidak masuk
ke sekolah?” tanyanya seraya menghampiriku.
“dimana Ryu?”
“untuk saat ini,
jangan temui dia dulu, ya!” ujarnya dengan nada yang begitu lembut. Ia
menyodorkan tanganya membangunkanku. Kubalas meraihnya, namun tubuhku malah
terasa lemas dan tak sadarkan diri, Kazuya menagkap tubuhku yang hampir
tersungkur.
“gomen na!” bisik
Kazuya. Ia menggendong dan membawa tubuh Chika yang dibuatnya tak sadarkan
diri.
“neechan?” ujar
Shima yang begitu miris.
“daijoubu.” Jawab
Kazuya singkat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar